Gelar Budaya Sekaten 2022, Kembali Merintis Syi’ar Budaya dari Nol (seri 3 – habis)

  • Post author:
  • Post published:October 15, 2022
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read

Membaca Simbol-simbol Tata Nilai Melalui Sajian Tari

IMNEWS.ID – MEMAKNAI kebangkitan di bidang sosial, budaya dan ekonomi di penghujung pandemi yang kini bersiap menuju endemi Corona di Tanah Air, sudah tepat ketika segala bentuk aktivitas seni budaya cepat proaktif bergerak, apalagi ketika peristiwanya bersentuhan dengan aspek ekonomi kerakyatan dan aspek kepariwisataan. Oleh sebab itu, sangat tepat ketika ritual Sekaten Garebeg Mulud 2022 menjadi tanda pembuka kebangkitannya, dan Gelar Budaya Sekaten yang diinisiasi Lembaga Dewan Adat menjadi rangkaian pelengkap kebangkitan yang lebih tepat.

Banyak kebutuhan dan manfaat bisa dijawab sekaligus dengan bangkitnya aktivitas budaya melalui ritual Sekaten Garebeg Mulud beserta Gelar Budaya Sekaten yang datang paling awal di penghujung pandemi, karena kebangkitan ekonomi menjadi kebutuhan sangat mendasar yang sama bobotnya dengan kebutuhan tetap tegaknya kutuhan bangsa dan negara (NKRI) ini. Karena, Sekaten merupakan representasi budaya Jawa sekaligus kraton, dan kearifan yang keluar dari budaya lokal (Jawa) adalah ciri kebhinekaan yang menjadi identitas sekaligus ketahanan budaya nasional.

Di tingkat nasional, ciri kebhinekaan bangsa ini sedang mendapat ujian berat, karena “dirusak” potensi anasir radikalisme dan intoleransi, sehingga membuat kearifan budaya lokal, termasuk Jawa, menjadi samar-samar, antara ada dan tidak, antara penting dan tidak, antara bisa dijadikan pemandu kehidupan dan tidak. Ujian berat kearifan budaya Jawa, bisa diidentifikasi saat berlangsungnya ritual Sekaten Garebeg Mulud dan Gelar Budaya Sekaten yang melengkapinya, belum lama ini, yang gejalanya sangat jelas nampak.

Dari Negara Manca

HEBOH TAPI MENGHIBUR : Sajian tari Lengger Sekar Gadhung dari Banyumas, tampak heboh karena aksi penarinya yang waria cukup heboh, tetapi sangat menghibur para pengunjung Gelar Budaya Sekaten di Pendapa Sitinggil Lor, Rabu malam (5/10). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Selama lima malam mulai Minggu (2/10) hingga Jumat (7/10), Gusti Moeng selaku penanggungjawab Gelar Budaya Sekaten menyuguhkan rata-rata 5 repertoar tari tiap malamnya yang disajikan 12 sanggar tari, termasuk Sanggar Pawiyatan Beksa Kraton Mataram Surakarta yang dipimpinnya. Pentas tari Gelar Budaya Sekaten disajikan di Pendapa Sitinggil Lor, bersamaan dengan konser gamelan Sekaten Kiai Guntur Sari dan Kiai Guntur Madu di halaman Masjid Agung, yang diakhiri dengan prosesi kirab hajaddalem gunungan Garebeg Mulud sebagai puncak peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW.

Bagi para pengunjung Sekaten yang datang pada saat konser gamelan gending Rambu dan Rangkung diperdengarkan di Masjid Agung, lalu menyambangi Pendapa Sitinggil Lor mulai pukul 19.00 WIB, pasti mendapat suguhan atraksi seni tari dari sanggar-sanggar yang sudah dijadwalkan tampil bergiliran tiap malamnya. Di situ, rata-rata disuguhkan repertoar tari klasik tradisional baik yang berasal dari kraton, maupun yang berkembang/diadaptasi di tengah warga peradaban, bahkan tari kreasi baru yang diadopsi dari negara manca.

Ada 30-an repertoar tari yang disuguhkan 12 sanggar tari dalam lima malam Gelar Budaya Sekaten, 80 persen adalah repertoar tari klasik khas kraton dan tradisional yang berkembang di luar kraton, sedangkan 10 persen sisanya dalah tarian rakyat dan kreasi baru yang mengadopsi unsur-unsur budaya manca. Para penonton atau pengunjung Sekaten yang kebanyakan generasi kelahiran 1980-an hingga 2000-an, diperkenalkan pada repertoar tari Srimpi Ludira Madu, Golek Tirta Kencana, Adaninggar-Kelaswara, Perang-Kembang, Prawira Watang, Bambangan-Cakil dan fragmen Srikandi-Mustakaweni yang mewakili tari klasik khas kraton dan tradisional, serta tari Lengger Sekar Gadhung, Bajidor Kahot, Yapong, Jaipong, tari India dan Latina yang mewakili tarian rakyat dan kreasi baru.

Tanpa Kata-kata

BAMBANGAN-CAKIL : Tari Bambangan-Cakil yang disuguhkan oleh salah satu sanggar penyaji Gelar Budaya Sekaten di malam ketiga di Pendapa Sitinggil Lor, Selasa (4/10), juga penuh unsur entertainmentnya karena dua penarinya masih usia anak-anak. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dari sejumlah repertoar tari, sudah bisa dipetakan semuanya bisa memenuhi kebutuhan hiburan (entertainment) sebagai isi pesan (message) karena sudah 2 tahun lebih tak ada sajian hiburan langsung seperti malam itu. Tetapi, dari semua repertoar itu, rata-rata sulit dipahami di mana letak unsur edukasi tata nilainya. Karena semua berupa simbol gerak dan simbol kesatuan sikap yang sama sekali tanpa kata-kata penjelasan (maknanya), sedangkan para penontonnya yang nota bene pengunjung Sekaten, rata-rata tidak bisa memahami makna simbol-simbol itu.

Oleh sebab itu, ada jarak dalam proses edukasi tata nilai dari ritual Sekaten Garebeg Mulud, bahkan juga pada ritual-ritual aset kraton lainnya yang tidak populer dan kurang terbuka seperti Sekaten Garebeg Mulud. Dari sisi upaya melengkapi dan menyeimbangkan antara syi’ar agama dan syi’ar budaya yang berisi tata nilai adat itu, terasa belum cukup dengan sajian-sajian itu, untuk itu perlu dicari formula yang baik dan tepat untuk menggenapinya hingga benar-benar seimbang, karena dinamika perkembangan situasi sosial, politik dan budaya khususnya yang mengarah pada disintegrasi bangsa, karena tidak seimbang antara syi’ar agama dan syi’ar budaya.

Sanggar Pasinaon Pambiwara atau lembaga sejenis yang mengedukasi secara khusus tentang tata nilai berkepribadian dalam budaya Jawa, memang tidak sesuai dihadirkan di tengah keramaian Sekaten Garebeg Mulud untuk kebutuhan edukasi tata nilai adat, pada momentum berkumpulnya warga peradaban dalam jumlah besar, hampir sebulan bila dihitung durasi keramaian pasar malamnya. Tetapi, melihat urgensi kebutuhan besar bagi negara yang sedang menghadapi anasir-anasir disintegrasi, diperlukan formula yang tepat untuk itu dengan memanfaatkan momentum-momentum semua upacara adat yang digelar Kraton Mataram Surakarta.

Punya Rasa Hormat

SENTUHAN INOVASI : Seorang dosen jurusan tari ISI Surakarta memberi sentuhan inovasi, dengan spontan menciptakan gerakan tari yang disesuaikan dengan irama gamelan Sekaten Kiai Guntur Sari yang sedang ditabuh di Masjid Agung pada Sekaten sebelum 2017. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Formula kegiatan edukasi dimaksud, diharapkan tetap berfungsi untuk menjelaskan simbol-simbol message yang diberikan Lembaga Dewan Adat melalui sajian tari pada Gelar Budaya Sekaten atau konser karawitan gamelan Kiai Gutur Sari dan Kiai Guntur Madu. Karena banyak hal yang bisa dijelaskan dari semua simbol yang sarat makna filosofi bagi kehudupan ini, yang sulit bahkan sangat awam bagi generasi peradaban masa kini. Misalnya untuk menjelaskan bahwa gerakan “sembah” atau “menyembah” sebagai gerakan awal semua jenis tari di kraton, adalah bentuk sikap hormat khas peradaban Jawa kepada para leluhur yang menciptakan karya apapun yang adi luhung, agar tidak diartikan menyembah benda, apalagi berhala.

Tata nilai adat dalam syi’ar budaya yang pernah diformulasikan KRAT Hendri Rosyad Reksodiningrat, memang bukan hanya urusan gerakan verbal “sembah” atau sejenisnya yang bisa diasumsikan bertentangan dengan ajaran agama, tetapi esensi dari tata nilai yang harus dimiliki setiap insan khususnya warga peradaban Jawa adalah tata cara berbudi pekerti dalam hubungan sosial antar manusia di level apapun. Punya rasa hormat kepada apapun dan siapapun atau punya tata krama dan tata susila serta punya rasa hormat dalam bentuk apapun atau punya unggah-ungguh dan tata basa, itu jelas beda jauh atau tidak sama dengan yang dimaksud berperilaku feodal.

Merintis syi’ar budaya yang sedang dilakukan Lembaga Dewan adat mulai dari titik nol sekarang ini, memang bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan penyampaian message dalam bentuk simbol-simbol yang diurai dari sajian Gelar Budaya Sekaten maupun sajian konser karawitan sepasang gamelan Kiai Gutur Sari dan Kiai Guntur Madu. Tetapi, upaya menjawab banyak tantangan untuk pelestarian budaya Jawa, kelangsungan eksistensi kraton, edukasi tata nilai adat, syi’ar agama yang “Njawani”, penegasan fungsi dan tanggungjawab kraton serta penegasan terhadap kewajiban negara untuk menghormati dan memelihara kraton sebagai modal menjaga keutuhan bangsa dan negara. (Won Poerwono-habis/i1)