Pilar dan Simbol Demokrasi yang Bertransformasi Menjadi Organisasi Pelestarian Budaya
IMNEWS.ID – DALAM periode 2017-2022, jumlah pengurus Pakasa yang ditetapkan sudah mencapai lebih 20 cabang, yang tersebar di sejumlah kabupaten/kota di 2-3 provinsi (iMNews.id, 22/11). Bahkan jauh berkembang setelah melewati periode yang ditandai peristiwa “insiden mirip operasi militer” (15 April 2017), selama Presiden Jokowi “bertahta” (2014-2014).
Jumlah cabang Pakasa yang sudah resmi sesuai daftar hadir pengurus/utusan pada momentum khol ke-391 wafat Sinuhun Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma (8/8/2024), sudah mencapai 40-an. Perkembangan Pakasa seperti ini sangat fenomenal dan akan menjadi catatan penting dalam sejarah, karena situasi dan kondisi yang mewarnainya, hingga menjadi variabel tersendiri.
Satu di antara variabel perkembangan fenomenal dari suasana, situasi dan kondisi itu, adalah bertambahnya abdi-dalem seiring pertambahan jumlah cabang. Pertumbuhan dan perkembangan fenomenal Pakasa cabang, sangat dibantu maraknya kegiatan spiritual religi “haul” (khol) di berbagai cabang Pakasa yang memiliki makam tokoh leluhur Dinasti Mataram.
Sedikit ilustrasi, jajaran “Bebadan Kabinet 2004” yang dipimpin Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA) bersama berbagai elemen strukturnya, tertindas tetapi beruntung selama periode “pageblug kepemimpinan” (2017-2022). Lebih lima tahun “rombongan” Gusti Moeng “terlempar”, “banjir bandang” pengaruh/anasir negatif datang menerjang kraton.
Tetapi, selama lebih lima tahun itu, unsur-unsur jajaran “Bebadan Kabinet 2004” justru bisa dekat dengan masyarakat adat di sekitar makam para tokoh leluhur Dinasti Mataram. Gusti Moeng memimpin “Bebadan Kabinet 2004”, bergaul akrab dengan para kawula yang selama ini merawat makam para tokoh leluhur dinasti, terutama yang banyak terdapat di Kabupaten Pati.
Gusti Moeng dan unsur-unsur jajaran “Bebadan Kabinet 2004” mirip seorang artis/selebritas, ketika hadir di setiap makam yang menggelar haul atau khol tokoh leluhur Dinasti Mataram. Dari kedekatan pergaulan yang egaliter seperti itulah, menjadi modal perkembangan dan pertumbuhan Pakasa cabang yang begitu cepat, sporadis dan legitimasinya semakin besar.
Sampai di situ terlihat, bahwa antara 2017-2022 merupakan periode penuh keprihatinan yang diperberat pandemi Corona, tetapi Pakasa justru semakin berkembang pesat dalam tempo yang relatif singkat. Oleh sebab itu, dalam periode 5 tahun ditambah “masa pemulihan” atau “recovery” di tahun 2023-2024, bisa disebut sebagai periode fenomenal bagi Pakasa.
Selain fenomenal, wajah Pakasa setelah melewati periode 2017-2022 dan dua tahun kemudian yang kini berjalan, seakan mendapat penegasan profilnya sebagai Pakasa “reborn” atau “New Pakasa”. Karena, eksistensi dan profilnya sudah jauh berbeda dari Pakasa yang lahir pada 29 November 1931. Pakasa “reborn” sudah bukan wadah perjuangan merintis kemerdekaan.
“New Pakasa” kini menjadi organisasi wadah para “kawula” yang ingin mendedikasikan dan mengabdikan diri di bidang pelestarian seni budaya Jawa demi kelangsungan Kraton Mataram Surakarta. Oleh sebab itu, tidak salah kalau KPH Edy Wirabhumi (Pangarsa Punjer) menandaskan, Pakasa kini punya “tag line” atau semboyan, “Saraya, Setya, Rumeksa Budaya”.
Jadi, lepas dari periode “pageblug” (2017-2022) dan memasuki periode “recovery” (2023-2024), Pakasa bisa disebut “New Pakasa” atau “Pakasa reborn”, dengan semboyan/tag line “Saraya, Setya, Rumeksa Budaya”. Tag line berubah, karena bukan lagi wadah pergerakan bervisi, misi dan orientasi politis, tetapi wadah “edukasi” di bidang pelestarian budaya Jawa.
Perubahan “tag line” karena berubahnya sifat “perjuangan” Pakasa adalah akibat zaman dan peradaban yang berubah. Itu memang sudah menjadi konsekuensi logis, seperti bunyi adagium fenomenal “Nut jaman kelakone”. Fenomena Pakasa yang tumbuh dan berkembang pada periode trakhir itu, akan ikut menentukan pola kepemimpinan masyarakat adat ke depan.
Isyarat tentang berubahnya pola kepemimpinan masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta ke depan, sudah sering dilontarkan Gusti Moeng dalam berbagai kesempatan. Pakasa bisa menjadi sumber SDM menggantikan posisi kalangan kerabat sentana, karena jumlah mereka semakin berkurang akibat alami dan hal lain, misalnya adanya norma keluarga ideal dan program KB.
Perkembangan yang fenomenal pada periode sangat sulit itu, tidak hanya merubah sifat-sifat internal “garis perjuangannya”, tetapi juga merubah legal standingnya di alam republik yang berdemokrasi “agak kebablasan” ini. Karena, kebebasan berserikat dan menjalankan tradisi budaya dan adatnya, semakin kelihatan potensi peningkatan kualitasnya.
Kehadiran Pakasa “reborn”, semakin memperkokoh iklim demokrasi di tanah air, karena menjadi organisasi yang sangat komit dan punya potensi tinggi dalam pelestarian seni budaya Jawa. “New Pakasa” bisa menjadi daya dukung pilar demokrasi, walau bukan organisasi politik, tetapi sangat dibutuhkan untuk memperkokoh stabilitas dan ketahanan budaya nasional.
Transformasi yang terjadi melalui berbagai ujian di beberapa periode, dialami Pakasa secara langsung atau tidak, karena dirinya menjadi bagian dari masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta. Tetapi, itu justru menjawab kebutuhan internal Pakasa, agar bisa eksis sampai waktu lebih panjang lagi, bahkan menjawab kebutuhan kraton demi kelangsungannya ke depan.
Dengan tambahan kata “Budaya” pada “tag line”nya hingga berbunyi “Saraya, Setya, Rumeksa Budaya”, Pakasa “reborn” atau “New Pakasa” benar-benar bisa mentransformasi dirinya menjadi organisasi yang tepat bisa menjawab seuai bunyi semboyan atau semangat itu. Yaitu organisasi para pecinta dan peduli pelestarian di bidang budaya, yaitu Budaya Jawa.
Kalau di dalamnya secara eksplisit terbesit semangat berjuang, perjuangan yang dibutuhkan Pakasa dan peradaban publik secara luas secara ideal kini dan ke depan, adalah perjuangan untuk pelestarian Budaya Jawa. Perjuangan demi terjaganya kebhinekaan yang menjadi modal ketahanan budaya bangsa, yang berarti semangat berjuang untuk mengedukasi para pelestari.
Visi, misi dan orientasi perjuangan Pakasa “reborn” menjadi sangat jelas, ketika menjadi wadah para peduli dan calon pelestari Budaya Jawa yang di dalamnya ada proses riil edukasi untuk mencapai tujuan utamanya. Tetapi, karena ada salah satu bagian dari tujuan itu adalah menjaga kelangsungan hidup Kraton Mataram Surakarta, maka perlu standar kualitas.
Standar kualitas itu diperlukan, untuk melengkapi sistem seleksinya ketika digunakan untuk menambah daya dukung legitimatif berupa perekrutan abdi-dalem melalui pintu Pakasa. Karena, bukan tidak mungkin, proses alih kepemimpinan di luar masyarakat adat, melirik anggota dan pemimpin Pakasa karena dianggap berkelas, berkualitas dan “berbudaya”.
Standar kualitas dalam perekrutan abdi-dalem dan upaya peningkatan kualitasnya diperlukan, tidak akan menutup kesempatan masyarakat luas yang ingin peduli dan cinta pada pelestarian Budaya Jawa. Karena, strata adat yang tidak dogmatis dalam lembaga masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta luwes, bisa berubah menyesuaikan, seperti yang kini sedang terjadi.
Pendapat Dr Purwadi soal Pakasa yang berpotensi mencetak kepemimpinan berkelas, kualitas dan berbudaya selain syarat untuk menjadi pemimpin publik, adalah pertimbangan masuk akal yang patut diwujudkan. Dia melihat contoh Pakasa Cabang Jepara, yang berjuang mandiri di masyarakat, tetapi bisa memberi pengaruh positif pada kebijakan publik Pemkab. (Won Poerwono – bersambung/i1)