Penegasan Soal Status Daerah Istimewa, Sekaligus Aksi-aksi yang Menyikapinya
IMNEWS.ID – SETELAH enam seri tulisan yang membahas peringatan “Maklumat Sinuhun PB XII” 1 September dari segala sisi (iMNews.id, 11/9/2023) yang berpijak dari forum diskusi yang diinisiasi Komunitas Societeit Surakarta (KSS) di Bangsal Smarakata (iMNews.id, 3/9), tampak masih banyak celah yang menutupi misteri tentang mengapa status Daerah Istimewa Surakarta tak kunjung dikembalikan?, menjadi satu sisi persoalan. Kemudian bagaimana kompleks Kepatihan dan dokumen bersejarah/barang seni di dalamnya dimusnakan begitu saja?, menjadi persoalan di sisi lain.
Foto salinan surat yang ditulis dengan mesin ketik dari surat aslinya yang dikirim Wapres RI Moh Hatta dari Den Haag, Belanda pada 12 September 1949 itu, ditujukan ke alamat “Minister Presiden” (Presiden Soekarno-Red) dan “Menteri Pertahanan Republik Indonesia” (di) Djokdjakarta isinya sangat meyakinkan. Bahwa Wapres Moh Hatta selain menunjukkan pengakuan dan dukungannya atas “Piagam Kedudukan” yang diterbitkan Presiden Soekarno pada 19 Agustus 1945, dia juga ingin meyakinkan kepada bangsa dan NKRI bahwa surat yang dikirim kepada Presiden Soekarno 12 September itu merupakan dukungan terhadap “Piagam Kedudukan”.
Inti isi surat Wapres RI Moh Hatta yang berbunyi “…., bahwa dalam perundingan KMB tetap diturut sikap dan pendirian, bahwa semendjak penjerahan piagam pengakuan pada penghabisan tahun 1945 oleh Pemerintah Republik Indonesia maka zelfbesturende landschappen Surakarta dan Mangkunegaran mempunyai kedudukan daerah istimewa menurut Undang – Undang Dasar Republik Indonesia. Berhubungan dengan ketetapan pendirian ini hendaklah ada persesuaian dengan kebijaksanaan dalam praktik pemerintahan terhadap kedua daerah istimewa itu.”
“Bersangkutan dengan persesuaian pendirian ini dan melihat aliran-aliran jang ada di daerah tersebut, maka djikalau sekiranja ada berlangsung penjerahan pemerintahan oleh Tentara Belanda, hendaknja penjerahan itu diterima dengan langsung oleh J.M. Tg. Minister Presiden dan Menteri Pertahanan sebagai wakil Pemerintah Republik Indonesia. Tentang pengangkatan Wali-kota baru di Surakarta hendaklah dilaksanakan setelah mendengar timbangan dan fikiran Rijksbestuurders Surakarta….”. Di bagian bawah salinan surat itu, tertulis “dtt. Mohammad Hatta” yang artinya dalam surat asli ada tandatangan langsung Wakil Presiden RI.
Ketika mencermati dan menganalisis surat Wapres Moh Hatta itu, ada beberapa hal yang ditegaskan dari kesepakatan yang dicapai di forum Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, 12 September 1949, karena Sinuhun PB XII dan SP Mangkunagoro VIII yang diundang ke sana, untuk menandatangani kesepakatan yang di antaranya pengakuan bahwa RI sudah merdeka. Karena pernyataan Sinuhun PB XII yang meyakinkan forum yang digelar PBB itu, membuat Wapres Moh Hatta selaku pimpinan delegasi RI di KMB, itu segera mengirim surat kepada Presiden Soekarno yang isinya tetap mendukung keistimewaan daerah Surakarta, bahkan Mangkunegaran.
Analisis lebih lanjut juga bisa menjelaskan, posisi Surakarta tetap pada kedudukannya sebagai daerah istimewa, juga ditegaskan Wapres RI Moh Hatta bahwa kedudukan dan status itu sudah dikuatkan dalam amanat UUD 1945, yang kini secara lengkap tetap disebut dalam pasal 18, walau sudah diamandemen beberapa kali. Pernyataan Wapres Moh Hatta melalui sepucuk surat yang dikirim dari Den Haag (Belanda) itu, tentu “tidak main-main”, karena segala keputusan pejabat atas nama pemerintah dalam menjelankan amanat undang-undang, tentu mempunyai kekuatan hukum positif.
Bila dicermati lebih lanjut, surat yang dikirim Wapres Moh RI Hatta kepada Presiden Soekarno yang berada di Jogja memimpin kabinet pemerintahannya, dan PM Sutan Syahrir di Surakarta memimpin tugas-tugas semua departemen pada 12 September 1949 itu, seakan menjadi keputusan berikut yang cukup jelas dan meyakinkan sebagai perkembangan politik berikut yang positif. Mengingat, status Daerah Istimewa Surakarta sudah “dititipkan” atau “dibekukan” dengan PP No 16/SD tahun 1946. Ini bisa dipahami, jawaban dan keputusan Sinuhun PB XII di KMB itu, seakan menjadi alasan terbitnya surat Wapres Moh Hatta 12 September 1949 itu.
Apabila kronologis setiap perkembangan itu bisa diterima dengan akal sehat sebagai proses pengambilan keputusan, sebenarnya sudah tidak perlu ada alasan menahan PP No 16/SD/1946 tentang status Daerah Istimewa Surakarta yang “dibekukan”. Tetapi, dalam perkembangan berikut setelah peristiwa KMB yang konon kepulangan delegasi RI tiba di Tanah Air sampai Desember 1949, sepertinya tidak ada perkembangan lanjutan yang bisa berupa keluarnya keputusan untuk mencabut PP No 16/SD/1946 itu. Bahkan, malah disusul dengan perkembangan politik dengan berubahnya RI menjadi RIS (Republik Indonesia Serikat) dan UUD 45 yang berubah menjadi UUD RIS.
Berubahnya format RI ke bentuk RIS yang disertai berubahnya UUD 45 menjadi UUD RIS, tentu merubah banyak status hukum hampir semua produk peraturan perundang-undangan di negeri ini. Karena, lahirnya UUD No 10 tahun 1950 tentang pembentukan Provinsi Jawa Tengah, karena berdasar atas UUD RIS yang berada di bawah pemerintahan RIS dengan diikuti perubahan beberapa figur kepemimpinannya, termasuk yang bertandatangan pada UUD No 10 tahun 1950. Lucunya lagi, pada 5 Juli 1959 pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden yang menyatakan kembali lagi ke bentuk pemerintahan RI dan murni kembali ke UUD 45.
Dalam peristiwa perubahan seperti itu, nyaris tidak ada ahli tatanegara khususnya di negeri ini yang “peduli” dan “sadar” terhadap tanggungjawab dan kewajiban keilmuannya untuk mengritisi segala produk peraturan dan hukum dalam suasana perubahan itu, termasuk UU No 10 tentang Provinsi Jateng. Apa tidak risau melihat produk pemerintahan RIS yang berpedoman pada UUD RIS tetap diberlakukan hingga kini? Padahal, pemerintahan sudah kembali ke format RI dan kembali ke UUD 45. Sekarang, sudah 74 tahun dari saat surat Wapres Moh Hatta diterbitkan. Mengapa status DIS tidak segera dikembalikan? Apa ada alasan yang sama dengan para pengacau yang membumihanguskan Kepatihan saat ditinggal ke KMB? (Won Poerwono-i1).