Dimulai dengan Apel Prajurit di Depan Pendapa Sasana Sewaka
IMNEWS.ID – MENGGELAR upacara adat hajad-dalem “Malem Selikuran” yang masih berada dalam suasana proses “perdamaian”, Selasa malam (11/4/2023), memang benar pasti ada pesan-pesan tersirat yang memperlihatkan unsur positif, begitu juga negatif. Itu karena sedang terjadi proses penyesuaian akibat perubahan yang terjadi, sebagai hal yang biasa atau pasti terjadi bila mengingat selama 5 tahun lebih, antara kedua pihak nyaris “berseberangan”.
Dan proses penyesuaian itu pasti butuh waktu sampai ketemu format dan formasi yang pas pada titik equilibrium atau seimbang dan titik akselerasi atau keselarasannya. Proses penyesuaian tak mungkin bisa berjalan cepat, walau sudah dimulai pada momentum 3 Januari 2023. Karena sudah terbukti, ada kelompok yang dipimpin seorang kerabat, tiba-tiba menginisiasi kirab Malem Selikuran berbeda rute dan tujuan, meskipun tanggal/hari dan isinya kurang-lebih sama.
Hal-hal yang bersifat “berseberangan” karena di dalamnya tersirat sikap “pro” dan “kontra”, memang menjadi titik sensasi yang paling disukai kalangan media, karena dianggap nilai “news” atau beritanya lebih tinggi dari yang bersifat normal-normal saja atau normatif. Tetapi, akan menjadi berbeda konotasi dan sensasinya, serta akan melahirkan nilai berita yang berbeda pula, apabila dieksplorasi kandungan isinya yang belum pernah diketahui publik.
Nilai berita yang berbeda itu, juga bisa menjadi sensasi tersendiri bagi yang bisa memahami dan memaknainya. Karena rangkaian urut-urutan upacara-adat Malem Selikuran, secara umum belum banyak diketahui publik. Mengingat, jenis upacara adat yang digelar rutin sekali dalam setahun itu, hanya di saat datang bulan puasa, yaitu tanggal 20 Pasa kalender Jawa atau 20 Ramadhan kalender Hijriyah.
Karena eklusivitas sifat upacara adat hajad-dalem Malem Selikuran mengingat hanya dimiliki Kraton Mataram Surakarta, menjadi wajar apabila publik secara luas dalam satu generasi saja tak banyak yang mengenal, baik sebelum momentum 1945 maupun pada zaman Mataram Surakarta sebelumnya (1745-1945). Terlebih, ketika publik adalah generasi baru yang lahir di zaman modern dan tinggal jauh dari Surakarta, masuk akal kalau sama sekali tidak paham “Malem Selikuran” versi kraton, walau teknologi informasi medsos sudah sangat maju.
Melihat realitas seperti itu, di luar unsur sensasi yang bisa didapat dari peristiwanya, ritual hajad-dalem “Malem Selikuran” sangat layak dieksplorasi untuk tujuan publikasi, terutama yang berkait dengan nilai promosi aktivitas seni budayanya dari sudut komoditas pariwisata. Karena dari sisi ini, pemerintah sangat butuh peningkatan income negara dari sektor kolaborasi berbagai potensi ekonomi dalam jaringan industri pariwisata.
Selain itu, rangkaian urut-urutan upacara-adat Malem Selikuran juga bisa dieksplorasi untuk tujuan edukasi bagi publik secara luas, khususnya kandungan nilai-nilai seni budaya yang ada di dalamnya. Tujuan edukasi ini, bisa dalam posisi sebagai objek penelitian kalangan intelektual kampus untuk keperluan berbagai jenjang program studi. Apalagi, ritual itu berkait dengan eksistensi perjalanan sejarah Mataram Surakarta.
Tatacara dan rangkaian urut-urutan upacara-adat Malem Selikuran yang dimiliki Kraton Mataram Surakarta sangat menarik untuk dicermati, karena ada beberapa versi yang terjadi akibat mengalami perubahan seiring zaman atau situasi secara umum yang berubah dan menjadi penyebabnya. Dan pada Malem Selikuran di bulan puasa 2023 ini, masih muncul versi “Taman Sriwedari” dan versi kirab keliling Baluwarti yang berakhir di Masjid Agung.
Secara kronologis, masing-masing versi ritual Malem Selikuran yang tersaji di muka publik Selasa malam, terdiri dari versi Pengageng Sasana Wilapa yang urut-urutannya dimulai dari apel 9 bregada prajurit kraton yang berlangsung di halaman depan Pendapa Sasana Sewaka. Apel yang dimulai pukul 20.00 WIB atau kira-kira sehabis shalat tarawih itu, adalah defile penghormatan kepada pihak otoritas Kraton Mataram Surakarta yang melepas prosesi kirab.
Selasa malam (11/4) itu, tampak putra mahkota tertua KGH Hangabehi yang didampingi GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa, Gusti Timoer (GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani) bersama anak lelakinya dan Gusti Devi (GRAy Devi Lelyana Dewi). Mereka berdiri di depan topengan Pendapa Sasana Sewaka, untuk menerima penghormatan prajurit yang dipimpin KRAT Alex Pradnjono Reksoyudo selaku “manggala”.
Setelah penghormatan dilakukan, para prajurit diizinkan berangkat memimpin barisan kirab “ting” dan “Tumpeng Sewu” yang menjadi simbol hajad-dalem “Malem Selikuran” untuk merayakan turunnya “Wahyu Illahi” atau “Lailathul Qadar”. Dalam tahap ini, KGPH Mangkubumi, Gusti Moeng, Gusti Timoer, Gusti Devi, KPH Edy Wirabhumi dan para sentana dalem iktu melepaskan barisan prajurit keluar melalui Kori Srimanganti Lor.
Barisan yang dipandu KRMH Bimo Wijoyo Adilogo selaku “Panglima Prajurit” dan KRMH Suryo Kusumo Wibowo selaku koordinator lapangan, berhenti di halaman depan Bangsal Smarakata, tempat berkumpulnya para abdidalem Pakasa dari berbagai daerah. Termasuk pula, barisa seni Hadrah dari Pesantren Kyai Ageng Sela, Grobogan dan prajurit pembawa “ting”, “oncor” (obor) dan lentera lambang kraton “Sri Radya Laksana”.
Begitu semua unsur dan elemen sudah masuk barisan, prosesi kirab kembali berjalan keluar dari Kori Kamandungan ke arah timur untuk memulai menyusuri rute jalan lingkar dalam Baluwarti. Sementara, KGPH Hangabehi, Gusti Moeng dan semua pejabat “Bebadan Kabinet 2004” sudah berdiri berjajar di depan pintu untuk melepas kirab. Di saat itu, bunyi korp musik dum band prajurit Tamtama terdengar begitu keras, mengundang warga dan pengunjung untuk mendekat, menyaksikan.
Ada sekitar 250 orang yang terlibat dalam barisan kirab, sesuai atribut cirikhas masing-masing elemen dan unsur yang terwadahi dalam Lembaga Dewan Adat (LDA) Kraton Mataram Surakarta. Diperkirakan, durasi perjalanan menyusuri lingkar Baluwarti sejauh kurnag-lebih 2 KM itu hanya 40-an menit, tetapi karena ada acara yang memenuhi semua ruang di utara Kori Brajanala Kidul, laju kirab menjadi terhambat, dan barisan baru kembali di halaman Kamandungan sejam kemudian.
“Kalau Malem Selikuran dalam perjalanan sejarah ada perubahan, itu wajar saja. Banyak yang mengalami perubahan. Kemarin itu, ada yang ke Taman Sriwedari. Tetapi ada yang tetap konsisten melakukan kirab keliling Baluwarti, lalu ke Masjid Agung. Menurut Gusti Wandan (GKR Wandansari Koes Moertiyah), itu enggak apa-apa. Malah semua terisi. Mulai Sinuhun PB X, hajad-dalem Malem Selikuran dikemas menjadi sajian seni budaya sarana dakwah yang indah,” jelas KP Budayaningrat, “dwija” dari Sanggar Pasinaon Pambiwara, menjawab pertanyaan iMNews.id, sore tadi.
Dari halaman Kamandungan, KGPH Hangabehi, Gusti Moeng dan semua pejabat “Bebadan Kabinet 2004” yang sebelumnya melepas kirab, bergegas masuk barisan untuk bersama melanjutkan perjalan ke kagungan-dalem Masjid Agung. Satu-persatu, tiap uba-rampe hajad-dalem yang akan didoakan dibawa masuk, ada yang berhenti di halaman dan ada yang ditata di ruang tengah pendapa Masjid Agung.
Di antara yang ditata di atas meja ruang tengah pendapa masjid itu, adalah “ting” simbol Sri Radya Laksana, dua kremun berisi hajad-dalem “Tumpeng Sewu” dan sebuah ancak berisi “sega wuduk”. Beberapa uba-rampe baku dan penting ditata di deretan meja persis di depan para abdidalem jurusuranata yang berhadap-hadapan dengan utusan-dalem KRMAP Sinawung Waluyoputra. Sementara, Gusti Moeng duduk di zona perempuan, berhadapan dengan KGPH Hangabehi di zona lelaki.
Datangnya semua peserta barisan kirab, seakan memulai kesibukan acara doa wilujengan hajad-dalem Malem Selikuran di Masjid Agung, yang sudah tampak penuh duduk lesehan di pendapa, termasuk grup seni Santiswaran “Mekar Budaya” dari Baluwarti. Grup musik karawitan yang khas hanya menggunakan dua instrumen “kemanak”, kendang dan terbang itu, sudah mengumandangkan gending-gending Jawa yang liriknya berisi ajaran Islam.
Dalam beberapa kali pelaksanaan ritual “Malem Selikuran” baik sebelum maupun sesudah tahun 2017, grup seni Santiswaran atau Laras Madya silih berganti yang dilibatkan kraton di acara-acara spiritual religi peringatan Hari Besar Islam. Dulu ada yang dari Kelurahan Serengan, Kecamatan Serengan (Surakarta), juga dari Desa Jatisobo, Kecamatan Mojolaban, Sukoharjo, bahkan dari wilayah Kabupaten Klaten, anggpa Pakasa cabang setempat.
Dan dalam lintasan waktu itu, grup seni Santiswaran beberapa kali pernah disertakan dalam barisan kirab “ting” mengelilingi lingkar dalam Baluwarti, bersama grup seni hadrah. Tetapi dalam perjalan sampai Selasa malam (11/4) itu, grup seni laras Madya tidak disertakan tetapi stand-by di Masjid Agung untuk menyajikan gending-gending bernuasa agamis, sambil menunggu kedatangan barisan kirab.
Saat barisan kirab tiba dan para abdidalem menata semua uba-rampe “Tumpeng Sewu”, kebetulan ada salah seorang abdidalem yang lupa meninggalkan “songsong” (payung) di luar masjid, tetapi terbawa sampai ke meja tempat menata hajad-dalem. Karena ditegur, lalu menjadi pusat perhatian lebih dari 500 orang yang semuanya berasal dari warga Pakasa cabang dari berbagai daerah di Jateng, Jatim dan DIY sudah “njujug” datang menunggu di masjid.
Tak lama kemudian, KGPH Hangabehi memberi “dhawuh” kepada utusan-dalem KRMAP Sinawung Waluyoputra agar meminta abdidalem jurusuranata MNg Ifa Hamidi Projodipuro untuk memimpin doa wilujengan. Yang diperintahpun, segera memulai doa, dan tidak lama kemudian seluruh rangkaian doa wilujengan untuk menyambut turunnya “Wahyu Illahi” berakhir. Dalam kesempatan itu, KP Puspitodiningrat selaku juru pambiwara lalu mempersilakan Gusti Moeng untuk memberi sambutan.
“Alhamdullillah, ing wulan Pasa Tahun Ehe 1956 utawi Ramadhan tahun menika Kraton Mataram Surakarta wiwit ngawontenaken upacara adat hajad-dalem malem Selikuran saking nglebet kraton, kados iangkang sampun mlampah makaping-kaping ing tahun-tahun sakderengipun. Mugi-mugi hajad-dalem ingkang sampun dipundongani menika hamberkahi, dados kekiatan lan kawilujengan kula lan panjenengan sadaya. Ngantos pinanggih malih di Malem Selikuran tahun 2024,” harap Gusti Moeng saat memeberi sambutan tunggal, singkat, malam itu.
Selesai sambutan, hajad-dalem “sega wuduk” yang sudah didoakan dibagikan kepada semua yang hadir. Meski sudah dipesan untuk “tidak ndobel”, masih banyak juga yang tidak kebagian, karena sangat mungkin yang hadir melebihi jumlah yang diperkirakan. Tetapi, oleh kalangan pengurus Pakasa, itu pertanda baik, karena tanpa itu saja, banyak abdidalem warga Pakasa yang semakin setia dan ingin sowan “ngalab berkah” setiap ritual yang digelar Kraton Mataram Surakarta. (Won Poerwono-bersambung/i1)