“Mundhi Dhawuh Saking Suwargi Sinuhun PB XII, Njumenengaken Budaya Ketawang”
IMNEWS.ID – WETON Selasa Kliwon atau Anggara Kasih yang jatuh pada tanggal 24 Januari ini, adalah kesempatan kedua bagi Gusti Moeng dengan seluruh jajaran bebadan “Kabinet 2004” untuk menggelar gladen tari Bedaya Ketawang, setelah yang pertama atau perdana tanggal 20 Desember 2022 digelar dengan “insiden kelebon wong edan” (iMNews.id, 13/1). Latihan kedua tari yang diciptakan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma selaku pendiri Kraton Mataram (Islam) itu, menjadi kesempatan untuk meningkatkan intensitas semua unsur yang berada dalam semua ragam gerak tari dan gending iringannya, mengingat repertoar tarian sakral ini akan disajikan dalam upacara adat tingalan jumenengandalem Sinuhun PB XIII yang diagendakan tanggal 16 Februari mendatang.
“Jadi, proses menjadi seorang penari Bedaya Ketawang itu ya harus melalui tahapan seperti itu. Gladen itu untuk menghafalkan semua ragam gerak dan alur gending iringannya. Dan cakepan dalam gending Bedaya Ketawang ini sangat dalam makna filosofisnya. Di sana ada kata-kata ….yen mati menyang ngendi paran-nya…., ini jelas bagian dari konsep sangkan-paraning dumadi. Yang mengajarkan bahwa, setelah kita mati nanti, pasti akan kembali ke asalnya, yaitu Allah SWT,” jelas Gusti Moeng menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin, yang sebagian sudah diungkapkan saat menjawab pertanyaan para awak media di gladen perdana, 20 Desember (iMNews.id, 20/12/2022).
Tarian sakral Bedaya Ketawang yang kini hanya satu-satunya dimiliki Kraton Mataram Surakarta di antara “Catur Sagatra” atau 4 lembaga masyarakat adat keturunan Dinasti Mataram itu, bisa disebut sebagai salah satu supremasi Mataram Islam, apalagi ketika mencermati salah satu petikan kalimat “cakepan” atau lirik gending iringannya. Di dalamnya tergelar jelas ajaran teologi dan nilai-nilai ketuhanan, namun tak semata-mata diungkapkan dengan mencolok, apalagi secara ekstrem menakut-nakuti atau mengancam, melainkan sekadar menunjukkan secara halus agar manusia sebagai ciptaan Tuhan paling tinggi derajatnya itu, bisa menggunakan daya nalar dan ketajaman nuraninya untuk mencari dan merasakan.
Tari Bedaya Ketawang juga memberi kekuatan nilai-nilai mistis yang bisa lahir dari intensitas konsentrasi yang tinggi bagi siapa saja yang berada di lingkaran saat tarian sakral ini disajikan di Pendapa Sasana Sewaka, terlebih di saat berlangsung upacara adat tingalan jumenengan. Bagaimana unsur-unsur itu bisa dirasakan dan dipahami sebagai kekuatan mistis pada gelar ritual tingalan jumenengandalem yang jatuh 24 Januari 2023 nanti?, itu sangat tergantung bagaimana intensitas proses membangun kekuatan itu dilakukan di kraton dan sudah diawali dengan gladen 20 Desember lalu.
Sisi kekuatan mistis yang menjadi bagian dari kekuatan spiritual kebatinan, bisa memberi pancaran kewibawaan sajian, suasana lokasi dan Kraton Mataram Surakarta secara keseluruhan, tetapi bisa dibangun melalui aktivitas latihan tiap weton Anggara Kasih itu sendiri. Kekuatan spiritual religi juga bisa memperkuat bangunan kewibawaan Pendapa Sasana Sewaka dan kraton secara keseluruhan, misalnya dengan diadakannya tahlil dan dzikir, doa wilujengan serta aktivitas khataman Alqur’an seperti yang diaktifkan lagi Gusti Moeng di Bangsal Smarakata, mulai Rabu malam (12/1/2023).
Konsep menghormati “sagunging dumadi” atau semua titah ciptaan Tuhan YME di dunia, sangat dipahami dan diakomodasi dalam kehidupan warga peradaban Jawa, apalagi di Kraton Mataram Surakarta yang hingga kini tetap memegang konsep “rahmatan lil ‘alamin”. Oleh sebab itu, hampir dalam setiap aktivitas konsep pemikiran dan kehidupan riil masyarakat Jawa, hampir dipastikan memiliki sisi mistis, karena “sagunging dumadi” memiliki makna mengakui/menghargai adanya makhluk kehidupan yang tidak tampak, seperti adanya mitos “9 penari Bedaya Ketawang” yang bisa menjadi “10” penari saat digelar di upacara adat tingalan jumenengan.
Mitologi Jawa “Nyai Rara Kidul” atau Kanjeng Ratu Kencanasari yang diasumsikan bisa hadir ke dalam sajian tari Bedaya Ketawang, memang tak gampang dipahami oleh orang awam, apalagi generasi masa kini yang sudah “keracunan” produk teknologi milenial. Tetapi sebenarnya, inilah yang bisa menjadi alat pengukur untuk membedakan antara bangunan suasana yang “angker” menakutkan dengan bangunan suasana yang “berwibawa”. Antara keduanya hanya beda tipis sekali, bahkan terkadang campur-aduk dan sulit diidentifikasi letak bedanya atau posisi masing-masing, bila tanpa kemampuan pemahaman yang cukup.
Jadi, secara spiritual religi dan kebatinan, arah dari semua aktivitas yang sedang digerakkan Gusti Moeng dengan segenap elemen pendukungnya sekarang ini, menuju ke sana. Yaitu kembalinya “kewibawaan” secara total Kraton Mataram Surakarta. Termasuk kembalinya harkat dan martabat, yang dimulai dengan upaya menegakkan paugeran adat di internal keluarga besar dan masyarakat adatnya. Termasuk pula, forum-forum pertemuan yang melibatkan banyak pihak secara luas, yang bisa menciptakan kembali bangunan legitimasi terhadap eksistensi Kraton Mataram Surakarta.
Membangun suasana berwibawa di Pendapa Sasana Sewaka dan Kraton Mataam Surakarta secara keseluruhan, dari satu sisi memang merupakan rangkuman dari berbagai aktivitas di atas. Tetapi menggelar tari Bedaya Ketawang bagi Gusti Moeng, adalah bagian dari “mundhi dhawuh” Sinuhun PB XII atau almarhum ayahandanya, yang sering berpesan secara khusus kepadanya. Hal yang tak akan pernah dilupakan dari penegasan sekaligus amanat Sinuhun PB XII, adalah Bedaya Ketawang harus bisa jumeneng dan Gusti Moeng yang dianggap bisa “njumenengaken” Bedaya Ketawang. Inilah yang secara tidak langsung menjadi solusi ketika Sinuhun PB XIII tidak bisa “jumeneng” saat “tingalan jumenengan”, dan bisa digantikan dengan “jumenengnya” Bedaya Ketawang.
“Kalau untuk gladen Bedaya Ketawang (yang ori-Red), alasan dan tujuannya ‘kan sudah jelas. Proses persiapan sampai disajikan pada peristiwa tingalan jumenengan, juga sudah jelas. Siapa saja yang bisa melakukan ini dan terlibat sampai tahapan itu, juga sudah jelas. Saya mempercayakan pada Ika (Ika Puspowinahyu-Red) sebagai Lurah Bedaya, yang mempersiapkan para penarinya. termasuk proses magang dan latihannya. La, kalau kelompok para penari (KW-Red) yang kemarin itu antri mau numpang latihan (iMNews.id, 20/12), saya tidak tahu dari mana asalnya. Saya tidak bertanggungjawab keberadaannya,” tandas Gusti Moeng. (Won Poerwono-habis/i1)