Karena Kondisi Luar Biasa, Sesuatu yang “Wajib” Bisa Berubah (5-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:July 1, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read

“WO” Upacara Adat Perkawinan, Salah Satu Nilai Manfaat Peradaban Mataram

IMNEWS.ID – KEGELISAHAN KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito selaku salah seorang pemerhati budaya Jawa dan keraton dari sisi spiritual, terhadap realitas semakin langkanya sosok konsultan di bidang tatacara upacara adat perkawinan Jawa dan budaya Jawa secara umum (iMNews.id, 30/6), memang bisa dipahami. Sebab, masyarakat peradaban yang diniscayakan akan terus menghalami perubahan, tetap memerlukan hal-hal yang fundamental yang menjadi ciri peradabannya untuk membedakan dengan warga peradaban lain, dalam kehidupan dunia yang seglobal apapun.

Ciri peradaban yang fundamental itu adalah budaya Jawa dan produk-produknya, yang salah satunya adalah tatacara upacara adat perkawinan. Karena sejak 17 Agustus 1945 ”negara” Mataram Surakarta sudah menyerahkan kedaulatannya kepada NKRI, begitu pula ketika Sinuhun PB XII di tahun 1950-an mengizinkan salah satu produk adatnya dimanfaatkan masyarakat secara luas, maka keberlangsungan tatacara upacara adat perkawinan dan juga produk-produk lain yang bermanfaaat bagi warga peradaban secara luas, menjadi tanggungjawab, tugas dan kewajiban bersama untuk memelihara, mengembangkan dan menjaga kelangsungannya sepanjang masa.

Sebab itu, keberadaan lembaga-lembaga seperti Permadani (Semarang), Parikesit, Ngambar Arum (Jogja), Swagotra (Semarang), Sanggar Pasinaon Pambiwara Keraton Mataram Surakarta dan Museum Radya Pustaka (Taman Sriwedari), sangat penting dijaga eksistensi dan kelangsungannya. Bila di Solo, tokoh-tokoh seperti KPA Winarno Kusumo (Keraton Mataram Surakarta) atau KRT Suhadi Darmodipuro (Museum Radya Pustaka) memang sudah tidak ada, tetapi di Surakarta masih ada Gusti Moeng dengan segenap tokoh-tokohnya di Sanggar Pasinaon Pambiwara seperti KRRA Budayaningrat, kemudian KRAy Angling Kusumo dengan segenap tokoh-tokohnya di lembaga sanggar juga masih bisa dijadikan tempat bertanya.

Menurut KRRA Budayaningrat, sosok figur yang bisa dijadikan tempat bertanya mengenai berbagai hal yang menyangkut budaya Jawa khususnya tatacara upacara adat perkawinan diakui kini memang sudah langka dijumpai. Tetapi, untuk sekadar mencari tahu soal seluk-beluk perjodohan dan hajad perkawinan, KRT Arwanto Dipuro yang sehari-hari bekerja di kantor Gusti Moeng, kompleks Kamandungan, Baluwarti, bisa menjadi pintu masuk untuk mendapatkan akses informasi konsultatif mengenai berbagai hal tentang budaya Jawa selengkap-lengkapnya.

BUSANA ADAT : Gusti Moeng memperhatikan saat RM Restu menjelaskan soal busana adat yang menjadi bagian dari khasanah busana dan tatacara upacara adat di dalam Keraton Mataram Surakarta, di forum seminar di Hotel Kusuma Sahid, beberapa waktu lalu. Kini,  sebagian jenis busana itu mulai dikenakan masyarakat luas, terutama dalam upacara perkawinan adat. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Cirikhas Fundamental Bangsa

”Karena begitu pentingnya hal yang fundamental untuk mengawal peradaban, maka Keraton Mataram Surakarta sebagai sumbernya peradaban Jawa dan pusat pemeliharaan peradaban itu, menjadi tugas, kewajiban dan tanggungjawab kita bersama untuk menjaga eksistensi dan kelangsungannya. Bagaimanapun maju dan modernnya sebuah bangsa, bahkan sampai menjadi global karena teknologi, harus tetap memerlukan kepribadian dan ciri khas yang fundamental. Salah satunya, kepribadian yang berciri khas Jawa,” tandas Gusti Moeng dalam sebuah percakapan dengan iMNews.id, setelah menggelar seminar ”Pengantin Klasik Keraton Surakarta” di Hotel Kusuma Sahid, beberapa waktu lalu.

Mencermati perlunya cirikhas yang fundamental sebagai kepribadian bangsa, maka sangat diperlukan kepedulian sekaligus kearifan masyarakat dalam mengadopsi sekaligus memelihara salah satu produk budaya/peradaban yang bernama tatacara upacara adat perkawinan gaya Surakarta itu. Tentu saja, dengan segala elemen dan daya dukungnya dari hulu hingga hilir, yang kini mulai ditangani secara profesional sampai tiap detail komponennya.

Dari situ, jelas sekali manfaat secara umum keberadaan peradaban dan produk budayanya, kemudian manfaat produk budaya yang kini berkembang menjadi potensi aneka produk dan ketrampilan yang sudah pula dikelola dengan manajemen profesional. Wedding Organizer (WO) yang kini bermunculan di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Jogja dan Solo misalnya, merupakan kelompok-kelompok usaha jasa di bidang pengorganisasian hajad perkawinan, yang bisa menangani mulai dari peristiwa ”lamaran”, prosesi pernikahan secara agama ijab qabul hingga resepsi perkawinan.

Melihat pesatnya perkembangan jasa WO, tentu harus dibarengi dengan penguatan unsur esensi yang fundamental yang dari salah satu sisi bisa dipandang sebagai cirikhas kepribadian bangsa Indonesia. Untuk kebutuhan itu, sangat diperlukan sebuah elemen yang bersifat sebagai sarana penyeimbang yang bisa berupa lembaga konsultasi secara profesional pula, dan itu sangat bisa diperankan oleh semacam lembaga Sanggar Pasinaon Pambiwara, unit lembaga di Museum Radya Pustaka dan di sejumlah ”pawiyatan-pawiyatan Jawa” di sejumlah daerah yang tersebar Jateng, Jatim dan DIY.

SELALU MENGEDUKASI : Meski sehari-hari hidup di tengah masyarakat modern, tetapi KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito selalu berusaha memberi energi positif dengan mengedukasi lingkungannya, walau dari bagi kalangan anak-cucunya. Mengenakan busana adat dan sungkem, adalah pemandangan yang selalu menghiasi di kediamannya saat datang hari Lebaran. (foto : iMNews.id/dok)

Masuk Sektor Ekonomi Kreatif

Tampaknya, pengetahuan tatacara upacara adat perkawinan yang diizinkan keluar dari keraton menjadi gaya Surakarta dan gaya-gaya lain dari lembaga adat lain pula, merupakan salah satu produk budaya yang bisa berkembang pesat selama ini, dan menjadi paling menonjol dalam dekade terakhir. Selama pandemi Corona hampir dua tahun ini, usaha jasa WO dengan segala komponen rantai usahanya memang sedang terpuruk, bahkan mengalami penurunan pendapatan sampai ke titik nadir.

Terpuruknya bidang ekonomi kreatif yang berupa usaha jasa WO itu memang sangat dirasakan dalam skala nasional, mengingat usaha jasa yang mempunyai sayap kecil-kecil setara UKM itu juga banyak melibatkan masyarakat kelas menengah ke bawah dari sisi potensi ketenagakerjaan. Namun, ketika pandemi ini benar-benar bisa berlalu (entah kapan-Red), sektor ekonomi kreatif ini merupakan salah satu sektor UKM yang akan bangkit lebih dulu, karena publik secara luas sudah sangat rindu ”kumpul-kumpul” dalam suasana silaturahmi di balik resepsi perkawinan, terlebih tatacara upacara adat tempatnya berkontestasi dalam wujud dan arti apapun.

”Terus-terang, saya sekarang ini mendapat undangan adik kandung saya yang akan punya hajad mantu di Jakarta. Selain lama tidak bertemu dan kumpul keluarga besar, saya sebenarnya sangat ingin hadir untuk bersilaturahmi. Dan yang paling penting, saya ingin tampil dengan stelan busana adat ”Jawi-jangkep” (lengkap). Karena, saya sadar terhadap konsekuensi sebagai abdidalem di Keraton Mataram Surakarta. Apalagi, saya sudah menerima kekancingan gelar kekerabatan yang harus menjalankan apa yang menjadi ‘gawa-gawene”.

”Karena itu menjadi cirikhas dan identitas orang Jawa yang ingin saya perlihatkan di depan keluarga besar saya. Kesempatan itu merupakan salah satu cara mengenalkan, sekaligus menyadarkan kepada keluarga besar saya, bahwa kita punya cirikhas yang mendasar yang menjadi kepribadian bangsa kita. Tetapi, karena suasana pandemi seperti ini, saya ingin melihat, kira-kira memungkinkan apa tidak untuk berangkat ke Jakarta,” ujar KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito menuturkan rencananya bepergian, tetapi merasa perlu mempertimbangkan situasi dan kondisinya yang masih ”waspada berat” terhadap pandemi Corona. (Won Poerwono-bersambung)