Tahun 1965, Keraton Surakarta Masih Memberi Bantuan Angkatan Perang
IMNEWS.ID – WALAU kompleks pusat perkantoran administrasi pemerintahan Keraton Mataram Surakarta di Kepatihan (kini Kelurahan Kepatihan Kulon dan Wetan-Red) dimusnakan dalam aksi ”ampyak awur-awur” (membabi buta) oleh beberapa pihak dalam Agresi Belanda ke-2 tahun 1949, tetapi eks ”negara” Mataram yang ber-Ibu Kota di Surakarta itu masih bisa menyumbang Angkatan Perang RI. Data yang berhasil didokumentasi dalam buku ”Suara Nurani Keraton Surakarta” (Prof Dr Sri Juari Santosa-FMIPA UGM) menyebut, keraton ”meminjamkan” berbagai peralatan untuk keperluan peringatan Hari Angkatan Perang di tahun 1965.
Bantuan yang dipinjamkan itu berupa 38 jenis barang perlengkapan prajurit/militer mulai dari seragam, senjata hingga alat angkut seperti kereta dan joli. Intinya, Dr (kini Prof Dr-Red) Sri Juari Santosa dalam bukunya menyebut, Keraton Surakarta tetap memberi bantuan yang sangat berarti bagi kehidupan ”bernegara” dan ”bermasyarakat” pada saat itu.
Dan di antara catatan tentang berbagai bantuan keraton yang berhasil didokumentasikan dalam buku ”Suara Nurani Keraton Surakarta” itu, ada satu jenis barang bernama ”Nessel” Merah-Putih berjumlah 6 buah yang diterima Kepala Rumah Tangga Presiden pada tanggal 24 Maret 1948. Karena buku tersebut tidak mungkin menyajikan semua dokumentasi catatan tentang bantuan keraton kepada republik, akibat arsip-arsip administrasi pemerintahan ikut musna saat kompleks Kepatihan dibakar pada Agresi belanda II, tetapi sangat tidak menutup kemungkinan jumlah dan jenis bantuan lebih banyak dari yang dibukukan Dr Sri Juari Santosa.
Dalam analisis terhadap hasil-hasil penelitian serta pendapat Dr Purwadi (Ketua Lokantara Pusat/Jogja) meyakini, banyak faktor yang bisa membuktikan berdirinya NKRI yang mulai mengadakan berbagai kelengkapan infrastruktur pusat pemerintahan serta pembiayaannya sejak 17 Agustus 1945, sangat banyak mengandalkan ”sumbangan” dari luar pemerintahan terutama dari Keraton Mataram Surakarta. Karena, Keraton Mataram Surakarta sampai saat Indonesia merdeka, bahkan sampai peristiwa KMB di Belanda 27 Desember 1949, adalah ”bekas negara” (kerajaan/monarki) yang kaya-raya dan terbesar di Nusantara, letaknya di pulau Jawa yang dekat dengan pusat pemerintahan NKRI di Jakarta, apalagi di Jogja sejak 1946.
”Presiden Soekarno saat ‘mengungsi’ ke Jogja, hanya ditemani dua atau 3 menteri, di antaranya Menteri Pendidikan. Tetapi ada 16 menteri atau lebih, justru mengikuti Perdana Menteri Sutan Syahrir, yang memilih berkantor di Surakarta. La yang di Solo tentu terjamin kebutuhan logistiknya, karena dekat Keraton Surakarta. Maka, kalau Sinuhun PB XII membiayai delegasi RI beranggotakan sampai 200 orang di KMB, sampai selesai selama 3 bulan (27 Desember 1949), itu kecil bagi Keraton Surakarta,” jelas Dr Purwadi menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.
Seandainya manusia peradaban sekarang ini bisa merasakan suasana kehidupan peradaban di antara 200 tahun keberadaan ”negara” (monarki) Mataram Surakarta, pastilah sulit membayangkan betapa besarnya kekuatan ”negara” itu. Sebab, ketika memindahkan Ibu Kota pusat pemerintahan dari ”Kartasura” ke Surakarta yang dimulai sejak tahun 1742, berapa ribu Gulden biaya yang dikeluarkan, bahkan sejak menyusun rancang bangun di Ponorogo tahun 1738 sampai semua infrastruktur dibangun dan siap difungsikan di Surakarta Hadiningrat pada 17 Sura 1745 (M)?.
Dari mana ”negara” kerajaan Mataram Surakarta mendapat duit untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pengelolaan negara dengan segala kedaulatannya sampai selama 200 tahun (1745-1945) bahkan ”membiayai” berdirinya NKRI itu?. Serangkaian hasil penelitian Dr Purwadi menyebut, hampir setiap raja atau ”kepala negara” yang ”jumeneng” di Mataram terutama sebelum Surakarta, mengambil istri dari anak para tokoh menonjol baik di pemerintahan maupun di luar (masyarakat), yang punya latarbelakang ekonomi cukup kuat.
Salah satu contoh, Sinuhun Amangkurat Agung atau Amangkurat I (1645-1677) memperistri RA Siti Komariah, seorang putri Pangeran Pekik yang menjabat Bupati Surabaya. Setelah jadi permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Emas (Hemas) atau Kanjeng Ratu Surabaya. Permaisuri ini ini adalah komisaris perusahaan pengelola Pelabuhan Tanjung Perak (Surabaya), pabrik garam di Kalianget (Madura) dan perusahan pengolah minyak dan gas (migas) di Sumenep (Madura) serta pengelolaan kebun buah di Malang (kini Jatim-Red).
Pola membangun kekuatan ekonomi seperti itu, terus ditiru para penerus dinastinya hingga menjadi modal untuk memindahkan pusat pemerintahan Ibu Kota ”negara” dari Plered ke Kartasura. Kekuatan ekonomi terus terpupuk dari setiap tokoh penerus yang jumeneng, termasuk ketika Sinuhun PB II jumeneng lalu membangun pusat pemerintahan Ibu Kota Mataram di Surakarta, sebagai Ibu Kota baru untuk memindah Ibu Kota lama di Kartasura yang hancur, karena pemberontakan Mas Garendi dan laskar Pecinan.
Modal secara ekonomi yang dibangun dari pola-pola perkawinan itu, menjadi modal untuk mengembangkan dalam berbagai kegiatan usaha seperti yang diperoleh dari transfer knowlegde para pedagang VOC yang dirintis sejak Sinuhun PB II (1727-1749). Tidak aneh apabila ”nagari” Mataram selama 200 tahun di Surakarta, memiliki berbagai kegiatan industri sumber-sumber keuangan yang menjadi kekuatan ekonomi luar biasa, karena perusahaan-perusahaan banyak berdiri, beroperasi dan mendatangkan keuntungan/pemasukan bagi keuangan negara.
Misalnya pengelolaan 170-an pabrik gula (PG) yang tersebar (kini masuk wilayah Jateng dan Jatim), sejumlah pabrik produsen aneka industri, termasuk pengelolaan lahan yang disewa Belanda dalam kontrak jangka panjang (lange contract) untuk perkebunan, jalur kereta api yang dikelola bersama dan sebagainya. Peristiwa KMB 27 Desember 1949, salah satu substansinya adalah protes Belanda terhadap ”claim” karena merasa rugi akibat sepihak tentang kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, akibat kontrak sewa jangka panjang yang sudah dibayar terputus begitu saja tanpa ada kejelasan penyelesaiannya.
”Betul kata pak Pur (Dr Purwadi), hampir semua kontrak sewa yang dilakukan keraton dengan Belanda, terjadi pada saat akhir-akhir Sinuhun PB IX jumeneng (1861-1893) dan selama Sinuhun PB X jumeneng (1893-1939). Maka, di zaman Sinuhun PB X, ‘nagari’ Mataram Surakarta kaya raya, benar-benar kuncara sampai jauh ke negara-negara belahan dunia manapun. Kekayaan itu, bisa untuk menyekolahkan para tokoh nasional ke luar negeri, membangun berbagai infrastruktur di Ibu Kota sampai di daerah-daerah, termasuk membiayai 200 orang anggota delegasi RI di KMB yang dipimpin Wapres M Hatta itu,” tunjuk Gusti Moeng selaku Ketua LDA Keraton Mataram Surakarta menyebutkan beberapa contoh manfaat kekayaan ”nagari” Mataram. (Won Poerwono-bersambung)