Konser Syi’iran Grup Loka Budaya Jepara, Membuat Hubungan Sejarah Menjadi Jelas

  • Post author:
  • Post published:December 7, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read

Mengerahkan Segala Kekuatan untuk Pakasa dan Kebangkitan Negeri

IMNEWS.ID – SELAMA ini, Kabupaten Jepara lebih banyak dikenal sebagai ‘’kota ukir’’ yang terkesan ‘’sekadar’’ memproduksi aneka mebel dari kayu dengan hiasan ukir halus kelas tinggi. Selebihnya, seperti nyaris tidak terdengar selama kurun waktu yang panjang, setidaknya sejak NKRI lahir hingga kini.

Tetapi, bagaimana ketika sebuah grup karawitan bernama Loka Budaya dari Pakasa Cabang Jepara menyajikan konser karawitan ‘’syi’iran’’ di ajang ‘’Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’ yang digelar selama sepekan di Pendapa Pagelaran Sasanasumewa Keraton Mataram Surakarta?. Alunan gending Jawa dengan cakepan yang mengutip kata-kata dari ayat suci lalu dicampur dengan terjemahan dalam bahasa Jawa itu, membuat imajinasi menerawang jauh ke atas dan ke segala arah.

Konser karawitan dengan syair atau ‘’cakepan’’ yang sangat mudah dimengerti, itu jelas langsung menembus dada, menyentuh dasar sanubari paling dalam. Selebihnya, suara konser gamelan yang menembangkan gending ‘’Burdah’’, ‘’Ilir-ilir’’, ‘’Pepeling’’ dan ‘’Hasbunallah’’ itu langsung mengingatkan pada karya-karya besar para Wali Sanga, khsususnya Suan Kalijaga dan juga Syekh Sitijenar.

SELALU MENGAWAL : Ketua Pakasa Cabang Jepara KRAT Bambang Setiawan Hadipuro selalu mengawal anggotanya kelompok Loka Budaya saat menyajikan konser karawitan syi’iran di panggung  ‘’Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’ di pendapa Pagelaran Sasanasumewa Keraton Surakarta hari keempat, Sabtu malam (4/12).  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Karya-karya besar itu adalah akulturasi antara Islam dan (budaya) Jawa, yang terwujud dalam banyak hal, mulai dari karya seni kriya, seni suara, seni arsitektur, kaligrafi, seni sastra dan sebagainya. Dan dari sinilah segera terideteksi dan teridentifikasi, bahwa ternyata ada untaian benang merah sejarah yang telah lama sekali terkubur, yaitu hubungan antara Jepara dengan Mataram Surakarta.

Lantunan gending-gending itu juga mengingatkan, bagaimana para Wali Sanga yang menyebarkan Islam di tanah Jawa, sangat sukses tatkala berkolaborasi dengan keraton-keraton di tanah Jawa, khususnya dimulai sejak Keraton Demak (abad 15). Kabupaten Jepara yang memiliki tokoh sejarah terkenal Ratu Kalinyamat, adalah salah seorang anak Sultan Trenggana, raja Keraton Demak Bintara.

INOVASI BARU : KRAT Bambang Setiawan Hadipuro memperlihatkan cinderamata lukisan  foto Gusti Moeng  yang menggunakan inovasi baru di atas papan kayu setebal 3 mm yang disebut ‘’veneer’’, yang langsung dikagumi Gusti Moeng saat menerimanya di panggung sebagai hadiah ultahnya ke-64 (tahun Jawa), Sabtu malam (4/12).  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dari buku sejarah yang disusun hasil penelitian ilmiah Dr Purwadi (Ketua Lokantara Pusat) menyebut, Ratu Kalinyamat adalah pendiri Kabupaten Jepara, bahkan sangat berjasa pada berdirinya Keraton Pajang (abad 15) yang kelak melahirkan tokoh Prabu Hanyakrawati, penerus Pajang di Keraton Mataram (lama). Suami Ratu Kalinyamat adalah Pangeran Hadirin, seorang pengusaha kaya-raya dari Kerajaan Samudra Pasai, yang membuat masyarakat Jepara sangat menguasai pengetahuan tentang ukir dan bahan bakunya berkelas sangat bagus dan halus.

‘’Kawruh tentang kasepuhan (Sangkan-Paraning Dumadi atau Kasampurnan), berasal dari Jepara. Karena, di sana ada Syekh Sitijenar. Tetapi Sunan Kalijaga yang bernama kecil Raden Mas Sahid itu, yang membuat masyarakat Jepara memiliki pengetahuan tentang spiritual religi sangat lengkap dan tinggi. Maka, kalau KRAT Bambang (Setiawan) Hadipuro menjadi salah satu pelestari berbagai karya peninggalan para Wali Sanga, itu sangat tepat dan memang seharusnya seperti itu,’’ sebut Dr Purwadi dalam naskah yang disusun.

KRAT Bambang Setiawan Hadipuro adalah Ketua Pakasa Cabang Jepara yang Sabtu (4/12) lalu membawa sekitar 30 orang anggotanya datang di Pendapa Pagelaran Sasanasumewa, selain yang sudah bertugas menjaga stan pameran Ekonomi Kreatif (Ekraf) di pendapa sejak tanggal 30 November. Selain berpameran hasil karya produk masyarakat Jepara, Pakasa Jepara juga tampil menyajikan konser karawitan syi’iran, yang terasa paling menonjol karena sentuhan gending-gending bernuansa Islami suguhannya.

Sekali lagi, mendengarkan gending-gending sajian Loka Budaya dari Pakasa Jepara, mengingatkan karya-karya seni tradisional khas turunan Mataram yang kini tersebar luas dan masih terawat dengan baik, khususnya di kawasan yang pernah menjadi wilayah ‘’nagari’’ Mataram Surakarta (1745-1945). Karena, syiar Islam yang dilakukan Sunan Kalijaga juga berpengaruh ke Keraton Pajang, yang pendiririannya ‘’disponsori’’ Ratu Kalinyamat, sampai lahirnya Keraton Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senapati.

LOGO PAKASA : KRAT Bambang Setiawan Hadipuro bersama para pengurus Pakasa Cabang Jepara, memperlihatkan logo Pakasa yang terbuat dari ‘’veneer’’ kepada Datuk Sri Adil Haberbam dari Istana Maimun, Medan (Sumut), yang menyaksikan selama berlangsungnya ‘’Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’ Pakasa’’ di pendapa Pagelaran Sasanasumewa Keraton Surakarta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kalau kemudian dari Panembahan Senapati menurunkan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma saat Mataram Islam berdiri, itu jelas tidak terbantahkan apabila antara Jepara dan Surakarta adalah berada dalam satu untaian benang merah persaudaraan atau kekerabatannya. Setidaknya, Ratu Kalinyamat adalah salah satu leluhur Keraton Pajang yang menurunkan Keraton Mataram Islam (Kutha Gedhe), Mataram Kartasura dan Mataram Surakarta.

‘’Konser karawitan syi’iran itu jelas meneladani syiar agama yang sudah dilakukan Sunan Kalijaga. Pakasa Jepara sangat ingin mengembangkan agama dan budaya, bisa berjalan berdampingan. Dakwah dengan pendekatan tradisi budaya seperti dalam karya ’Suluk Ilir-ilir’, sangat tepat. Karena sangat halus, nyaris tidak terasa,’’ jelas KRAT Bambang Hadipuro selaku Ketua Pakasa Cabang Jepara, saat dihubungi iMNews.id, tadi siang.

Konser karawitan yang bisa memancarkan kekuatan spiritual religi itu, ternyata sudah dilakukan KRAT Bambang selama beberapa tahun ini di kediamannya, pendapa joglo kompleks ndalem Hadipuran di Kecamatan Sukodono, Kabupaten Jepara. Bahkan, kegiatan yang digelar tiap 35 hari sekali itu, juga sering disajikan konser karawitan, pengajian dan pentas wayang dalam sebuah kolaborasi seni spiritual religi.

LOGO SRI RADYA LAKSANA : Simbol Keraton Mataram Surakarta yang bernama Sri Radya Laksana yang dilukis dengan tekonologi ‘’veneer’’, diserahkan KRAT Bambang Hadipuro dan pengurus Pakasa Cabang Jepara kepada kepada Datuk Sri Adil Haberbam dari Istana Maimun, Medan (Sumut) sebagai cinderamata. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sajian syi’iran adalah karya akulturatif antara Jawa dan Islam yang tak jauh seperti terjadinya Sekaten, menjadi jelas dan mudah ketika mengidentifikasi asal-usul dan hubungan benang merahnya antara Surakarta dan Jepara. Kini, sebuah organisasi bernama Pakasa justru makin mengartikulasi hubungan itu ketika bersama-sama memasuki zaman modern di pangkuan NKRI.

Pakasa yang didirikan Sinuhun PB X pada tanggal 29 November 1931, sejak beberapa tahun kembali digelorakan aktivitasnya sebagai wadah masyarakat adat yang ingin melestarikan warisan leluhur pendiri peradaban Jawa apalagi Mataram. Di situlah, Jepara yang sudah memiliki pengurus cabang di bawah kepemimpinan KRAT Bambang Hadipuro, menjadi perekat warga Pakasa yang hendak menjalin ikatan kekerabatan dengan organisasi wadah masyarakat adat yang berpusat di Surakarta Hadiningrat itu.

Dan untuk tujuan-tujuan ideal seperti yang diharapkan bersama antara Sandiaga Uno selaku Kemenpar Ekraf dan KPH Edy Wirabhumi selaku Pangarsa Punjer (Ketua Pusat) Pakasa itu, semua warga Pakasa tampak bersemangat mengikuti ‘’Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’ Lembaga Dewan Asdat (LDA) yang diketuai Gusti Moeng itu. Termasuk, kehadiran Pakasa Cabang Jepara dengan segala potensinya, seperti yang ditunjukkan dalam pentas seni, pameran produk unggulan dan contoh produk yang dipersembahkan kepada Gusti Moeng sebagai cinderamata ultahnya ke-64 (tahun Jawa). (Won Poerwono)