Menjelang Wiyosan Jumenengan ke-32, Sang Penjaga Budaya Berpulang (1-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:August 16, 2021
  • Post category:Regional
  • Reading time:5 mins read

Hadirnya KGPAA Mangkunagoro IX, Jaminan Eksistensi Kadipaten Mangkunegaran

IMNEWS.ID – TAHUN 1988, adalah momentum yang boleh dicatat sebagai batas gaya kepemimpinan seorang tokoh adat yang bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Arya Adipati (KGPAA) Mangkunagoro VIII yang membawa suasana ”Kadipaten” Mangkunegaran di awal alam republik. Namun sejak tahun itulah, tampil seorang penggantinya yang kemudian bergelar KGPAA Mangkunagoro IX, anak ke-4 dari 7 bersaudara yang waktu itu masih berusia 37 tahun.

Tahun 1988 itu, adalah peristiwa alih kepemimpinan pertama di lingkungan keluarga besar Dinasti Mataram yang berlokasi di Solo. Artinya, momentum alih kepemimpinan itu tentu dijadikan ”kaca brenggala” atau contoh pembanding bagi anggota keluarga besar Dinasti Mataram lainnya yang disebut Catur Sagatra (empat serumpun).

Mengapa demikian? Karena, salah satu titik ”seksi” dari proses alih kepemimpinan yang selalu dipandang kalangan anggota Catur Sagatra lainnya sebagai contoh pembanding, karena pada momentum itu terjadi dinamika politik internal yang sangat tinggi intensitasnya.

Suasana seperti ini sudah biasa ketika terjadi di alam sebelum republik atau sebelum ada NKRI, tetapi menjadi tampak aneh ketika yag melihat suasana kemelut, penuh pro-kontra dan kemudian disebut ”ontran-ontran” sebagai ”pemeriahnya” itu, adalah sebuah masyarakat bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Yang menyaksikan tidak lagi hanya warga masyarakat adat Kadipaten Mangkunegaran, atau masyarakat adat ”nagari” Mataram Surakarta Hadiningrat (1745-1945).

TAMPIL MENYANYI : KGPAA Mangkunagoro IX adalah pemimpin adat yang modern, karena sangat dekat dengan kehidupan seni budaya, terutama seni musik. Bahkan sering tampil menyanyi, seperti saat ultah sang istri (GK Putri Mangkunagoro) yang diiringi grup band setempat di awal tahun 2000-an. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tampil ”Dimeriahkan” Ontran-ontran

Melalui proses penuh dinamika ”politik” internal warga ”Kadipaten” yang kemudian dikenal sebagai Pura Mangkunegaran, akhirnya anak ke-4 KGPAA Mangkunagoro VIII yang bernama KGPH Sudjiwo Kusumo itu jumeneng nata sebagai KGPAA Mangkunagoro IX. Ontran-ontran bahkan masih berlanjut setelah 1988, karena organisasi wadah kerabat trah yang bernama Himpunan Kerabat Mangkunegaran (HKMN), mengajukan ”hak veto” di tahun 1990-an yang membuat ”ontran-ontran” berlanjut seri dua.

Ontran-ontran yang mengisyaratkan sikap tidak setuju dengan kehadiran KGPH Sudjiwo Kusumo sebagai pemimpin masyarakat adat Pura Mangkunegaran bergelar KGPAA Mangkunagoro IX, memang ada beberapa aroma yang menjadi penyebabnya. Karena selain organisasi HKMN yang mempersoalkan akuntabilitas kepemimpinan KGPAA Mangkunagoro IX, ada aroma dari luar yang menyeret nama-nama figur sekitar kekuasaan yang ikut nimbrung dengan motivasi agak berbeda.

Tetapi, akhirnya ”ontran-ontran” kedua juga berakhir ”win-win solution”, karena HKMN dan kekuatan dari luar (kekuasaan) bisa menerima KGPAA Mangkunagoro IX, tetapi dengan beberapa syarat. Bagaimana detail hebohnya ”ontran-ontran” dalam dua seri itu, rasanya tidak penting untuk tema tulisan ini, karena yang lebih penting adalah Pura Mangkunegaran tetap punya masa depan, eksis dan terjamin kelanjutannya di tangan KGPAA Mangkunagoro IX.

JADI TUAN RUMAH : Ketika Pura Mangkunegaran menjadi tuan rumah gelar budaya promosi pariwisata Nusantara, KGPAA Mangkunagoro IX mendapat banyak tamu tokoh nasional dan lokal seperti Menlu Hasan Wirayuda, yang waktu itu diantar Wali Kota Jokowi (kini Presiden RI) bersama KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

”Agenda” Wiyosan Jumenengan 18 Agustus

KGPAA Mangkunagoro IX yang lahir pada Agustus 1951 dan memiliki latarbelakang pendidikan di dua disiplin yang amat jauh berbeda, menjadikannya sebagai sosok yang banyak pengalaman dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan seni budaya. Bahkan dengan karya-karya yang dihasilkan selama dirinya memimpin (1988-2021), menjadikan mantan menantu Proklamator/Presiden RI pertama Bung Karno itu, bisa meyakinkan dirinya sebagai sosok pemimpin adat ”Penjaga Budaya” (Mataram Mangkunegaran).

Salah satu karya yang berhasil ditorehkan selama memimpin Pura Mangkunegaran, adalah menetapkan tari Bedaya Suryosumirat sebagai karya agung dalam sejarah ”Kadipaten Mangkunegaran”. Karena karya tari selain Bedaya Bedah Madiun yang lebih dulu terkenal itu, tari Bedaya Suryosumirat merupakan salah satu karya di zaman modern sebagai penghargaan atas jasa kepahlawanan Pangeran Sambernyawa, sebagai pendiri Kadipaten Mangkunegaran yang bergelar KGPAA Mangkunagoro I itu.

Tarian sakral yang diawali dengan pembacaan ayat-ayat suci Alquran itu, kemudian dijadikan salah satu ikon dan simbol kebesaran Pura Mangkunegaran, yang hanya digelar saat berlangsung upacara adat wiyosan jumenengan KGPAA Mangkunagoro IX sampai akhir hayat. Dan jika suasana pageblug Corona sudah sirna, sebenarnya tarian itu bisa digelar di saat berlangsungnya wiyosan jumenengan ke-32 KGPAA Mangkunagoro IX, tepat tanggal wiyosan jumenengannya.

”Seingat saya, wiyosan jumenengan Kanjeng Gusti Mangkunagoro (KGPAA Mangkunagoro IX-Red), tanggal 9 Sura. Di tahun 2021 ini, tepat pada  Tahun Jawa Alip 1955, yang jatuh tanggal 18 Agustus, lusa. Ritualnya pasti di Pendapa Agung Pura Mangkunegaran. Karena itu yang sudah menyatu, menjadi kebanggaan warga dinasti. Itu yang saya tahu. Karena beberapa waktu dulu, saya pernah ikut sowan juga,” ujar KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, seorang pemerhati budaya Jawa dan keraton dari sisi spiritual. (Won Poerwono-bersambung)