Memperkuat Local Wisdom untuk Menghadapi Gempuran Budaya Asing
IMNEWS.ID – BUPATI Sidoarjo (Jatim) H Achmad Muhdlor Ali SIP seperti mendapat ”jalan terang” ketika dirinya menjadi orang yang berada di posisi paling depan, untuk memimpin sekaligus melindungi masyarakatnya dari berbagai ancaman, khususnya gempuran budaya asing. Pemimpin daerah yang satu ini, sadar betul terhadap tugas dan tanggung-jawabnya, posisi wilayah yang dipimpinnya serta sejarah asal-usul peradaban berikut ”segala kekhawatirannya”.
Beberapa hal yang melukiskan satu atau dua sisi dari sosok pemimpin itu, terlukis ketika sang pemimpin yaitu Bupati Aidoarjo, H Achmad Muhdlor Ali SIP, berpidato memberi sambutan di depan para tamunya dari Keraton Mataram Surakarta, Minggu siang (30/1). Rombongan tamunya yang terdiri dari Ketua LDA (GKR Wandansari Koes Moertiyah), Pangarsa Punjer Pakasa (KPH Edy Wirabhumi), Wakil Pengageng Keputren (GKR Timoer Rumbai Kusumodewayani) dan putra mahkota Keraton Mataram Surakarta (KGPH Mangkubumi) serta para sentana dan abdidalem garap, dijamu dalam sebuah upacara sederhana di Pendapa Delta Wibawa, kompleks rumah dinas bupati.
Jamuan yang digelar Bupati Sidoarjo bersama pengurus Pakasa Cabang Sidoarjo siang itu, dirangkai dalam sebuah upacara sederhana bertajuk ”Wisuda Abdidalem dan Penetapan Pengurus Pakasa Cabang Sidoarjo”. Dua acara sekaligus digelar, yaitu wisuda bagi 125 abdidalem penerima kekancingan paringdalem gelar sesebutan, termasuk Bupati Sidoarjo, dan pelantikan serta penetapan pengurus Pakasa Cabang Sidoarjo hasil restrukturisasi.
”Saya secara pribadi dan mewakili masyarakat Kabupaten Sidoarjo mengucapkan terima kasih atas kerawuhan rombongan dari Keraton (Mataram) Surakarta. Kami sangat senang sekali, karena kami mendapat jawaban atas kekhawatiran kami selama ini, sehubungan dengan posisi Kabupaten Sidoarjo yang semakin menjadi majemuk masyarakatnya, dekat sekali dengan pintu masuknya budaya asing. Apalagi, kini Sidoarjo menjadi kota tujuan bagi para pencari kerja. Sebab, UMK-nya hanya selisih Rp 90 ribu dari DKI (Jakarta)”.
”Jadi, akulturasi (pularitas) budayanya makin banyak, beragam dan kompleks. Termasuk, Sidoarjo punya bandara yang menjadi pintu masuk budaya asing. Dengan kerawuhan Gusti Moeng, Kanjeng Pangeran (KPH) Edy Wirabhumi dan rombongan dari Keraton Surakarta, kami jadi semakin yakin ada dorongan semangat dan dukungan untuk menguatkan local wisdom. Ini yang bisa membentengi masyarakat kami dari ancaman budaya asing. Karena, tidak bisa ditutupi lagi, generasi muda kita lebih tertarik pada K-Pop dibanding budayanya sendiri,” tunjuk tandas Bupati Achmad Muhdlor Ali, saat memberi pidato sambutan di depan para tamunya.
Mencermati pidato sambutan bupati yang tampak bersemangat, senang dan penuh optimistik, sangat melukiskan keberuntungan dan kegembiraannya yang bisa menjawab ”kegelisahannya” selama ini ketika melihat realitas di tengah masyarakatnya yang semakin pesat menjadi modern. Sebagai seorang yang memiliki kekuatan spiritual religi dan datang dari keluarga yang turun-temurun ada di pulau Jawa, dirinya tampak yakin bahwa spirit yang dimiliki adalah spirit budaya Jawa, tetapi realitas masyarakat di sekeliling yang dipimpinnya ternyata sudah sedemikian maju dan modern, hingga nyaris ”lepas” dari bingkainya sebagai bagian dari peradaban Mataram dan budaya Jawa.
Sikap optimistik Bupati Sidoarjo yang terkesan sangat ”mendambakan” dukungan kekuatan dari spirit budaya Jawa dan peradaban Mataram, ternyata tidak salah, bahkan sangat tepat. Karena, hasil penelitian Ketua Lokantara Pusat (Jogja) Dr Purwadi menyebutkan, bahwa Kabupaten Sidoarjo merupakan wilayah pemekaran dari Surabaya yang ditetapkan Sinuhun Paku Buwono (PB) VII (1830-1858) menjadi wilayah kabupaten mandiri/terpisah pada tanggal 13 Januari 1854.
”Sebelum Sinuhun PB VII atau zaman sebelumnya, Sidoarjo masih jadi satu dengan Surabaya. Sinuhun memberi nama daerah itu ‘Sido’ yang berarti ‘keberhasilan’, dan ‘arjo’ yang berarti ‘kemakmuran’. Ketika disatukan menjadi ‘Sidoarjo’, makna yang muncul adalah ‘selalu mendapat kemakmuran lahir-batin. Ketika masih menjadi bagian dari wilayah Surabaya, nama daerah itu Sidokare. Tetapi atas saran pujangga Ranggawarsita, Sinuhun PB VII merubah nama menjadi Sidoarjo, yang lestari sampai sekarang ini,” jelas Dr Purwadi menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.
Ketika dicermati lebih lanjut, ungkapan kegembiraan dan kebanggaan Bupati Achmad Muhdlor Ali di atas ternyata ada hal lain yang menjadi alasannya. Yaitu aura suasana hangat dan semangat segenap masyarakat dan kalangan pemimpin Kabupaten Sidoarjo yang seakan bangkit dan menyebar, saat rombongan dari Keraton Mataram Surakarta yang dipimpin GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua LDA tiba.
Suasana hangat dan semangat yang sedang bangkit dan menyebar itu, karena juga didorong oleh niat yang muncul pada momentum yang tepat, yaitu peringatan dan perayaan Hari Jadi atau ulang tahun Kabupaten Sidoarjo yang ke-163 di bulan Januari itu, yang menurut hasil penelitian Dr Purwadi jatuh pada tanggal 13 Januari. Jadi, terjawablah sudah semua kekhawatiran, kegelisahan dan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini melintas di benak para tokoh seperti Bupati Sidoarjo itu.
Itu juga berati, sejak Kabupaten Sidoarjo ditetapkan Sinuhun PB VII pada tanggal 13 Januari 1854 yang kemudian dijadikan lahir kabupaten, mungkin baru di usia 163 tahun ini tali silaturahmi antara masyarakat Sidoarjo dengan Keraton Mataram Surakarta kembali terjalin. Atas kepemimpinan Bupati Achmad Muhdlor Ali yang dijembatani pengurus Pakasa Cabang Sidoarjo itu, tali persaudaraan sebagai sesama warga peradaban Mataram dan budaya Jawa dengan Keraton Surakarta yang selama ini merawat peradaban Mataram dan sumber budaya Jawa.
Berbagai sumber di Keraton Mataram Surakarta dan karya penulisan sejarah hasil penelitian di kabupaten-kabupaten yang ada di pulau Jawa yang dilakukan Dr Purwadi menyebutkan, sudah menjadi tradisi ketika para raja Mataram (Kutha Gedhe, Plered, Kartasura dan Surakarta) mengangkat/mewisuda aparatnya, yaitu para Bupati ”manca” (daerah/luar-Red), selain surat penetapan, juga disertai benda simbol jabatan, bila bukan keris, pasti tombak atau sejenisnya. Dalam makna ikatan silaturahmi dan dukungan semangat pelestarian budaya, Pangarsa Punjer Pakasa KPH Edy Wirabhumi memberikan pusaka mata tombak ”luk pitu” (lekuk tujuh) ”tangguh” Mataram, bernama ”Lung Gandhu” kepada Bupati Sidoarjo. (Won Poerwono-bersambung)