Dalang Bisa Mencapai Sukses Secara Sosial dan Ekonimi, untuk Menaikkan “Kasta”-nya
IMNEWS.ID – DISKUSI kecil dan perbincangan membahas dan mengulas sekotak anak wayang yang dikeluarkan dalam ritual “ngisis wayang” baik pada weton Anggara Kasih (Selasa Kliwon) dan Kamis sampai bulan Juni sejak peristiwa 17 Desember 2022, juga menyentuh kehidupan seni pertunjukan wayang kulit di satu sisi, dan profesi seniman dalang di sisi lain. Karena faktanya, seni pertunjukan pakeliran wayang dalam berbagai ragam turunan sesuai wujud fisiknya, telah menjadi “alutsispertek” yang baik dan “menguntungkan” kalangan seniman dalang sejak kesenian wayang lahir.
“Alutsispertek” adalah singkatan dari alat utama sistem pertahanan ekonomi keluarga yang ternyata bisa menjadi kebutuhan sangat mendasar untuk mewujudkan alat utama sistem pertahanan (alutsista) nasional yang dimiliki lembaga negara bidang pertahanan atau TNI. Dalam lingkup kecil, “alutsispertek” yang berupa wayang kulit, wayang Gedhog, wayang Klithik, wayang Krucil, wayang Beber, bahkan wayang “wong”, ternyata telah berkembang pesat sejak diciptakan para empu dan hasil penelusuran para ahli sejarah seperti Dr Purwadi, kandidat doktor Ki Rudy Wiratawama dan sebagainya, sudah dimulai sejak zaman Kraton Kediri (abad 12).
Para ahli yang telah menciptakan berbagai elemen “alutsispertek” itu adalah para empu tatah sungging, empu wayang, para pujangga pencipta karya sastra yang menjadi pedoman cerita dan struktur pedalangan, empu gending, empu gamelan, empu karawitan dan para ahli lain yang menciptakan segala kelengkapan “alutsispertek” itu. Diskusi yang menarik ketika Dr Purwadi (peneliti dari Lokantara Pusat-Jogja), melontarkan pertanyaan bagaimana media wayang bisa dipakai sebagai alat politik, propaganda politik dan alat penyebaran ideologi tertentu seperti yang pernah terjadi di zaman pra-NKRI, saat NKRI lahir dan pasca itu.
Pertanyaan itu tidak mengada-ada, melainkan sebagai respon spontan ketika Gusti Moeng memperlihatkan anak wayang dari kotak Kiai Dagelan (iMNews.id, 25/6) yang melukiskan sepasang muda-mudi “Jong Papua”. Dari situ muncul ulasan tentang peristiwa “Sumpah Pemuda” tanggal 28 Oktober 1928, yang kemudian melahirkan penjelasan soal nama “Indonesia” yang sudah muncul dari peristiwa itu. Bahasan soal nama “Indonesia” putus di ritual “ngisis wayang” Kamis itu, tetapi secara spontanitas muncul lagi ketika digelar ritual “ngisis wayang” pada Selasa Kliwon (13/6).
Karena, begitu Ki KRT Dr Bambang Suwarno menunjuk sejumlah jenis anak wayang yang melukiskan kekayaan alam berupa aneka tumbuh-tumbuhan bahan pangan di Nusantara khususnya di Tanah Jawa yang “didokumentasi” pada zaman Mataram Surakarta sejak Ibu Kotanya masih di Kartasura (kini wilayah Sukoharjo-Red), Gusti Moeng-pun tertarik untuk membawa keluar. Wayang pohon “Kolang-kaling”, “Mangga”, “Tomat”, “Mentimun”, “Ceme” dan sebagainya yang disebut dan dua di antaranya dibawa keluar, lalu dipresentasikan sebagai simbol kesuburan Nusantara atau “murah pangan” di zaman Mataram Kartasura dan Surakarta.
Ketika simbol-simbol itu dianalisis sebagai lukisan bumi Mataram yang subur-makmur, gemah ripah-lohjinawi, murah sandang dan pangan serta “murah kang sarwa tinuku”, maka tidak salah dalam “janturan” dan “pocapan” dalang “untuk menghidupkan” wayang di depan “kelir” (layar), menggambarkan semua itu serba indah. Dan suasana “murah sandang, papan, pangan” dan serba kecukupan segala kebutuhan hidup atau kesejahteran yang dinikmati para “kawula” atau rakyat pada zamannya, tentu termasuk diri dan keluarga para dalang dan semua seniman pendukung seni pakelirannya.
Dan diskusi yang kemudian berlanjut lebih intensif antara Dr Purwadi dengan iMNews.id, baik di ajang “ngisis wayang” maupun pada kesempatan lain di luar itu, sampai pada bahasan khusus soal kehidupan keluarga dan sosial para dalang secara umum sejak para dalang menjadi bagian dari perjalanan Mataram Surakarta, pra-NKRI hingga selama NKRI dari awal kelahiran hingga berganti-ganti era pemerintahan. Termasuk situasi dan kondisi seni pertunjukan wayang secara umum sampai sebelum masa pandemi, hingga lepas dari pandemi Corona yang belum lama berlalu.
Dr Purwadi menyebut, seniman dalang secara pribadi, bersama keluarga kecil dan kelompok kesenian wyaang kuilitnya, telah mendapat kemakmuran/kesejahteraan sejak kesenian wayang kulit diperkenalkan Kraton Mataram, bahkan sejak zaman masih berIbu Kota di Kartasura (1645-1745). Walau situasi dan kondisi secara umum sempat kacau di zaman perjuangan merintis kemerdekaan di masa jumeneng-nya Sinuhun PB IX (1861-1893), X (1893-1939), XI (1939-1945) dan XII (1945-2004), tetapi dalang telah menjadi profesi yang menjanjikan karena mendapatkan kemakmuran dan kesejahteraan cukup, lebih dari profesi lain, bahkan berlebih.
“Bahkan, profesi dalang yang telah membuat kaya-raya beberapa figur menonjol pada zamannya, bahkan dalam waktu panjang dan masih ada yang bertahan sampai saat ini, bisa sampai puncak pencapaian sebagai lapisan tokoh di strata tinggi. Figur-figur dalang tertentu yang sukses secara ekonimi, punya ambisi sejajar dengan strata/kasta priyayi, pejabat terhormat dan konglomerat. Mereka ingin seperti itu. Ini bisa dilihat dari caranya berbusana dengan aksesoris perhiasan, tampil dengan mobil pribadi mewah, sampai tempat duduknya i kalangan VIP atau bahkan VVIP,” tunjuk Dr Purwadi mengungkapkan kajiannya.
Karena, profesi dalang telah membawa sukses secara ekonomi bagi figur-figur tertentu, maka tidak aneh para dalang itu tidak lagi mau menjadi bagian dari masyarakat adat di Kraton Mataram Surakarta, tempat mereka mendapatkan segala atribut dan esensi ilmu dan pengetahuan tentang pedalangan. Karena, para dalang merasa sudah tinggi atau sejajar kastanya dengan para priyayi keluarga kraton. Tetapi ada pertanyaan besar mengapa banyak figur dalang yang mau masuk ke wilayah politik hingga gampang menjadi alat politik?, Dan mau menyebarkan ideologi tertentu (terlarang-Red), sebelum dan sesudah 1945? Ini yang belum terjawab. (Won Poerwono-habis/i1)