Mengabadikan Sebagai Nama Jalan dan Kampung, Cara Bijak dan Perbuatan Mulia
IMNEWS.ID – WALAUPUN sudah tidak menjadi ”wilayah adat” kedaulatan pemerintahan ”nagari” Mataram Surakarta, bukan berarti jejak-jejaknya dihapus muka bumi dan riwayatnya dilupakan dari ingatan publik. Kalau itu sampai benar-benar terjadi, betapa durhakanya generasi kehidupan yang berperilaku seperti itu. Bukankah mengabadikan segala kebaikan yang ditinggalkan para leluhur adalah cara bijak dan sikap mulia untuk berbhakti atau ”Mikul dhuwur, mendhem jero”?.
Pertanyaan seperti itu mungkin pernah muncul di benak di antara warga peradaban di masa lalu, kini atau mendatang. Karena, warga peradaban Jawa khususnya di Surakarta, memiliki orang-orang bijak seperti para Pujangga Ranggawarsita, Yasadipura dan sebagainya, yang selalu mengajarkan tentang nilai-nilai kearifan dan ”kawicaksanan” yang selalu menghargai ”sagunging dumadi” (semua makhluk hidup), yang di dalamnya mengandung ”piwulang luhur Mikul dhuwur, mendhem jero”.
Warga peradaban entitas Jawa, bahkan dikenal sangat memahami nilai-nilai kemanusiaan dalam konteks ”Hamemayu hayuning bawana; Karya nak tyas ing sasama” yang menjadi bagian dari sabdadalem Sinuhun PB X ”Rum-kuncaraning bangsa, dumunung ana ing luhuring budaya”. Pemahaman tentang nilai-nilai kearifan ini menjadi pintu masuk bagi siapapun yang ingin berbhakti atau ”Mikul dhuwur, mendhem jero” terhadap para leluhur peradaban, walau hanya bisa melakukannya secara simbolik, misalnya mengabadikan namanya sebagai nama jalan, kampung, bangunan di ruang publik dan sebagainya.
Menata Ulang Tata Ruang
”Menurut saya, perbuatan yang sangat mulia jika sebuah generasi mau berbhakti ‘Mikul dhuwur, mendhem jero’ dengan cara mengabadikannya sebagai nama jalan, kampung, daerah, bangunan di ruang publik atau lembaga yang sesuai. Saya pernah membaca, ada lembaga di TNI AD yang memakai nama Sambernyawa. Itu sikap yang sungguh mulia dan perbuatan bijak. Karena, Pangeran Sambernyawa (KGPAA MN I-Red), adalah Pahlawan Nasional. Nama-nama kampung di Kota Solo yang masih mempertahankan nama-nama bregada prajurit di Keraton Mataram Surakarta, itu juga sikap mulia dan cara bijak menghargai jasa-jasa para leluhur peradaban,” papar KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, kemarin.
Bahkan, pemerhati budaya Jawa dan keraton secara spiritual kebatinan itu kepada iMNews.id menyatakan, banyak cara yang sederhana bagi generasi masa kini dan mendatang untuk berbhakti kepada para leluhur dan menghargai jasa-jasanya. Ia sangat setuju dan mendukung penegasan RM Koes Rahardjo (KPHA Purbodiningrat) saat memberi sambutan pada sarasehan yang digelar Kantor DPD Partai Golkar memintai pandangannya, yang menyampaikan gagasan dan pemikiran untuk menata ulang tata ruang di Kota Surakarta, yang disesuaikan dengan kearifan lokal.
Penegasan yang juga disampaikan dalam wawancara khusus dengan iMNews.id ketika merancang sarasehan, medio November 2021 lalu itu, Ketua DPD Partai Golkar itu mengajak pemerintah dan elemen-elemen di Kota Surakarta dan secara struktural terkait, untuk mempertimbangkan penataan ulang tata ruang kota yang disesuaikan dengan kearifan lokal. KRT Hendri Rosyad yang dimintai pandangannya, juga sependapat untuk menghargai warga Kota Solo khususnya yang hingga kini masih mempertahankan nama-nama kampung, wilayah dan lokasi sesuai nama asli peninggalan leluhur pada peradaban yang lalu.
Nilai-nilai Kearifan Lokal
”Mudah-mudahan, bisa dipertimbangkan untuk menata ulang tata ruang secara lengkap dan menyeluruh. Kalau semua sudah disesuaikan dengan nilai-nilai kearifan lokal, Kota Surakarta akan menjadi kota yang sangat spesifik, unik dan menarik. Ini sangat menguntungkan bagi daya tarik industri pariwisata. Sekaligus, menjadi bentuk penghargaan kita kepada leluhur. Karena harus diakui, yang ada di sekitar kita di Kota Surakarta ini, banyak karya yang membanggakan. Kita wajib merawatnya, agar generasi anak-cucu kita juga menghargai dan meneladani kita, karena kita telah berbhakti dan menghargai peninggalan leluhur,” tunjuk KRT Hendri.
Benar kata KRT Hendri dan RM Koes Rahardjo, memang sebaiknya tata ruang Kota Solo ditata ulang dan disesuaikan dengan kearifan lokal, mengingat aset industri pariwisata di kota ini didominasi situs peninggalan sejarah warisan leluhur, mengingat selama 200 tahun (1745-1945) itu Kota Surakarta dibangun menjadi Ibu Kota negara Mataram. Sebab itu, agar benar-benar menjadi kota heritage dunia, sebaiknya ditata ulang, misalnya menempatkan nama jalan, kampung, lokasi, ruang publik, lembaga dan sebagainya secara arif dan bijak, dengan mempertimbangkan nilai-nilai kearifan lokal.
Dwija dari Sanggar Pasinaon Pambiwara Keraton Mataram Surakarta, KRRA Budayaningrat menyebut, hingga kini masih banyak tempat, kampung dan lembaga yang mengabadikan nilai-nilai kearifan lokal, di antaranya dari nama-nama Bregada Prajurit Keraton Mataram Surakarta. Misalnya, nama kampung/Kelurahan Jayengan, yang mengabadikan nama Bregada Prajurit Jayengastra, nama Kelurahan Joyotakan yang mengabadikan nama Bregada Prajurit Jaya Tanantaka, nama kampung Tamtaman (Kelurahan Baluwarti) yang mengambil nama Bregada Prajurit Tamtama dan sebagainya.
Bregada Prajurit 40-an
Nama kampung di Kelurahan Gajahan, Kecamatan Pasarkliwon, ada yang mengabadikan nama Bregada Prajurit Patangpuluhan (40-an), karena jumlah personel prajurit yang masih ada di masa Sinuhun PB X (1893-1939) itu ada 40 orang, yang punya ciri-ciri ”dug-deng” (tahan banting) dan ”anti racun”. Ciri-ciri pasukan ”pangingsep telik sandi” yang punya kemampuan tempur sangat tinggi sedikit berbeda dari tugas/fungsi Bregada Prajurit Jaya Tanantaka ini, menguasai berbagai jenis senjata (tradisional) ini, bisa jadi diteladani NKRI yang memiliki Kopassus atau ”pasukan sandi yuda”.
”Memang, tiap Sinuhun Paku Buwono yang jumeneng memiliki kelengkapan jenis dalam sistem pertahanannya, termasuk bregada prajuritnya, karena disesuaikan dengan kebutuhan saat itu. Jadi, Bregada Prajurit Jaya Tantaka itu, belum tentu tiap Sinuhun memiliki/mengaktifkan. Begitu pula, Bregada Prajurit 40-an itu. Apalagi Bregada Prajurit Rajamala, belum ada sebelum Sinuhun PB IV. Atau sudah tak banyak digunakan ketika sarana transportasi darat sudah ada, misalnya pada masa Sinuhun PB X,” jelar KRRA Budayaningrat yang juga Ketua MGMP Bahasa Jawa SMA se-Jateng itu.
Penataan ulang tata ruang yang disesuaikan dengan kearifan lokal, memang akan berpengaruh pada banyak hal yang menyangkut proses perubahan, teknis, pembiayaan dan waktu yang dibutuhkan. Tetapi bisa dilakukan dengan kerja menegaskan saja, dari yang nyaris hilang atau samar-samar dan membuat ragu-ragu, menjadi jelas dan tegas. Karena, pemetaan dan ”labeling” yang menggunakan citra satelit seperti yang dilakukan ”google”, juga banyak yang salah, malah membingungkan dan terbaca buntu/tidak ada akses. (Won Poerwono-habis/i1)