“Ting-ting Hik, Jadah Jenang Wajik, Aja Lali Tinge Kobong….” (2-habis)

  • Post author:
  • Post published:May 14, 2022
  • Post category:Budaya
  • Post comments:0 Comments
  • Reading time:9 mins read

Dipindah ke Kupel Segaran untuk Meramaikan Kebon Raja

IMNEWS.ID – UPACARA adat hajad dalem Malem Selikuran atau Lailatul Qadar untuk memperingati perjalanan Nabi Muhammad SAW turun dari gunung Jabal Nur pada tanggal 20 Ramadan (kalender Hijriyah) atau 20 Pasa (kalender Jawa), sepanjang sejarah Mataram sejak Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma sudah dilakukan sebagai ritual tradisi yang bernafaskan religi. Karaton Mataram Surakarta (1745-sekarang) memperingati hari besar Islam itu dengan warna-warni hiasan seni budaya, yang dimaksudkan sebagai sebuah adat tradisi sekaligus meneladani para Wali Sanga ketika syi’ar Islam khususnya di Jawa.

Ciri-ciri upacara adat untuk hajad dalem menyambut malam Seribu Bintang, tentu sesuai dengan citra visualnya yang terkesan meriah, cerah dan penuh warna-warni sinar yang mencerminkan terang sinar seribu bintang, yang melukiskan penyambutan masyarakat untuk menerangi jalan yang dilalui Nabi Muhhamad SAW saat turun dari gunung Jabal Nur. Tak hanya itu, berbagai uba-rampe juga disiapkan berupa nasi wuduk (gurih) dan lauknya secara lengkap yang di dalamnya ad ingkung ayam (dimasak opor/terik) dan segala perlengkapannya, yang dikenal dengan “tumpeng sewu”, untuk melukiskan bagaimana suka-cita menyediakan logistik bagi para pengikut Nabi.

Oleh karena itu, upacara adat hajad dalem  Malem Selikuran yang rutin tiap tahun digelar Lembaga Dewan Adat (LDA) Karaton Mataram Surakarta, selalu menampilkan kelengkapan sesuai ciri-ciri itu semua yang sudah ada sejak zaman Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma memimpin Karaton Mataram Islam.  Selain jenis-jenis makanan khas dengan berbagai uba-rampe (rangkaian kelengkapan) itu, juga ada unsur keseniannya yang yang selaras dengan nafas Islam, yaitu musik Santiswaran atau Laras Madya dan musik “live” Cara Balen yang pada perkembangannya kemudian ditambah musik hadrah atau samroh (terbangan), yang masih dipadu dengan musik drumb band prajurit Korp Musik Karaton Mataram Surakarta.

Meramaikan Taman Sriwedari

TOPENGAN MASJID : Prosesi iring-iringan kirab yang membawa tumpeng sewu hajaddalem Malem Selikuran yang digelar LDA Karaton Mataram Surakarta, tiba di topengan kagungandalem Masjid Agung untuk selanjutnya didoakan sebagai puncak  upacara adat menyambut Lailatul Qadar pada 20 Pasa atau Ramadhan 2022, belum lama ini.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Yang pokok musiknya Santiswaran itu. Ketika Sinuhun PB X memindah ritual itu ke kupel Segaran Kebon Raja, prosesi arak-arakannya menuju ke sana, ditambahi prajurit yang lengkap dengan korp musiknya. Juga prajurit Panyutra, disertakan untuk menjadi ‘urung-urung’ (pengawal) hajad dalem Malem Selikurannya berupa joli dan ancak berisi tumpeng sewu yang dipikul para abdidalem itu. Tapi tidak disertakan gamelan Cara Balennya. Itu dimaksudkan agar Kebon Raja jadi meriah. Kirabnya juga menjadi hiburan yang menarik bagi masyarakat yang menonton,” ujar KRMH Kusumo Wibowo,  salah seorang putra KGPH Puger yang hingga kini dipercaya Ketua LDA (Gusti Moeng) sebagai penanggungjawab lapangan setiap upacara adat digelar,  ketika dihubungi iMNews.id, kemarin.

Sedangkan kelengkapan lainnya, adalah beberapa alat penerangan yang terdiri dari ting atau lentera dan oncor atau obor, yang hingga kini tetap dilestarikan keberadaannya sebagai penerangan prosesi kirab, ketika hajad dalem Malem Selikuran berjalan kaki melakukan kirab dari Karaton Mataram Surakarta menuju Kebon Raja atau Taman Sriwedari. Pada perkembangannya, “ting” atau lentara dikreasi menjadi lampu hias yang menyala ber warna-warni, yang di dalamnya ada lampu elektrik yang hidup dalam durasi lama dengan tenaga batere.

Tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, ritual hajad dalem Malem Selikuran yang penuh keindahan itu juga sempat berhenti di awal-awal masa revolusi kemerdekaan, hingga di era pemerintahan Orde Baru medio 1980-an dihidupkan kembali karena diadakan Pasar Malam “Maleman Sriwedari”.  Pasar malam yang memadukan antara ptensi berbagai kesenian tradisi dari dalam dan luar “gaya” Surakarta dengan keramaian aktivitas ekonomi berupa  stan-stan dagang aneka macam produk itu, menggunakan lokasi seluruh  bekas kebon binatang (bonbin) Kebon Raja atau Taman Sriwedari untuk menggelar semua potensi itu, untuk meramaikan pelaksanaan hajad dalem Malem Selikuran.

Demi Kepentingan Politik

KANCA KAJI : Abdidalem “Kanca Kaji” selalu menjadi cirikhas setiap berlangsungnya upacara adat yang digelar LDA Keraton Mataram Surakarta  di kagungandalem Masjid Agung, selain abdidalem juru suranata yang memimpin doa, tahlil dan dzikir pada ritual peringatan hari-hari besar Islam, seperti Malem Selikuran memperingati Lailatul Qadar, pada pada tanggal 20 Pasa atau Ramadhan, belum lama ini. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Saya pernah menjadi utusan dalem, dan ndawuhaken kepada abdi dalem juru suranata untuk mendoakan hajad dalem tumpeng sewu. Saya ikut berjalan kaki dari kraton menuju Taman Sriwedari. Prosesi kirab sangat komplet. Ada musik gamelan Cara Balen yang ditabuh secara ‘live’, mengiringi langkah prajurit Panyutra. Selain itu ada musik santiswaran, hadrah/terbangan dan korp musik prajurit kraton. Dalam perkembangannya, karena Taman Sriwedari dianggap sudah tidak layak untuk itu, maka hajaddalem Malem Selikuran cukup didoakan di kagungandalem masjid Agung.” papar KRRA Budayaningrat, salah seorang dwija dari Sanggar Pasinaon Pambiwara Karaton Mataram Surakarta, yang dihubungi iMNews.id di tempat terpisah.

Perkembangan zaman memang tidak bisa menjamin perjalanan budaya searah dengan realitas perubahan yang terjadi, sehingga infrastruktur berupa fasilitas rekreasi untuk publik yang bernama Kebon Raja menjadi tidak sesuai dengan yang diinginkan Sinuhun Paku Buwana (PB) X. Dengan berbagai alasan, situs peninggalan sejarah peradaban Mataram Surakarta itu harus dikorbankan demi kepentingan politik dan segala embel-embelnya, yang pada gilirannya mengorbankan segala macam pernik-pernik budaya yang ada di dalamnya, termasuk ritual hajad dalem Malem Selikuran (iMNews.id, 28/d).

Padahal, dengan segala keindahannya, proses Malem Selikuran bisa menjadi daya tarik wisata yang menguntungkan bagi income daerah dan kesejahteraan masyarakat secara luas, karena upacara adatnya dipusatkan di Taman Sriwedari yang notabene berada di tengah kota dan sudah dikenal luas sebagai ikon nomer satu Kota Surakarta. Penampilan prosesi kirab di penghujung rezim pemerintahan Orde Baru, barisannya cukup panjang karena didukung berbagai pihak yang semakin melekat bersenyawa sebagai simbol Surakarta atau simbol Jawa. Karena selain beberapa unit peserta pengaraknya yang sudah baku menjadi ciri khas, masih disertai dengan tampilnya beberapa figur putra/putri dalem atau wayahdalem, yang menunggang kuda untuk memerankan sebagai manggala (komandan) barisan.

Korban Dinamika Politik

SENI SANTISWARAN : Setelah ikut kirab berjalan kaki sambil menyanyikan tembang-tembang bernuasan Islami,  para abdidalem grup seni Santiswaran mengambil tempat di pendapa Masjid Agung untuk kembali menyajikan lagu-lagu Laras Madya yang sangat khas Mataram Islam di sela-sela berlangsungnya ritual hajad dalem Malem Selikuran yang digelar LDA, tanggal 20 Pasa atau Ramadhan 2022 lalu.. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Setelah era rezim Orde Baru berganti seiring dengan perubahan fungsi Taman Sriwedari yang disertai perubahan kebijakan Pemko setempat, ritual hajad dalem Malem Selikuran digelar di lingkungan “habitatnya” yaitu kawasan Karaton Mataram Surakarta. Apalagi sejak proses suksesi 2004, hajad dalem Malem Selikuran cukup digelar dengan prosesi kirab mengelilingi jalan lingkar dalam Baluwarti, dengan daya dukung yang kurang lebih sama. Keramaian pasar malam atau Maleman Selikuran/Ramadhan, digelar di Alun-alun Lor selama sebulan, mirip keramaian Sekaten saat merayakan hari besar Maulud Nabi Muhammad SAW, sebulan penuh sampai datang puncaknya gunungan garebeg Mulud.

Tetapi, perkembangan dan dinamika sosial-politik dan budaya di Indonesia  memang sulit menjamin perjalanan aktivitas seni budaya apalagi yang berlatarbelakang sejarah peradaban masa lalu, terutama yang diwariskan para leluhur Mataram. Keindahan Malam Seribu Bintang itu beberapa kali harus terhenti dan dikorbankan, setelah muncul berbagai peristiwa friksi dari dalam sejak 2004 dan puncaknya di tahun 2017. Apalagi ketika mulai 2020 “dipukul” dengan datangnya pageblug Corona, yang membuat LDA yang dipimpin GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng itu di satu sisi, harus mengadaptasikan ritual Malem Selikuran yang digelarnya dengan prokes Covid 19.

“Dua kali mengadakan Malem Selikuran di masa pandemi, sempat tidak pakai kirab keliling Baluwarti. Tetapi karena kemarin itu (iMNews.id, 23/4) suasana sudah longgar, ya kita lengkapi prosesinya. Kita akan bertemu lagi pada Malem Selikuran tahun depan. Mudah-mudahan bisa digelar kembali dan kita bisa bertemu lagi dalam tampilan yang lebih lengkap dan suasana yang  lebih baik di tahun 2023,” pinta Gusti Moeng menjawab pertanyaan para wartawan, seusai ritual malem Selikuran di kagungandalem Masjid Agung, Jumat malam (22/4). (Won Poerwono-habis/i1)     

Leave a Reply