Menjelang Wiyosan Jumenengan ke-32, Sang Penjaga Budaya Berpulang (5-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:August 20, 2021
  • Post category:Regional
  • Reading time:7 mins read

”Perjuangan” Masih Bisa Berlanjut, Karena Ada GPH Paundra dan GRM Bhre

IMNEWS.ID – KINI, Sang Penjaga Budaya sudah tiada, tetapi segala yang diperbuat selama 33 tahun (1988-2021) masih bisa dikenang, antara lain melalui upacara adat yang digelar keluarga besar. Sejak meninggalnya pada Jumat dini hari (13/8) hingga tujuh hari, tiap malam diadakan doa, tahlil dan dzikir di Pringgitan Ndalem Ageng. Kegiatan adat spiritual religi yang khas peradaban Mataram/Jawa itu, bahkan akan berlanjut untuk peringatan 40 hari, 100 hari, pendhak sepisan (tahun pertama), pindho (kedua) hingga peringatan ”nyewu” atau seribu hari meninggalnya KGPAA Mangkunagoro nanti.

Mengenang almarhum SP Mangkunagoro IX, menjadi sangat mudah dan kapan saja bisa dilakukan bahkan sepanjang masa. Mengingat lumayan banyak karya-karya peninggalannya yang bisa menjadi simbol penuntun atau inspirasi untuk mengenang pribadinya, ketokohannya dan peran kepemimpinannya di lembaga Dinasti Mangkunegaran.

Mulai dari tari Bedaya Suryosumirat, Akademi Seni Mangkunegaran (Asga), Batik (motif) Buketan Pakis, singup Pendapa Ageng, renovasi beberapa kereta kuno koleksi museum hingga bekas-bekas pekerjaan renovasi atas sejumlah bangunan di kawasan Pura Mangkunegaran, terutama yang ada di halaman Pamedan ”Kadipaten” Mangkunegaran itu. Jejak-jejak karya almarhum sangat mudah dikenali, mengingat kawasan Pura Mangkunegaran lebih kecil atau hanya berada dalam tembok keliling itu saja.

BAKTI SOSIAL : SP Mangkunagoro IX ditemani sang istri, saat ikut berdonor darah yang digelar bersama PMI Cabang Solo di Pendapa Pura Mangkunegaran, di awal tahun 2000-an. Dia memang menjadi tokoh pemimpin adat yang patut dikenang, karena keteladanannya dalam berbhakti sosial. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dulu Punya Aset Banyak

Namun, sejatinya bila menelusuri jejak-jejak Kadipaten Mangkunegaran sesuai saat didirikan Pangeran Sambernyawa alias RM Said yang kemudian bergelar KGPAA Mangkunagoro I, tentu tidak hanya yang berada dalam tembok keliling pembatas kawasan sekarang ini. Karena itu hanyalah batas kawasan pusat pemerintahan administratif seperti sebelum 17 Agustus 1945, atau bahkan masih agak wutuh wilayahnya sampai beberapa tahun setelah NKRI lahir.

Sangat banyak bangunan yang menjadi aset Kadipaten Mangkunegaran sebagai pendukung pusat pemerintahan, bertebaran di sekliling tembok pura. Banyak bangunan di kawasan ”ngarsa pura” ke arah selatan hingga batas jalan Slamet Riyadi, ke barat hingga kawasan PKU Muhammadiyah, ke timur hingga kampung Ngeblokan dan ke utara hingga kawasan Monumen 45, konon merupakan aset-aset pendukung ”Praja” Mangkunegaran, dulunya.

Artinya, ketika melewati dan menyaksikan kawasan dan aset-aset terutama bangunan yang ada seperti tersebut di atas, sudah bisa menjadi inspirasi untuk mengenang ketokohan SP Mangkunagoro IX dan para leluhur Mangkunagoro di sebelumnya hingga Pangeran Sambernyawa. Memang termasuk begitu cepat SP Mangkunagoro IX menghadap Sang Khalik, sebelum cita-cita ideal yang didambakan bersama Sinuhun PB XII terwujud, yaitu kembalinya Daerah Istimewa Surakarta (DIS) sebagai provinsi seperti disebut dalam pasal 18 UUD 1945.

SALURAN KENANGAN : Saluran drainase yang masih tampak menganga dari pintu timur menuju pintu masuk timur Pura Mangkunegaran dan belum selesai digarap sampai Kamis (19/8), merupakan kenangan yang tak bisa dilupakan publik secara luas yang menyaksikan proyek renovasi berlangsung saat Pura sedang berkabung. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Masih Banyak Saudara

Tetapi, mudah-mudahan semangat memperjuangkan hak kembalinya status DIS sebagai provinsi tidak patah atau berhenti setelah SP Mangkunagoro VIII dan SP Mangkunagoro IX serta Sinuhun PB XII tiada. Karena, GRM Paundra Karna Jiwanagara dan adik-adiknya (di antaranya GRM Bhre) masih ada, masyarakat adat termasuk Himpunan Kerabat Mangkunegaran (HKMN) yang tidak lama lagi akan dipimpinnya juga masih eksis.

Tak hanya itu, masih banyak teman dan saudara sedinasti yang bisa diajak untuk bersama-sama memperjuangkan, karena Keraton Mataram Surakarta juga masih eksis dan memiliki ikatan kekerabatan dalam dinasti dan peradaban lebih besar dan kuat. Seandainya Sinuhun PB XIII dan para pendukung ”insiden April 2017” tidak bisa diharapkan karya-karya nyatanya untuk masa depan Dinasti Mataram dan peradaban, tetapi GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng bersama semua elemen yang berada di Lembaga Dewan Adat Keraton Mataram Surakarta yang dipimpinnya masih ada.

Bersama kekuatan yang justru punya banyak karya walau berada di luar keraton itu, masih sangat bisa diharapkan untuk bersinergi bersama dan berjuang untuk mewujudkan cita-cita para pendahulunya, dan juga bahu-membahu menjaga, merawat dan membangun peradaban. Ikatan persaudaraan dalam Dinasti Mataram yang pernah diperlihatkan Sinuhun PB IX dengan KGPAA Mangkunagoro VII, kemudian diperlihatkan SP Mangkunagoro IX sebagai pengganti sang ayah yang sudah merintis kedekatan dengan sang paman yaitu Sinuhun PB XII, harus terus dijaga dan dilanjutkan para penggantinya.

MENTERI PARIWISATA : Menteri Pariwisata Hongaria dan KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito yang bertemu pada suatu acara yang digelar di Pura Mangkunegaran saat Wali Kota Surakarta dijabat Jokowi (kii Presiden RI), juga punya kenangan tersendiri karena bisa hadir dan bertemu dengan tuan rumah, SP Mangkunagoro IX, waktu itu. (foto : iMNews.id/dok)

Jauhkan dari Intervensi

Oleh sebab itu, pemerhati budaya Jawa dan keraton dari sisi spiritual kebatinan, KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito sangat berharap, proses alih kepemimpinan di Pura Mangkunegaran bisa berjalan lancar, tanpa perlu adanya ”ontran-ontran” seperti yang terjadi saat SP Mangkunagoro IX naik tahta. Paugeran adat memang harus ditegakkan dan dijalankan sebagaimana adanya, tetapi ruang musyawarah dan dialog jangan pernah ditutup atau ditiadakan.

KRT Hendri melihat, dengan jumlah putra/putridalem (SP Mangkunagoro IX) yang tergolong kecil atau sedikit (dibanding jumlah putra/putridalem Sinuhun PB XII), secara logika menjadi lebih sedikit potensi konflik atau friksi internalnya. Para sesepuh keluarga dekat tentu bisa mencermati pengalaman pada proses suksesi 1988 di Pura Mangkunegaran, bahkan proses alih kepemimpinan di Keraton Mataram Surakarta pada tahun 2004, untuk dijadikan ”kaca brenggala” atau pelajara/pembanding agar lebih bijak melihat jauh ke depan.

”Saya yakin, para sesepuh dan pinisepuh yang ada sudah sangat berpengalaman. Apalagi ada contoh-contoh yang bisa dipelajari dan dijadikan pembanding. Karena, semua harus sadar dan ingat asal Pura Mangkunegaran dari mana? Keberadaannya untuk apa? Dan tujuannya apa. Siapapun yang akan jadi pemimpinnya, harus punya orientasi yang sama dengan tugas, fungsi dan kewajiban lembaga yang akan dipimpinnya nanti. Yang jelas, jauhkan dari intervensi pihak-pihak (petualang) yang ingin memperkeruh suasana, merusak kekerabatan. Karena contohnya sudah ada dan jelas,” tunjuk KRT Hendri berharap. (Won Poerwono-bersambung)