Pakasa adalah Sebuah Kebutuhan, yang Tinggal Merawat dan Membesarkan (4-habis)

  • Post author:
  • Post published:January 15, 2022
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read

Lembaga Dewan Adat Sebagai Payung Besar Secara Legal-Formalnya

IMNEWS.ID – SETELAH beberapa elemen-elemen pendukung dan organ-organ yang menjadi bagian secara struktural ditata ulang dan disesuaikan dengan kebutuhan zamannya, maka elemen paling mendasar dan vital yang sangat dibutuhkan Keraton Mataram Surakarta di zaman modern ini adalah sebuah institusi yang disebut Lembaga Dewan Adat (LDA). Bila melihat sejarah profil organ sistem ketatanegaraan dari zaman ke zaman, lahirnya Pakasa di zaman perubahan tatanan sosial politik dunia yang dialami Keraton Mataram Surakarta di sekitar PD II (1939), mirip dengan hadirnya LDA di keraton pada era republik sekarang ini.

Bahkan, mirip hadirnya lemabaga Mahkamah Konstitusi (MA), Komisi Nasional HAM, LPSK, KPK, lembaga Komisi Ombudsman dan sejumlah lembaga lain yang sangat dibutuhkan NKRI ketika memasuki zaman yang semakin modern dan global. Masing-masing lembaga yang hadir pada zaman/peradaban yang berbeda jelas tidak sama, tetapi lembaga yang hadir dipersepsikan sebagai kebutuhan yang sangat mendesak dan mendasar bagi eksistensi dan kelangsungan peradaban di masing-masing zaman.

Sebuah negara republik dengan sistem politik demokrasi yang semakin modern tetapi mengedepankan supremasi hukum, sangat membutuhkan hadirnya lembaga Mahkamah Konstitusi untuk menata segala regulasi, apalagi yang berkait dengan sistem ketatanegaraan yang baik. Begitu pula hadirnya Komnas HAM yang disertai KPAI, merupakan kebutuhan negara untuk melindungi warga bangsanya dari potensi kejahatan kemanusiaan, terutama yang menyangkut perlindungan perempuan dan anak.

MENUNTUT HAK : Gusti Moeng terpaksa menggunakan LDA menggugat PTUN sampai di tingkat Mahkamah Agung, agar Pemprov Jateng memenuhi hak atas pengakuan/penghormatan satuan masyarakat adat Keraton (Mataram) Surakarta seperti yang tertulis dalam pasal 18 UUD 1945, hingga diputuskan Pemprov harus membayar bantuan APBD tahun 2013 itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sejumlah lembaga yang menjadi pilar-pilar demokrasi dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia itu, secara berurutan lahir di zaman Orde Reformasi dan belum lahir di zaman Orde Baru (Orba) ataupun Orde Lama (Orla), karena memang belum membutuhkan. Padahal, rentang waktu dari Orla dan Orba hingga Orde Reformasi, baru seumur NKRI yaitu 76 tahun.

Melihat sejarah perjalanan dengan tiga contoh zaman, yaitu zaman Mataram sebelum PD II, zaman Mataram sesudah PD II dan zaman republik, yang dibutuhkan sebuah peradaban adalah sebuah keniscayaan sangat naturalistik. Oleh sebab itu, lahirnya Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton (Mataram) Surakarta yang diketuai GKR Wandansari Koes Moertiyah, tidak bisa terlepas dari sebuah keniscayaan yang secara natural harus ada.

Keraton Mataram Surakarta harus diakui memang sebagai bagian masa lalu republik ini, tetapi kalau faktanya masih eksis di zaman republik yang sudah berjalan 76 tahun ini, tentu harus diakui sebagai sebuah keniscayaan pula. Dan ketika peradaban masyarakat adat penerus eks ”nagari” Mataram Surakarta tetap dibutuhkan sebagai bagian dari pilar kebhinekaan, apalagi terpatri kuat dalam pasal 18 UUD 45, menjadi sebuah keniscayaan pula apabila  Lembaga Dewan Adat hadir sebagai sebuah kebutuhan.

SEBAGAI LANDASAN : LDA yang diketuai Gusti Moeng, ketika memberi penghargaan secara adat kepada warga Pakasa, selalu menyertakan dasar-dasar hukum yang menjadi landasannya. Termasuk pula KPH Edy Wirabhumi sebagai ”pangarsa punjer” Pakasa sebagai elemen LDA ketika melantik pengurus Pakasa cabang di Klaten, beberapa waktu lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kebutuhan semacam Lembaga Dewan Adat yang dimiliki Keraton Mataram Surakarta sekarng ini, seharusnya menjadi kebutuhan pula bagi eksistensi keraton-keraton lain yang tersissa di Nusantara ini, baik yang terhimpun dalam Majlis Adat Keraton Nusantara (MAKN) maupun Forum Komunikasi dan Informasi Keraton Nusantara (FKIKN). Sebab, eksistensi dan kelangsungannya, sangat membutuhkan payung lembaga berbadan hukum yang bisa melindungi secara hukum segala bentuk warisan dinasti, maupun sebagai cara/alat berkekuatan hukum untuk berkomunikasi/berhubungan dengan pihak lain yang memiliki landasan/ikatan berkepastian hukum kuat.

Oleh sebab itu, ketika secara kelembagaan Keraton Mataram Surakarta mendapatkan bantuan hibah atau melakukan kesepakatan dari/dengan/ pihak manapun terutama pemerintah, sudah semestinya yang melakukan komunikasi/hubungan sesuai prinsip-prinsip ketatanegaraan adalah lembaga yang berbadan hukum. Akan berbahaya dan kurang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, apabila keraton yang diwakili Sinuhun Paku Buwono sekalipun, secara pribadi atau atas nama keraton melakukan kesepakatan (perjanjian) atau menerima bantuan/hibah dari dengan/pihak yang berbadan hukum terutama pemerintah.

”La, kalau sampai (LPJ) penggunaannya tidak bisa dipertanggungjawabkan dan menjadi persoalan di BPK terus bagaimana? Kalau ditemukan ada kerugian negara terus bagaimana? Makanya, sangat berbahaya kalau pemerintah (Provinsi Jateng) memberi bantuan/hibah kepada keraton tetapi yang bertandatangan Sinuhun. Itu sangat berbahaya. Padahal, sejak 2010 keraton sudah punya LDA yang berbadan hukum,” papar Gusti Moeng yang bernama lengkap GKR Wandansari Koes Moertiyah (Ketua LDA) itu menunjukkan, menjawab pertanyaan iMNews.id, beberapa waktu lalu.

PANTAS DIDUKUNG : Gusti Moeng yang menginisiasi hadirnya Lembaga Dewan Adat untuk menyelamatkan Keraton Mataram Surakarta dari ”kehancuran”, bagi KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito sudah tepat dan pantas didukung. Karena, lembaga berbadan hukum sangat dibutuhkan keraton untuk mengawal dan melindungi upaya pelestarian budaya dan keraton. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Penjelasan Gusti Moeng itu, tentu berdasar pada fakta bahwa Keraton Mataram Surakarta sangat membutuhkan sebuah lembaga yang punya payung hukum legal formal, seperti yang dimilki Lembaga Dewan Adat. Karena, tidak mungkin figur Sinuhun Paku Buwono melakukan hubungan kesepakatan/perjanjian dengan pihak lain, karena tidak memiliki legal standing berbadan hukum. Sementara itu, lembaga Keraton Mataram Surakarta, tidak mungkin dijadikan perseroan terbatas (PT) yang selama ini diasumsikan sebagai badan hukum untuk sebuah usaha atau perusahaan.

Hadirnya LDA Keraton (Mataram) Surakarta adalah payung hukum besar bagi Keraton (Mataram) Surakarta dengan segala aset dinasti dan elemen-elemen yang ada di dalam masyarakat adat yang melegitimasi keraton. LDA menjadi tuntutan untuk memperkuat eksistensi kelembagaan masyarakat keraton dengan struktur kelembagaan adat di dalamnya, dengan segala aktivitas adat yang dijalankan sesuai ”konstitusi” paugeran adat.

Kini, ketika eksistensi masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta membutuhkan Pakasa untuk memperkuat legitimasi upaya-upaya pelestarian dan syi’ar budaya (KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito) seperti yang diekspresikan dalam ”Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa” beberapa waktu lalu, urgensinya sama ketika LDA dibutuhkan hadir untuk segala urusan (terutama eksternal) yang memerlukan landasan legal formal. Karena, Keraton Mataram Surakarta tetap layak menjadi pengisi sekaligus penguat ”taman kebhinekaan”, menjadi ciri khas bangsa/negara dan pengisi sekaligus penguat NKRI sampai akhir zaman. (Won Poerwono-habis)