Sebagai Proses Transisi Mengembalikan ke “Alamnya”
IMNEWS.ID – KARENA sangat disadari bahwa “nyawa” Kraton Mataram Surakarta terletak pada aktivitas seni budayanya, yang salah satunya adalah kegiatan gladen berbagai kesenian khas kraton, maka, hal pertama yang sangat diyakini terlintas di benak Gusti Moeng adalah mengaktifkan kembali segala jenis kegiatan yang berhubungan dengan seni khas di kraton. Maka, tidak aneh apabila Minggu (18/12/2022) atau sehari setelah melalui “insiden Gusti Moeng kondur ngedhaton” (iMNews. 18/12) itu, adalah menggelar latihan tari di Bangsal Smarakata untuk persiapan tampil di panggung Pekan Seni Budaya dan Ekraf Hari Jadi 91 Pakasa (2022) yang digelar di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa.
Tidak bedanya dengan aktivitas seorang menyulut lilin agar suasana di sekelilingnya agar terang, atau menekan skaklar lampu listrik untuk menyalakannya agar ruang atau sekelilingnya menjadi terang dan kelihatan jelas, yang dilakukan Gusti Moeng mengisi Bangsal Smarakata dengan latihan tari, seakan mulai ada setitik terang tanda-tanda kehidupan di kraton. Kraton Mataram Surakarta yang sebelumnya tertutup lebih 5 tahun itu, seakan tampak “gelap-gulita”, “mati suri” dan seperti diam tidak bernyawa, tetapi mulai Minggu siang itu seakan berubah dari yang sebelumnya terang dan ada denyut nadi kehidupan di situ.
Gladen tari Bedaya Ketawang tiap datang weton Anggara Kasih atau Selasa Kliwon, juga sangat menjadi penanda adanya kehidupan, adanya nyawa hidup yang penuh semangat dan dinamis. Oleh sebab itu, datangnya weton Anggara Kasih tanggal 20 Desember 2022 jelas ditindaklanjuti oleh Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa apalagi selaku Ketua Sanggar Beksa Kraton Surakarta, untuk menggelar latihan tari Bedaya Ketawang di tempat atau habitatnya secara khusus, yaitu Pendapa Sasana Sewaka.
Pendapa Sasana Sewaka menjadi tempat khusus dan istimewa bagi penyajian tari Bedaya Ketawang, karena jenis repertoar tari itu memang hanya boleh disajikan di tempat itu pada weton Anggara Kasih yang menjadi pilihan waktu secara spiritual kebatinan untuk menggelar latihan. Namun, ajang menggelarnya dalam pentas yang sesungguhnya, adalah saat ada pisowanan agung peringatan ulang tahun tahta raja yang disebut tingalan jumenengandalem, yang tempatnya yang dibenarkan secara untuk menggelar adat hanyalah di Pendapa Sasana Sewaka, dan pantang dilakukan di tempat lain.
“Untuk menjadi penari dan menggelarnya sebagai pertunjukan tari Bedaya Ketawang, semuanya ada proses tatacaranya sesuai aturan adat yang berlaku di sini. Meskipun hanya gladen atau latihan. Menjadi penarinya, harus melalui proses magang. Gladen dan saat Bedaya Ketawang ‘dipun-jumenengaken’ di Pendapa Sasana Sewaka, adalah proses natural yang punya sentuhan dengan dimensi spiritual kebatinan yang harus dilalui para penarinya. La, yang itu saya tidak tahu bagaimana asal-usul dan prosesnya. Yang kemarin itu tiba-tiba latihan di sini,” ujar Gusti Moeng saat menjawab pertanyaan iMNews.id, tadi siang, yang juga sempat memberi pernyataan lepas saat gladen Anggara Kasih, 20 Desember 2022 itu.
BACA JUGA :
- Sekaten Garebeg Mulud 2024 Menjadi Momentum Penting Perubahan Status Kelembagaan (Seri 3- bersambung)
- Tradisi Ziarah Juga Warnai Peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW di Dua Cabang Pakasa
- “Sekaten Art Festival 2024” Ditutup Dengan Beberapa Sajian Tari yang Elok
Sebagai orang yang sangat bertangggungjawab pada eksistensi dan esensi tarian sakral Bedaya Ketawang di Kraton Mataram Surakarta, ketika beberapa kali mendengar kabar bahkan menyaksikan sendiri video rekaman sajian Bedaya Ketawang di acara tingalan jumenengan antara 2018-2022, memang sering menyikapinya dengan ekspresi jengkel dan geram. Apalagi pada Anggara Kasih tanggal 20 Desember, bahkan sempat menyaksikannya secara langsung di depan mata, bagaimana aksi para penari lulusan sebuah SMK di Surakarta itu awalnya dikenalkan dan dilatih Bedaya Ketawang di garasi mobil kediaman seorang pelatihnya di Jogja.
Namun, Gusti Moeng harus memilih untuk melupakan bentuk-bentuk tindakan yang dianggap telah melecehkan harkat dan martabat Kraton Mataram Surakarta dan paugeran adatnya serta nama baik Mataram Surakarta sebagai sumbernya budaya Jawa, karena hal itu menjadi bagian dari yang diucapkan saat kesepakatan perdamaian dicapai dengan Sinuhun PB XIII, belum lama ini (iMNews.id, 3/1/2023). Meskipun rasa jengkel, kesal dan gregetan itu jelas sangat sulit dihapus begitu saja dari memorinya, terlebih ketika sedang menggelar gladen Anggara Kasih itu, ada insiden tampilnya seseorang yang hendak menghentikan latihan dan mengusirnya dari Pendapa Sasana Sewaka.
“Aku ora trima kraton-ku dinggo kaya ngene. Ora trima aku. Isa mandeg ora? Isa bubar ora?,” teriak pria berambut putih berusia 70-an tahun yang bersepatu “olah raga” tampak berjalan di atas lantai teras Paningrat, sementara Gusti Moeng duduk lesehan berada di seberangnya bersama para penabuh gamelan mengiringi tari Bedaya Ketawang. Di dekatnya berdiri sambil menunjuk ke arah Gusti Moeng, ada Gusti Ayu (GKR Ayu Koes Indriyah), Gusti Timoer (GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani) dan sejumlah sentana dan abdidalem duduk lesehan di atas lantai, menyaksikan jalannya gladen tarian sakral, Selasa Kliwon siang itu.
Merasa ditunjuk dan mendengar teriakan ditujukan kepadanya, beberapa waktu kemudian Gusti Moeng berdiri dan berjalan ke arah lelaki tua yang terdengar bersuara keras di antara suara gamelan iringan Bedaya Ketawang. Tetapi orang yang dituju sudah turun dari lantai teras Pendapa Sasana Sewaka dan menyingkir jauh karena ditenangkan dua abdidalem dan “nasihat” KPH Edy Wirabhumi. Karena orang yang dituju sudah tidak ada, Gusti Moengpun hanya berucap : “Oooo… iki mau kelebon wong edan ta…? Mula kok suarane ora cetha, mung keprungu bengok-bengok kaya wong kesurupan…,”.
Insiden itu seakan menjadi “pememeriah” peristiwa gladen kali pertama dilakukan Sanggar Pawiyatan Beksa Kraton Mataram Surakarta yang dinisiasi Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa, setelah 5 tahun lebih tak memiliki kesempatan untuk “memuliakan” karya Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma itu. Bagi yang sudah paham bagaimana kraton menggelar upacara tingalan jumenengan dan hadirnya beksan Bedaya Ketawang sebelum 2017, memang malah bisa bercerita. Yaitu berkisah tentang peristiwa tampilnya kembali tari “Bedaya Ketawang” yang “Ori”, dalam proses transisi untuk mengembalikan sajian tari “Bedaya Ketawang” kelas “KW” ke “alamnya”, Selasa Kliwon, 20 Desember siang itu. (Won Poerwono-bersambung-i1)