Secara Spiritual Keraton Surakarta Nyaris Kehilangan Wibawanya
iMNews.id – KERATON di manapun yang dulunya (sebelum ada NKRI) berjumlah 250-an lembaga dan tersebar di seluruh Nusantara, pasti memiliki potensi-potensi kekuatan yang bisa dilihat dari sisi spiritual kebatinan. Sejarah panjang keraton-keraton di pulau Jawa, khususnya mulai Dinasti Mataram hingga terakhir bertahan di Keraton Mataram Surakarta, juga tidak lepas dari proses kerja spiritual kebatinan untuk membangun, merawat dan menjaga sistem pertahanannya, selain kerja fisik.
Keniscayaan seperti inilah yang bisa dilihat KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, seorang pemerhati budaya Jawa dan Keraton Mataram Surakarta di bidang spiritual kebatinan. Dan dari sudut pandang seperti itulah, keturunan abdidalem takmir Masjid Kepatihan di zaman Sinuhun PB X melukiskan, bahwa Keraton Surakarta sebenarnya adalah simbol kebhinekaan atau miniatur Nusantara karena pernah menjadi embryo NKRI.
”Oleh sebab itu, negara harus cepat bersikap, tetapi berhati-hati. Perlu segera hadir untuk membantu menyelamatkan keraton. Tetapi jangan mendikte, apalagi punya kepentingan di luar pelestarian budaya dan eksistensinya sebagai lembaga masyarakat adat yang merawat budaya dan peradaban. NKRI akan kehilangan ciri-ciri khasnya bila Keraton Surakarta hancur, musnah,” tandas KRT Henri.
Nyaris tak Bersinar
Hal-hal yang bisa dipandang secara spiritual kebatinan ini, juga pernah disinggung Gusti Moeng dalam beberapa kesempatan, seperti saat menggelar konferensi pers dalam rangka deklarasi penyelamatan keraton, 13 Februari di topengan Kori Kamandungan (iMNews.id, 13/2). Di situ, Ketua LDA itu berulang-ulang menandaskan, gejala-gejala kehancuran keraton antara lain karena sudah ”nyaris” kehilangan pancaran sinar kekuatan yang bisa dirasakan secara spiritual kebatinan.
Kepekaan Ketua LDA sekaligus Pengageng Sasana Wilapa terhadap unsur nonfisik kekuatan atau kewibawaan Keraton Mataram Surakarta yang sudah tipis itu, membuat kalangan pemerhati keraton di bidang spiritual yakin bahwa Gusti Moeng pantas mendapat tugas dan tanggungjawab memimpin langkah penyelamatan keraton. Kepada anak ke-25 dari 35 putra/putri Sinuhun PB XII itulah, harapan digantungkan untuk mengembalikan keraton sebagai sumber dan pusat peradaban Mataram/Jawa, yang tetap memancarkan sinar kewibawaan untuk publik secara luas.
”Jadi, negara melalui pemerintahannya saat ini harus peka. Karena, kekisruhan yang selama ini muncul di keraton dan dibiarkan saja, secara spiritual bisa berpengaruh terhadap stabilitas nasional Nusantara ini. Karena, kekuatan keraton menjadi embryo kekuatan nasional. Keraton di Solo ini miniatur kebhinekaan yang menjadi modal utama NKRI itu. Kalau mau stabilitas terjaga, rawatlah keraton-keraton di Nusantara ini,” tunjuk KRT Hendri sambil mengutip ungkapan Rian D’Masiv (iMNews.id, 23/3).
Pengakuan Jujur dari Internal
Selain berbagai pengakuan dan penghargaan (The Fukuoka Culture Prize Award 2012) dari publik di luar masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta, Gusti Moeng dianggap pantas memimpin gerakan upaya penyelamatan keraton karena kapasitas kemampuan pribadinya yang menjadi representasi masyarakat adat, sekaligus representasi bangsawan yang ideal dan sesungguhnya.
Dan di antara 34 saudaranya yang putra/putri Sinuhun PB XII yang mengakui kapasitas kemampuan itu, adalah kakaknya lain ibu bernama KGPH Tedjowulan yang kemudian dikenal bergelar ”Panembahan” itu. Pensiunan kolonel TNI itu, di depan publik yang menghadiri sebuah forum upacara di ndalem Kayonan, Baluwarti, akhir 2017, dengan jujur dan tegas menyatakan bahwa Gusti Moeng sangat paham segala macam urusan seni-budaya dan tentang keraton.
”Kalau mau tanya soal seni-budaya dan tentang (sejarah) keraton, ‘jeng’ Moeng (Gusti Moeng-Red) ini ahlinya. Sudah tidak perlu diragukan lagi (kepedulian dan penguasaannya). Pokoknya, segala urusan seni-budaya dan keraton, tanyakan saja pada ‘jeng’ Moeng. Tiap hari, itu yang menjadi bidang urusannya,” tunjuk KGPHP Tedjowulan, saat memberi sambutan dalam penyerahan dana hibah APBD 2012 dari Pemrpov Jateng kepada keraton senilai Rp 1,8 M, waktu itu.
Dari peristiwa itu saja sudah menunjukkan banyak makna terhadap kapasitas kemampuan Gusti Moeng, di antaranya pengakuan tokoh menonjol dari internal putra/putri Sinuhun PB XII yang sebelumnya beroposisi atau berseberangan soal posisi Sinuhun PB XIII. Kemudian, dana hibah yang didapat dari Pemprov Jateng itu, diperjuangkan LDA yang ia pimpin melalui proses hukum yang panjang, hingga akhirnya Mahkamah Agung memutuskan memenangkan kasasi yang diajukan Pemprov.
Substansi Penyerta dalam UUD 45
Sejarawan kandidat doktor bidang kajian budaya di UNS, Widodo Aribowo memang tidak secara langsung mengakui ketokohan Gusti Moeng sebagai benteng pertahanan terakhir Keraton Mataram Surakarta itu. Tetapi, hal-hal yang berkait dengan simbol-simbol dinasti Mataran di Surakarta Hadiningrat yang kini digunakan sebagai simbol-simbol negara (NKRI), diakui kebenarannya dan pantas dijadikan pengetahuan publik seluas-luasnya bahwa itu berasal dari keraton.
”Seni budaya tradisi itu merupakan substansi penyerta sejarah bangsa. Dan sudah diformalkan dalam UUD 45. Substansi berupa bendera kebangsaan (merah-putih), bahasa, budaya tradisi, sumber kekayaan alam, merupakan bagian dari substansi negara. Semua substansi itu di bawah lindungan TNI. Meski TNI direduksi perannya dengan UU TNI No 34,” tunjuk dosen pengajar di Asga itu.
Widodo Aribowo juga tidak menunjuk langsung bahwa Gusti Moeng sedang memperjuangkan berbagai hal berkait simbol-simbol Keraton Mataram Surakarta yang banyak diadopsi negara, untuk mendapatkan penghargaan yang bermartabat. Tetapi, itulah yang menjadi bagian dari kepedulian Gusti Moeng sebagai benteng pertahanan terakhir, yang sangat diharapkan untuk eksistensi dan kelestarian keraton, termasuk juga untuk keutuhan NKRI. (Won Poerwono-habis)