Tiga Bidang Studi yang Belum Memenuhi Kebutuhan Pelestarian (seri 2-habis)

  • Post author:
  • Post published:September 11, 2022
  • Post category:Budaya
  • Reading time:8 mins read

Kesalahan Menulis Kata Dalam Bahasa Jawa, Malah Jadi Trend yang “Fun”

IMNEWS.ID – KEDATANGAN sekitar 60 guru Bahasa Jawa SMA sebagai perwakilan dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah di ndalem Kayonan, Baluwarti sehabis mengikuti loka karya di Surakarta, belum lama ini (iMNews.id, 7/9/2022), memang menjadi peristiwa biasa meskipun di dalamnya ada unsur penting yang menyangkut sikap penghargaan atau penghormatan. Namun bila dicermati lebih dalam, peristiwa itu menjadi peringatan untuk menggugah kesadaran warga peradaban/budaya Jawa, bahwa selama dua sampai tiga dekade ini terjadi kesalahan fatal dalam proses transfer pengetahuan tentang penguasaan aksara Jawa sebagai pengetahuan dasar untuk menguasai Bahasa Jawa dengan baik dan benar.

Karena letak salah satu titik kesalahannya ada pada penguasaan di bidang filologi atau aksara Jawa, maka sebenarnya ketika ada Kongres Aksara Jawa (KAJ) di Jogja, belum lama ini, yang merekomendasikan untuk menghilangkan “aksara murda” dalam pembelajaran dan penggunaan aksara Jawa terutama di lingkungan lembaga pendidikan, sesungguhnya merupakan sebuah solusi yang salah alamat. Dan karena itu, kalangan pendidik Bahasa Jawa di lingkungan lembaga pendidikan pada jenjang apapun di Jawa Tengah, tidak perlu terkecoh dan ikut menjadi “sesat”, karena permasalahan urgen yang dihadapi Jawa Tengah dan warga pengguna bahasa Jawa yang tersebar luas di luar itu adalah upaya pelurusan penggunaan bahasa Jawa secara benar dan tepat.

Memang benar, lembaga pendidikan formal selama ini seakan menjadi satu-satunya sumber acuan pembelajaran dan penggunaan Bahasa Jawa secara tepat dan benar, yang kemudian diharapkan bisa dijadikan pedoman warga peradaban secara luas. Tetapi ternyata harapan itu tidak pernah terwujud, karena banyak hal. Salah satu penyebabnya adalah terletak pada faktor pendidiknya sendiri yang tidak menguasai secara utuh pengetahuan yang diperlukan, baik untuk keperluan pembelajaran menulis maupun berbicara karena pemahaman soal aksara Jawa (Filologi) minim, atau memang tidak dimiliki karena para guru itu adalah lulusan spesialisasi bidang yang sudah terbagi menjadi tiga, yaitu filologi, sastra dan Bahasa Jawa.

Aksi Vandalisme

KETRAMPILAN PIDATO : Ketrampilan pidato atau penggunaan Bahasa Jawa untuk “hamicara” (berbicara-Red), memang lebih dibutuhkan bagi para siswa Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta, meskipun juga butuh pengetahuan mendasar tentang filologinya.(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Ya seperti itulah realitanya. Ternyata, dunia pendidikan kita belum menjamin ketersediaan proses pembelajaran yang utuh. Maka, ya tidak heran kalau generasi anak-anak kita mengalami kekurangan dalam pemahaman Bahasa Jawa nyaris lengkap. Tak paham aksaranya hingga tidak bisa menulis istilah atau kata dari vokabuler Bahasa Jawa secara tepat dan benar. Juga kekurangan dalam keperluan pengucapan ketika Bahasa Jawa digunakan sebagai alat komunikasi atau ketrampilan ‘hamicara’, misalnya pidato, bercakap-cakap dan sebagainya. Bahkan, banyak vokabuler dari Bahasa Jawa yang sudah tidak dimengerti atau asing,” tandas KP Budayaningrat selaku anggota Dewan Penasihat Pengurus Yayasan Panakawan Jateng, menjawab pertanyaan iMNews.d, kemarin.

Melihat realita dalam kehidupan warga peradaban secara luas, kekurangan yang sangat menonjol terjadi masyarakat pengguna Bahasa Jawa sekarang ini sudah berkembang menjadi dua generasi, yang didominasi usia 6-20 tahun dan 21-40 tahun, sisanya generasi usia 41-60 tahun. Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Jawa SMA se-Jateng memberi contoh, penulisan istilah (vokabuler) Bahasa Jawa yang dari aplikasi WA, SMS dan sebagainya, juga ungkapan-ungkapan kalimat vandalisme di tembok, dinding bak truk dan sebagainya, jelas sekali merupakan produk pendidikan akibat adanya kekurangan di sana, akibat guru-guru Bahasa Jawa memang tidak punya spesialisasi bidang pendidikan Filologi.

Benar sekali contoh realitas persoalan yang disebut KP Budayaningrat, dua kelompok usia yang mendominasi kekurangan dalam penguasaan Bahasa Jawa secara utuh terutama unsur dasar Filologi itu, sering memperlihatkan ekspresinya dalam menulis “wis” (uwis-Red) menjadi “wes”, karena pengetahuan yang didapat hanya berdasar ucapan yang didengar. Juga “sing” yang ditulis “seng”, “apik” ditulis “apek”, “tulis” menjadi “tules”, “mlendhung” yang ditulis “mlendong”, “wedhus” yang ditulis “wedos”, “kembung” yang ditulis “kembong” dan sebagainya.

Kekeliruan Serius

SUDAH SEWAJARNYA : Kemampuan berbicara dengan Bahasa Jawa “krama inggil” yang sering diperlihatkan Gusti Moeng ketika diminta memberi pidato sambutan hampir di berbagai kesempatan, memang sudah sewajarnya dimiliki seorang tokoh pemimpin pelestari budaya sekelasnya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ketika para guru Bahasa Jawa menguasai ketiga bidang sekaligus secara utuh yaitu filologi (aksara), sastra dan Bahasa Jawa, pasti anak didiknya akan mengenal bunyi kata dari sumber asalnya yang menggunakan aksara dengan “sandangan” masing-masing. Karena, dalam aksara Jawa dikenal “sandangan taling sari” untuk membentuk bunyi kata misalnya “Jebres”, “rendeng” dan sebagainya yang berbeda suara vokal pengucapannya dengan “edan”, “enak”, “kene” yang dalam penulisannya menggunakan “sandangan taling”, atau ketika dibandindkan dengan kata “ngadeg”, “wareg”, “seseg”, “wedhus”, “senep” dan sebagainya yang ditulis menggunakan “sandangan pepet”.

Kerancuan penulisan akibat sumbernya dari kata yang didengar, contohnya seperti “sing” yang ditulis “seng”, “apik” yang ditulis “apek”, “garis” yang ditulis “gares”, “gadhing” yang ditulis “gadheng” dan sebagainya, itu juga karena ketika bersekolah mulai SD hingga SMA atau sederejat, tidak mendapatkan pembelajaran Bahasa Jawa secara utuh, tepat dan benar. Karena, vokabuler Bahasa Jawa yang tulisannya menggunakan huruf “i” seperti pada kata garis, sing, apik, jarik, putih, luwih, krambil dan sebagainya, ditulis menggunakan “sandangan wulu” bukan dengan huruf “e” seperti yang terdengar.

“Menurut saya, kesalahan itu bukan trend untuk sekadar lucu-lucuan (fun-Red) dalam penulisan yang bisa diterima seperti halnya trend-trend lain dalam dialek yang gaul atau bahasa pergaulan yang wajar di kalangan anak-anak muda. Tetapi, itu merupakan kekeliruan serius  ke arah sesat, yang bisa merugikan dalam hubungan sosial kehidupan peradaban. Karena, Bahasa Jawa ada yang digunakan secara resmi di lingkungan kedinasan, misalnya di lingkungan lembaga pendidikan itu sendiri. Padahal, pelestarian budaya Jawa, salah satu titik awalnya dari memahami aksara Jawa,” tunjuk dwija di Sanggar Pasinaon Pambiwara itu menjelaskan.

Kelebihan Berlipat

SUDAH TEPAT : Datang kepada Gusti Moeng untuk mencari tahu sumber Budaya Jawa dan akar permasalahan dalam pelestariannya, adalah langkah yang sudah tepat dilakukan para guru Bahasa Jawa SMA di Jateng, karena dia punya kapasitas dan otoritas di bidangnya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Hadirnya Pergub No 55/2014 seperti disebut dalam pasal 4 yang berbunyi : “Dalam kegiatan perlindungan, pembinaan, dan pengembangan bahasa, sastra dan aksara Jawa, berpedoman pada penulisan aksara Jawa dengan Wewaton Sriwedari dan pembelajaran carakan Jawa, dimulai dari aksara Jawa Dentawyanjana, sandhangan, pasangan dan angka”, sudah bisa dianggap sebagai solusi atas permasalahan serius dalam upaya pelestarian Budaya Jawa. Tetapi, karena yang membutuhkan perbaikan yang solutif itu juga masyarakat luas di luar lingkungan pendidikan, maka diperlukan lembaga-lembaga lain yang bisa menjadi mitra pemerintah untuk mengatasi persoalan mendasar itu.

Keberadaan Yayasan Panakawan Jateng yang menjadi lembaga “think thank” bagi Pemprov Jateng terutama kebutuhan di lingkungan lembaga pendidikan, sudah sangat tepat untuk membuat gerakan kembali mencintai Bahasa Jawa dengan menggunakan secara tepat dan benar dalam upaya pelestarian Budaya Jawa. Sebab, di dalamnya ada para praktisi, pakar dari beberapa universitas dan pemilik otoritas lembaga pembelajaran Budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta, misalnya ada tokoh GKR Wandansari Koes Moertiyah yang dalam kapasitas Ketua LDA, bisa menggerakkan Sanggar Pasinaon Pambiwara dan Pakasa di semua cabang yang tersebar di Jateng (bahkan di Jatim-Red) untuk diajak menggelorakan gerakan ini.

Keterpaduan antara Pemprov yang memiliki lembaga pendidikan formal di berbagai jenjang, juga kalangan intelektual kampus yang memiliki Jurusan Sastra Jawa di FIB, dengan Yayasan Panakawan Jateng dan beberapa elemen yang dimiliki LDA Kraton Mataram Surakarta, akan bisa menuntaskan solusi permasalahan yang dihadapi itu. Bahasa Jawa memang memiliki kekurangan ketika digunakan untuk mempresentasikan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, tetapi memiliki kelebihan berlipat-lipat ketika berbicara soal ketahanan budaya, kebhinekaan bangsa, cirikhas fundamental etnik, modal dasar pembelajaran pengetahuan budaya di segala jenjang pendidikan, hingga keperluan kedinasan yang mencirikan dasar kepribadiannya. (Won Poerwono-habis/i1)