Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa, Bagai Pisau Bermata Banyak

  • Post author:
  • Post published:December 8, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read

Bisa untuk Melukiskan ‘’Murca’’-nya ‘’Pusaka’’ dari ‘’Praja’’

IMNEWS.ID – FRAGMEN wayang ‘’wong’’ berlakon ‘’Pusaka Praja Murca’’ yang disusun kembali oleh Ki Sidik Suradi Harjowibaksa dan Wardoyo selaku sutradara dari lakon aslinya, ‘’Srikandi-Mustakaweni’’, rupanya dianggap sebagai media yang sangat strategis, tepat dan halus untuk menyampaikan pesan-pesan penting nanmendesak. Maka, setelah dipentaskan kali pertama bersama Dinas Kebudayaan dan disaksikan langsung Wawali Kota Surakarta Teguh Prakosa di ndalem Djojokoesoeman, Gajahan, Pasarkliwon medio November lalu, Lembaga Dewan Adat (LDA) kembali mengangkat fragmen wayang ‘’wong’’ itu menjadi suguhan utama saat memperingati Hari Jadi 90 tahun Pakasa di Pendapa Pagelaran Sasanasumewa, pada malam penutupan ‘’Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’, Minggu malam (5/12) lalu.

Memang, ketika dijadikan suguhan utama, lakon ‘’Pusaka Praja Murca’’ tak dijadikan konsumsi publik secara luas seperti sajian-sajian seni pertunjukan lain yang digelar tiap malam berlangsungnya ‘’Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’ sejak Senin (29/11). Kehadiran sejumlah pejabat kepala daerah daeri Kabupaten Ponorogo (Jatim), Kebumen dan Klaten (Jateng), menjadi alasan pembatasan publik yang mengonsumsi sajian itu, selain adanya resepsi ultah yang lebih bersifat terbatas pula kalangan yang diundang.

Rupanya, lakon ‘’Pusaka Praja Murca’’ yang disajikan di acara terbatas itu, memang penuh sinyal atau isyarat beserta beberapa tujuan misioner yang tersirat dari makna lakon itu. Karena, apa yang disebut ‘’pusaka’’ dalam terminologi pengetahuan bahasa Jawa, bisa berarti luas, tidak hanya terbatas pada makna harafiah sebuah benda pusaka, melainkan bisa berarti nilai-nilai harkat, martabat, kehormatan, kewibawaan yang tidak kasat mata.

WANITA PATRIOTIK : Tokoh Dewi Srikandi dalam berbagai lakon seperti judul  tari sajian Pakasa Cabang Sidoharjo itu,  seakan menjadi simbol wanita patriotik sekaligus isyarat yang dipancarkan LDA pimpinan Gusti Moeng saat menggelar  ‘’Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’ di Pendapa Pagelaran Sasanasumewa, 29/11-5/12. (foto: iMNews.id/Won Poerwono)

Kalau ada tafsir yang demikian terhadap isyarat atau sinyal yang dipancarkan melaluli lakon itu, tidak salah karena event peringatan 90 Tahun Hari Jadi Pakasa ini digelar mirip pisau bermata banyak. Dengan organisasi Pakasa yang sangat bersejarah bersamaan dengan lahirnya benih-benih kehidupan berdemokrasi untuk sebuah NKRI yang ‘’dilahirkan’’ 14 tahun kemudian dari lahirnya Pakasa (29 November 1931), di situ ada berbagai harapan dan keinginan ideal tersirat.

Setidaknya, masyarakat adat yang tertampung di organisasi Pakasa yang tersebar di tingkat cabang (Kabupaten) dan anak cabang (kecamatan) di wilayah Provinsi Jateng dan Jatim utamanya, mencerminkan sebuah potensi besar sedang terbangun dalam rangka memenuhi kebutuhan utamanya yaitu kedahagaan terhadap suasana kehidupan berbudaya. Akumulasi dari potensi itu, jelas terarah pada harapan bersama agar ‘’pusaka praja’’ yang sedang ‘’murca’’ bisa segera kembali atau ‘’manjing’’ di ‘’praja’’.

Pusaka yang disimbolkan berupa ‘’Jamus Kalimasada’’ telah ‘’murca’’ dari dari ‘’praja’’ Aamarta, bisa saja ditafsirkan merupakan sinyal hilangnya harkat, martabat dan kewibawaan Keraton Mataram Surakarta sejak 1945 atau parahnya sejak 2017 lalu. Lakon itu bahkan bisa ditafsirkan hilangnya harkat, martabat dan kewibawaan bangsa dan negara ini karena lebih mementingkan dominasi identitas tertentu dari pada keutuhan pluralitas (kebhinekaan) yang menjadi ciri khas, kebesaran dan kekuatannya.

DAYA DORONG : Hadirnya Wakil Wali Kota Surakarta Teguh Prakosa di acara pembukaan  ‘’Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’ yang digelar di Pendapa Pagelaran Sasanasumewa, Senin 29/11, seakan menambah daya dorong upaya pengembalian pusaka yang sudah lama murca dari praja.  (foto: iMNews.id/Won Poerwono)

Tokoh Semar atau Kiai Badranaya atau Sang Hyang Ismaya memang belum benar-benar muncul, meski wejangan-wejangan solutifnya yang sudah sayup-sayup terdengar. Itu memang bisa diartikan, solusi dari wejangan yang disampaikan memang belum benar-benar dilaksanakan para pemimpin bangsa dan negara ini, baik untuk masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta maupun untuk NKRI.

Fragmen wayang wong dengan lakon ‘’Pusaka Praja Murca’’ itu sudah diakhiri dengan berubahnya Raden Gatutkaca gadungan dari perubahan wujud Dewi Mustakaweni. Tetapi, tipu-dayanya ‘’mencuri’’ Jamus Kalimasada sekaligus juga terbongkar oleh Kiai Badranaya, yang menyarankan Dewi Srikandi pemimpin upaya kembalinya pusaka agar disimpan atau ‘’manjing’’ praja Amarta.

Lakon ‘’Pusaka Praja Murca’’ ini memang seakan gayung-bersambut dengan sajian Pakasa Cabang Sidoarjo yang datang bersama tim kesenian dan pengurusnya yang dipimpin KMT Niswarini Rizki Budayaningrum dan tampil di hari terakhir, Minggu sore (5/12). Cabang Pakasa di Jawa Timur ini menyuguhkan tari berjudul ‘’Dewi Srikandi’’, tari ‘’Ngremo’’ dan tari ‘’Putri Batik Jenggolo.

DORONGAN SEMANGAT : Hadirnya pemerhati budaya Jawa dan keraton KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito selama ‘’Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’ berlangsung, selalu menjadi dorongan semangat bagi upaya pengembalian ‘’pusaka’’ yang sudah lama ‘’murca’’ dari ‘’praja’’, terlebih bagi Gusti Moeng selaku Ketua LDA.  (foto: iMNews.id/Won Poerwono)

Kalau yang dimaksud Dewi Srikandi itu personifikasi dari ketokohan GKR Wandansari Koes Moertiyah alias Gusti Moeng, memang sangat benar adanya ketika melihat fragmen ‘’Pusaka Praja Murca’’ dan ungkapan patriotisme sajian karya dari Pakasa Cabang (Kabupaten) Sidoharjo itu. Ini berarti, ada tafsir lain satu di antara banyak mata pisau yang menjadi sinyal event itu.

Kalaulah dua sajian yang menampilkan tokoh sentral yang sama itu dipersepsikan sebagai sebuah perjuangan untuk mewujudkan sebuah harapan, memang prosesnya sudah banyak dilakukan dan tinggal melihat wujud dari harapan itu datang. Tetapi, untuk mewujudkan sebuah harapan memang tidak serta-merta bisa ditangani/diwujudkan sendiri, mengingat pusaka yang ‘’murca’’ itu ada orang/kelompok/pihak yang melakukannya.

‘’Ya, kalau dalam fragmen itu, ‘murca’nya karena dicuri. Jadi, ya memang perlu kesadaran pihak-pihak yang sudah ‘mengambil’ Jamus Kalimasada itu untuk segera mengembalikan ke ‘praja’. Praja di sini bisa berarti keraton (Mataram Surakarta). Tetapi bisa bermakna bangsa dan negara kita yang sudah ‘koncatan pusaka’,’’ sebut Gusti Moeng selaku Ketua LDA menjawab pertanyaan iMNews.id, belum lama ini. (Won Poerwono-bersambung).