Gelar Budaya Sekaten 2022, Kembali Merintis Syi’ar Budaya dari Nol (seri 2 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:October 14, 2022
  • Post category:Budaya
  • Reading time:8 mins read

Tata Nilai Simbolik yang Sederhana Pada Sajian Tari

IMNEWS.ID – KRATON Mataram Surakarta yang menjadi sumber budaya Jawa, baru memiliki sebuah lembaga yang secara khusus mengedukasi budaya Jawa secara umum dan hampir semua tata nilai dan adat secara khusus dan tersistem sejak berada di alam republik, persisnya sejak tahun 1990-an. Nama lembaganya Sanggar Pasinaon Pambiwara, yang secara teknis menyusun dan merumuskan semua tata nilai dan adat dalam budaya Jawa yang dalam keseharian digunakan di internal kraton maupun yang masih tersimpan dalam dokumen manuskrip karya para tokoh termasuk pujangga, yang semuanya untuk keperluan edukasi atau pembelajaran bagi kalangan internal maupun eksternal.

Mengapa semua tata nilai dan adat yang semula menjadi kebiasaan dilakukan dalam keseharian itu lalu diakumulasikan ke dalam lembaga Sanggar Pasinaon Pambiwara? Jawaban yang paling meyakinkan adalah karena roh atau nyawa budaya dan peradaban Jawa yang utama ada pada tata nilai dan adat, bahkan yang bersifat intangable karena berada dalam konsep dan konstruksi pemikiran, naluri dan angan-angan yang sudah menjadi warna nurani publik warga peradaban Jawa pada umumnya.

Mengapa harus diakumulasikan ke dalam lembaga itu? Jawabannya adalah strategi pelembagaan itu merupakan cara yang baik untuk mendokumentasikan sekaligus mempraktikkan semua konsep dan rumusan tata nilai adat oleh para insan lembaga, baik dalam kehidupan di lingkungan terkecil keluarga dan sekitarnya, maupun ketika bersama-sama menjalankan tugas lembaganya. Cara mengakumulasikan ke dalam lembaga Sanggar Pasinaon Pambiwara, sekaligus bisa dicapai fungsi pelestariannya, karena melalui proses edukasi kepada para siswanya, tata nilai dan adat itu menjadi berjalan dan hidup, serta ada proses transfer kepada generasi muda atau orang lain yang menjadi siswa sanggar.

Melalui Perjuangan

GOLEK SUKARENA : Tari Golek Sukarena, merupakan repertoar tari yang termasuk karya baru di Kraton Mataram Surakarta, yang disajikan di malam kedua Gelar Budaya Sekaten di Pendapa Sitinggil Lor, Senin (3/10).(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dengan sifat2 dan realitas kerjanya seperti itu, maka tata nilai adat tidak mungkin bisa diedukasi secara baik, lengkap dan maksimal di tengah keramaian pasar malam atau Maleman Sekaten, dalam rangka memenuhi kebutuhan lain di luar syi’ar religi agar menjadi lengkap antara syi’ar agama dan syi’ar budaya yang sering disebut-sebut KRAT Hendri Rosyad Reksodiningrat. Oleh sebab itu, walau capaiannya masih minim dalam soal transfer tata nilai dan adat, tetapi suguhan Gelar Budaya berupa pentas Wayang Kulit Muludan dan pentas tari yang dirintis jauh sebelum tahun 2017 dan mulai tahun 2022 ini sebagian diteruskan Lembaga Dewan Adat, menjadi salah satu solusi yang baik dan tepat.

Melalui “perjuanganan” yang lumayan gigih, akhirnya Lembaga Dewan Adat berhasil “menyelamatkan” kompleks Pendapa Pagelaran Sasanasumewa dari makelar sewa lahan yang sudah “menebas” semua lahan untuk kegiatan pasar malam Sekaten Garebeg Mulud 2022 sejak dua tahun sebelumnya, dengan nilai Rp 1,6 M. “Menyelamatkan” kompleks Pendapa Pagelaran Sasanasumewa, bisa dijadikan ajang pameran dan basar aneka produk UKM, sedangkan kompleks Pendapa Sitinggil Lor menjadi satu paket yang ikut terselamatkan karena bisa digunakan untuk ajang Gelar Budaya Sekaten, yang isinya pentas tari yang diisi 12 sanggar tari dari Surakarta, Karanganyar dan Sukoharjo bahkan Banyumas, yang tiap malam disuguhkan sedikitnya repertoar tari.

Gusti Moeng selaku ketua LDA sekaligus penanggungjawab basar aneka produk UKM di Maleman Sekaten sekaligus Gelar Budaya Sekaten, mengelola solusi kebutuhan tata nilai dalam syi’ar budaya itu dengan baik dan tepat, meskipun diakui masih banyak kekurangannya seperti yang diungkapkan KPH Raditya Lintang Sasangka. Salah seorang wayah dalem Sinuhun PB X ini aktif menjadi penggerak Sanggar Pasinaon Pambiwara sebagai kepala, juga aktif menggerakkan para abdidalem karawitan dari kantor Pengageng Mandra Budaya untuk mengikuti langkah Gusti Moeng yang terus berupaya mencari jalan untuk pelestarian budaya Jawa demi kelangsungan Kraton Mataram Surakarta.

Dalam Keterbatasan

SRIMPI LUDIRA MADU : Tari Srimpi Ludira Madu yang disajikan di malam perdana, Minggu (2/10), adalah repertoar tari karya Sinuhun PB V untuk melukiskan bahwa dirinya punya darah (ludira) keturunan Madura (madu), karena sang ibu berasal dari Madura. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Kalau dibilang masih banyak kekurangan, itu jelas. Apalagi sanggar punya kita sendiri (Sanggar Pawiyatan Beksa-Red), yang hampir semuanya dadakan dan kurang persiapan. Mudah-mudahan, semua pihak yang terlibat terutama para penyaji dari sanggar, bisa memaklumi kondisi itu. La gimana, untuk bisa mendapatkan tempat pentas (Gelar Budaya Sekaten) saja harus melalui perjuangan seperti itu. Kita semua berdoa, mudah-mudahan tahun depan bisa berlanjut, dengan persiapan yang lebih baik, agar sajiannya juga semakin tertata lebih baik,” harap GKR Wandansari Koes Moertiyah yang akrab disapa Gusti Moeng, selaku Ketua LDA sekaligus penanggungjawab Gelar Budaya Sekaten, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.

Apa yang diungkapkan Ketua Sanggar Pawiyatan Beksa Kraton Surakarta itu memang mengesankan ada banyak keterbatasan yang bisa dilakukan dalam memaknai ritual dan keramaian Sekaten Garebeg Mulud yang kembali digelar Kraton Mataram Surakarta, setelah libur dua tahun akibat pandemi Corona. Selain tempat, waktu yang diperoleh untuk mempersiapkan Gelar Budaya Sekaten selama lima hari dari Minggu (2/10) hingga Jumat (8/10) itu juga sangat singkat, termasuk keterbatasan para abdidalem yang punya tugas sekaligus kompetensi di bidangnya (karawitan dan tari), juga menjadi sangat terbatas.

Keterbatasan waktu dan juga pembiayaan, tentu berpengaruh pada kebutuhan publikasi yang pasti juga terbatas jarak dan jumlah jangkauannya, walaupun nyaris tiap malam pentas tari Gelar Budaya Sekaten ditonton rata-rata 200-an orang. Segala keterbatasan terutama pembiayaan itu, jelas berpengaruh terhadap keterlibatan para abdidalem karawitan, termasuk tokohnya, KPH Raditya Lintang Sasangka, karena semua sajian tari hanya dengan iringan karawitan rekaman soft ware yang tersimpan dalam flash disk. Iringan karawitan secara live untuk semua repertoar tari khas dari kraton menjadi sulit diwujudkan, karena untuk “mendapatkan” gamelan yang sesuai juga sulit.

Proses Komunikasi

WAYANG MULUDAN : Pentas wayang kulit Muludan, adalah gelar budaya yang diinisiasi KGPH Puger untuk melengkapi ritual Sekaten Garebeg Mulud yang sudah dirintis di tahun 2014 di Alun-alun Kidul, yang menghadirkan tokoh-tokoh seniman dalang besar. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam serba keterbatasan seperti itu, satu atau dua di antara sejumlah misi yang dicapai dengan Gelar Budaya Sekaten sudah membuat sedikit lega. Setidaknya, fungsi hiburan batiniah berupa gerak tari berirama yang mewakili sebuah karya besar peradaban, adalah pesan yang sudah disampaikan kepada para penonton sebagai audience atau komunikannya bila itu merupakan sebuah proses komunikasi. Bahwa, pesan itu akan bisa merubah perilaku dan pola serta konstruksi pemikiran para audience atau tidak, sangat tergantung pada banyak hal, di antaranya intensitas pemberian pesan dan kapasitas pribadi-pribadi (komunikan) yang menerima pesan.

Yang jelas, semua pesan yang disampaikan secara simbolik melalui gerak tari yang mendominasi pesan selain unsur auditif iringan karawitannya, dimaksudkan agar proses komunikasi bernilai edukasi melalui sajian berbagai jenis tari terutama yang kental simbol tata nilainya, bisa membentuk opini, merubah pola pikir dan merubah perilaku. Tetapi, pesan berupa gerak tari beberapa repertoar yang disajikan pihak komunikator (penyelenggara), bila belum sampai membentuk opini, merubah pola pikir dan perilaku, setidaknya sudah bisa menghibur dan menambah kekayaan referensi seni di benak para audeience (komunikan), bahkan untuk tahap pengenalan bagi generasi muda milenial.

Bagi yang sedang mengenal jenis-jenis tarian seni tradisional terutama yang khas Kraton Mataram Surakarta seperti disajikan Sanggar Pawiyatan Beksa pimpinan Gusti Moeng, ada jarak masih jauh untuk memahami isi pesan (komunike) berupa tata nilai adat itu. Karena, simbol dari gerakan “sembah” atau “menyembah” dalam repertoar tari apa saja koleksi kraton, seperti misalnya tari Srimpi Ludira Madu yang disajikan malam perdana, Minggu malam (2/10), belum tentu dipahami sebagai bagian dari tata nilai tata krama atau unggah-ungguh. Masih perlu ditingkatkan intensitas komunikasi yang lebih bervariasi, agar tidak dipersepsikan salah. (Won Poerwono-bersambung/i1)