Bagian yang Dianggap Sepele dan Mudah Dihilangkan dari Memori Publik
IMNEWS.ID – SEJAK akhir tahun 1980-an sampai rezim pemerintahan Orde Baru tumbang di akhir tahun 1990-an, sudah sangat sering terdengar lontaran gagasan dan pemikiran dari kalangan pemerintah saat itu, yang pada intinya ”seakan-akan” memberi solusi terhadap eksistensi lembaga masyarakat adat Keraton (Mataram) Surakarta. Apa yang dipersepsikan sebagai solusi itu, diasumsikan bahwa keraton di zaman republik lebih pantas hanya menjadi museum, tidak lebih dari itu.
Penulis yang mengikuti perjalanan keraton dan secara serius mencermati setiap perkembangannya sejak musibah kebakaran keraton di tahun 1985 (Won-Suara Merdeka/1982-2018), banyak mendengar berbagai gagasan dan pemikiran itu setiap ada kesempatan wawancara antara teman-teman wartawan dengan pejabat pemerintah (Menparpostel/Mendikbud) yang secara khusus berkunjung ke keraton. Atau ketika ada forum-forum seminar ilmiah/sarasehan bertema budaya dan pariwisata, terlebih ketika menghadirkan pejabat menteri atau tangan panjang pemerintah yang lain.
Gagasan dan pemikiran yang banyak terlontar, selalu mengarah pada ”keinginan” agar Keraton Mataram Surakarta lebih eksis sebagai museum. Sementara, keluarga besar Sinuhun PB XII yang ada di dalamnya, akan disediakan rumah tinggal di luar keraton. Pemikiran seperti itu bahkan masih muncul saat Menteri Kebudayaaan dijabat Jero Wacik di masa pemerintahan Presiden SBY, 2004-2014.
Gagasan dan pemikiran seperti itu memang terkesan sekali karena eksistensi Keraton Mataram Surakarta dipersepsikan ”sudah tidak ada” karena sudah tidak memiliki kedaulatan apa-apa. Bagi yang mengaku sebagai ”orang-orang republik”, proklamasi kemerdekaan 17 Agusutus 1945, diartikan sebagai berakhirnya ”negara” Mataram Surakarta, dan yang tersisa hanyalah bangunan situs budaya dan yag tersisa dalam keluarga besar Sinuhun PB XII yang representasinya kemudian disederhanakan menjadi sekadar ”Keraton Kasunanan Surakarta”.
”Orang-orang republik” dan publik secara luas mungkin lupa, bahwa situs peninggalan sejarah berupa Keraton Mataram Surakarta tetap bersenyawan dengan keluarga besar Sinuhun PB XII yang ada di dalamnya. Bahkan bersenyawa dengan para sentana dan abdidalem yang tetap setia atau setya-tuhu suwita hangrungkebi budaya di dalamnya, yang sangat sadar dan bertanggungjawab untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya dan peradaban seperti yang sudah mendarah-daging dan diamalkan selama 200 tahun (1745-1945).
”Orang-orang republik” dan publik secara luas mungkin lupa, bahwa selain masyarakat adat yang berada di dalam dan membuat keraton tetap hidup dengan berbagai macam upacara adat, ada organisasi-organisasi dan berbagai elemen masyarakat adat yang ada di luar keraton yang punya potensi kekuatan masih besar. Organisasi seperti Pakasa dan Putri Narpa Wandawa itu misalnya, mereka adalah elemen masyarakat adat yang memiliki tingkat kesetiaan luar biasa yang tidak bisa diukur dengan materi/uang.
”Sangat banyak potensi dan elemen dari eksistensi keraton yang terkesan dianggap sepela. Sejak lama saya bertanya-tanya, mosok keraton dianggap sesederahan itu. Artinya, situs bangunannya dijadikan museum, terus orang-orang di dalamnya dibikinkan rumah di luar keraton, selesai. Berdasar anggapan sepele seperti itu, maka tidak aneh ada tawaran (kolaborasi pemerintah dan cukong) yang akan bikin hotel di Tursinapuri di tahun 1990-an. Letaknya hanya beberapa ratus meter di selatan Pendapa Sasana Sewaka”.
”Itu ‘kan pemikiran (solusi-Red) yang sudah kurangajar ta..? Makanya, dengan tegas saya menolak. Karena keberanian saya menolak, maka saya diberi nama Putri Mbalela oleh bapak Sinuhun PB XII almarhum-Red). Kalau saya tidak tegas menolak, mungkin seluruh bangunan di kawasan inti keraton sudah berubah jadi kamar-kamar hotel,” kenang Gusti Moeng selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Mataram Surakarta.
Keberanian menolak untuk membela masyarakat adat yang ingin keraton tetap lestari, memang sangat beralasan. Karena, lembaga yang disederhanakan menjadi ”Keraton Kasunanan” itu, adalah bekas negara yang sudah punya reputasi perjalanan luar biasa selama 200 tahun. Eksistensinya, telah membentuk sebuah peradaban, budaya dan segala produknya yang hingga sekarang masih bertahan sebagai sumber dan pusat pelestarian budaya dan peradaban.
Dengan penyederhanaan seperti yang terekspresi melalui berbagai gagasan dan pemikiran yang banyak muncul waktu itu (1980-1990-an), menjadi tidak aneh apabila pernah terbit Keppres No 23 tahun 1988 tentang terbentuknya Badan Pengelola Kepariwisataan Keraton ”Kasunanan” Surakarta. Badan pengelola yang diinisiasi pemerintah itu berisi sejumlah pejabat pemerintah dari pusat hingga daerah, juga sejumlah nama putra/putri Sinuhun PB XII termasuk Gusti Moeng, intinya memposisikan keraton sebagai sekadar objek wisata sejarah alias museum belaka.
Eksistensi Pakasa memang lebih mudah disepelekan sebelum 2004 atau menjadi sesuatu yang dianggap mudah dihapus dari memeori publik di saat berbagai gagasan dan pemikiran memberi ”solusi” keraton itu bermunculan. Karena selain sudah tidak memiliki legal standing dan legal formal di keraton, organisasi ini seakan ”lumpuh” oleh stigma buruk akibat tersusupi ”orang-orang PKI, misalnya saat peristiwa pembakaran/penjarahan kompleks perkantoran administrasi pemerintahan di Kepatihan tahun 1949, juga protes anti swapraja dan Daerah Istimewa Surakarta sampai menjelang tahun 1950.
Setelah waktu berjalan dan suasana kehidupan sosial politik berganti di Tanah Air, memang belum datang juga solusi yang paling tepat untuk Keraton Mataram Surakarta. Tetapi, segala macam stigma buruk yang pernah ditujukan kepada keraton termasuk Pakasa, sedikit demi sedikit dan pelan-pelan menyingkir. Karena semakin terbuka upaya-upaya meneliti dan mengkaji secara ilmiah, seperti yang dilakukan berbagai kalangan intelektual, seperti Dr Purwadi (Ketua Lokantara Pusat/Jogja), misalnya. (Won Poerwono-bersambung)