Peringatan Khol ke-389 Wafatnya Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma
SURAKARTA, iMNews.id – Mengawali bulan Sapar di Tahun Baru Jawa Ehe 1956 setelah hampir sebulan penuh padat agenda kegiatan di bulan Sura, Kraton Mataram Surakarta menggelar upacara adat haul atau khol memperingati 389 tahun wafatnya “Raja Mataram Islam”, Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. Ritual religi berupa doa wilujengan, tahlil dan dzikir syahadat Qures serta salawat Sultanagungan serta syahadat Qures yang diikuti sekitar seribu orang dari berbagai elemen, dilaksanakan Lembaga Dewan Adat (LDA) di Pendapa Pagelaran Sasanasumewa, Selasa siang tadi (30/8).
Pelaksanaan upacara adat peringatan wafatnya pendiri Mataram Islam itu agak beda dari tahun-tahun sebelumnya, yang langsung diadakan di kagungandalem Masjid Agung Kraton Mataram Surakarta, atau di tempat yang sama yaitu Pendapa Pagelaran tetapi keseluruhan rangkaian acaranya hanya berlangsung di kompleks pendapa. Ritual yang digelar LDA tadi, diawali dengan kirab perwakilan trah darahdalem dari Sinuhun Paku Buwana (PB) I hingga PB XIII, diikuti sejumlah elemen LDA di antara Pakasa cabang dari beberapa daerah, berjalan dari halaman kompleks Pendapa Sasanamulya menuju Pendapa Pagelaran yang jaraknya sekitar 300 meter.

Peserta kirab yang di dalamnya terdapat GKR Wandansari Koes Moertiyah (Ketua LDA), KGPH Mangkubumi sebagai calon pengganti Sinuhun PB XIII bersama kakaknya GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani, para wayahdalem Sinuhun PB XII, sentanadalem dan KPH Edy Wirabhumi selaku Pangarsa Punjer Pakasa, berjalan kaki yang dipandu beberapa bregada prajurit terutama prajurit Korp Musik drumb band. Tiap kelompok perwakilan trah darahdalem, membawa sesaji dan ubarampe lengkap, yang dipayungi, berjalan mengikuti urit dari trah darahdalem Sinuhun PB I hingga PB XIII.
Yang menarik, di antara elemen-elemen LDA yang hadir di situ, adalah warga Pakasa Cabang Ponorogo (Jatim) yang mengenakan busana adat Jawa, tetapi ada sentuhan ciri kedaerahannya yang dikenal sebagai “Bumi Reog” yang berhias “dadhung” ukuran besar. Agak berbeda dengan stelan busana adat yang dikenakan warga Pakasa cabang lain yang hadir seperti Klaten, Boyolali dan dari wilayah eks Karesidenan Kedu yang umumnya sama dengan yang dikenakan sentana dan abdidalem di pusatnya Pakasa, Kraton Mataram Surakarta.

Prosesi kirab kelompok perwakilan trah darahdalem hanya butuh waktu sekitar 10 menit untuk tiba di Pendapa Pagelaran, lalu meletakkan masing-masing sesaji dan ubarampenya ke meja panjang yang sudah disediakan di depan back ground berukuran besar di sisi barat Pendapa. Termasuk, payung atau songsong yang sebelumnya memayungi segala jenis perlengkapan upacara yang dibawa masing-masing kelompok trah, lalu dipasang berdiri dari tempat khusus yang sudah disiapkan di depan.
Sesudah KGPH Mangkubumi menyerahkan ujub upacara kepada abdidalem jurusuranata MNg Irawan Wijaya Projodipuro, dimulailah tahlil dan dzikir syahadat Qures dan salawat Sultanagungan yang diteruskan doa wilujengan. Selesai itu, diteruskan dengan pembacaan riwayat singkat “Raja Mataram Islam” Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma oleh GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani. Terdengar dari uraian itu, terdapat data dan fakta penting yang merupakan salah satu karya “Raja” besar di Jawa, waktu itu, yaitu penghitungan waktu yang merupakan penggabungan dari Tahun Saka dan Tahun Hijriyah yang disebut Tahun Jawa.

Sambutan GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng selaku Ketua LDA sekaligus Pengageng Sasana Wilapa, menjadi pertanda inti upacara sudah berakhir. Di situ dia menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua yang hadir, sebagai salah satu wujud kesungguhan dalam upaya pelestarian budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta, yang di antaranya ada nilai-nilai luhur yang ditinggalkan leluhur, di antaranya Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma.
Sambutan berikut, disampaikan KPH Edy Wirabhumi selaku Pangarsa Punjer Pakasa sekaligus sebagai Ketua Umum MAKN. Selain menambah penjelasan karya-karya Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, dia juga melaporkan berbagai kegiatan yang dilakukan MAKN dalam upaya mewujudkan makna karya-karya Sultan Agung sesuai sabda nabi Muhammad SAW, Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Sementara, seorang ulama yang dihadirkan memberi tausyiah, menegaskan maksud haul Sultan Agung diadakan, pasti ada sesuatu atau hal baik yang ingin dikenang dan diteladani untuk menjaga hubungan yang “hablum minnallah” dan “hablum minnanas” . (won-i1)