Mengundang Musik Dangdut di Ruang Privasi Keluarga Kecilnya
SOLO, iMNews.id – Meneladani para pendahulunya dalam Dinasti Mataram dalam mengukir sejarah saat memimpin lembaga masyarakat adatnya, Pengageng Pura KGPAA Mangkunagoro IX semasa jumenengnya (1988-2021) juga memiliki salah satu karya yang bisa dikenang sepanjang masa, yaitu tari Bedaya Suryosumirat. Tokoh adat yang memiliki semangat pemikiran modern itu, bahkan memiliki kedekatan dengan dunia seni, salah satunya musik dangdut, hingga pernah mengundang grup dangdut untuk dinikmati di ruang privasi keluarga kecilnya.
Itulah beberapa peristiwa yang bisa dijadikan kenangan oleh semua yang pernah bergaul dengan KGPAA Mangkunagoro IX yang akrab disapa Gusti Mangku itu. Mengingat, Pengageng Pura yang menjadi ayah 4 anak dari dua istri berbeda itu, Jumat dini hari (13/8) sekitar pukul 02.00 WIB dinihari menghembuskan nafas terakhir di usia 70 tahun dalam perawatan pemulihan kesehatannya di kediaman Jakarta.
Duka cita keluarga besar Pura Mangkunegaran itu, juga mengundang simpati publik secara luas, baik yang mengekspresikan lewat media terutama medsos, maupun langsung datang melayat ke lokasi sejak Jumat, Sabtu. Hingga puncaknya Minggu sejak pagi, jenazah diberangkatkan dari Pendapa Agung Pura Mangkunegaran pukul 11.00 WIB tadi siang. Meskipun, ekspresi secara langsung itu hanya dari kejauhan, karena ada protokol kesehatan Covid 19 yang harus dipatuhi.

Sama-sama Dinasti Mataram
Saat berlangsung upacara adat pelepasan jenazah yang dimulai pukul 09.30 WIB tadi, juga sangat terbatas untuk keluarga besar saja yang tidak mungkin bisa terakomodasi, mengingat ruang Pendapa Agung dan sekelilingnya hanya diisi sekitar 300-an kursi tempat duduk. Padahal, ruang pendapa dan teras sekelilingnya, bila sedang berlangsung upacara adat kirab pusaka menyambut Tahun Baru Jawa 1 Sura, bisa menampung ribuan orang dan ribuan orang lagi bila melihat halaman di sekeliling pendapa seluas itu terisi.
Tepat pukul 11.00 WIB, peti jenazah KGPAA Mangkunagoro IX dibawa keluar dari depan krobongan ndalem ageng, melewati ruang Pendapa Agung untuk dimasukkan ke mobil jenazah yang sudah siap di topengan pendapa. Selain petugas pengawalan, tampak hanya beberapa mobil keluarga yang diizinkan ikut melayat sampai tempat pemakaman, kompleks makam Dinasti Kadipaten Mangkunegaran, Astana Giri Layu, Matesih, Karanganyar.
”Saya selaku pribadi maupun Ketua LDA Keraton Mataram Surakarta bersama keluarga besar masyarakat adat, menyampaikan bela sungkawa. Kami merasa kehilangan, karena almarhum mas Mangku (sebutan akrab terhadap KGPAA Mangkunagoro IX), termasuk sangat akrab dengan Sinuhun PB XII dan kami perempuan berlima (GKR Galuh Kencana, GKR Sekar Kencana, GKR Retno Dumilah, Gusti Moeng, GKR Ayu Koes Indriyah). Karena kami dan beliau adalah sama-sama generasi kedua dari masing-masing pemimpin adat dari Dinasti Mataram di Surakarta,” sebut Ketua LDA GKR Wandansari Koes Moertiyah yang akrab disapa Gusti Moeng, ketika menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.

Sulit Mendapati GPH Paundra
Sejak sebelum hingga jenazah berangkat menuju pemakaman, tak ada satupun dari kalangan keluarga yang bersedia memberi keterangan, meski banyak awak media yang memintanya. Karena, sudah menjadi tradisi di kalangan pers terutama di Solo dan Jogja yang menjadi basis keturunan Dinasti Mataram, setiap ada peristiwa meninggalnya seorang pemimpin adat, pasti diikuti dengan pemberitaan/pengungkapan tentang kelanjutannya.
Sebagai contoh, ketika sang ayah wafat pada tahun 1988, bukan main hebohnya pemberitaan di media massa yang membahas soal siapa penggantinya, bagaimana prosesnya sampai pemberitaan tentang riak-riak proses munculnya anak keempat KGPAA Mangkunagoro VIII yang bernama KGPH Sudjiwo Kusumo itu, kemudian ditetapkan menjadi penerus yang syah dengan gelar KGPAA Mangkunagoro IX. Riak-riak yang menjadi berita heboh dan head line di berbagai media nasional dan internasional itu, dikenal dengan istilah ”ontran-ontran”.
Hal-hal yang dianggap kalangan pers menarik dari wafatnya KGPAA Mangkunagoro IX ini, karena diyakini Dinasti Mangkunegaran akan terus berlanjut dan masih ada tokoh-tokoh yang layak akan meneruskan tahta menggantikan almarhum sebagai KGPAA Mangkunagoro X. Bahkan, pemerhati budaya Jawa dan keraton KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito yang ingin mengucapkan belasungkawa kepada GPH Paundra Karna yang sudah dikenalnya, kesulitan mendapati karena yang bersangkutan terkesan menghindari karena berbagai alasan, terutama tidak kontak fisik dengan orang lain sesuai prokes Covid 19.
”Selain saya sering sowan ke Mangkunegaran dan sering bertemu dengan Gusti Paundra (GPH Paundra-Red), saya sama-sama pernah kuliah di Fakultas Hukum UNS. Kalau tidak salah, kami sering bertemu saat UNS masih berada di Pendapa Pagelaran Keraton Surakarta. Ya intinya, kami ikut berduka cita. Karena kehilangan seorang kawan sealmamater. Selamat jalan Gusti Mangku,” ucap KRT Hendri Rosyad.

Menginisiasi Bedaya Suryosumirat
Namun, berita-berita tentang itu biarlah menjadi kelanjutan cerita tentang Kadipaten Mangkunegaran setelah proses pemakaman almahrum KGPAA Mangkunagoro IX selesai hari ini. Atau setidaknya, bisa saja muncul di sela-sela pelaksanaan upacara adat spiritual religi peringatan tujuh hari, 40 hari, 100 hari hingga seribu hari setelah meninggalnya Gusti Mangku yang biasa dilakukan di kalangan warga peradaban Mataram sebagai pemelihara peradaban Jawa.
Berita yang perlu diketahui publik secara luas, adalah tentang peristiwa-peristiwa menarik yang pernah dialami almarhum, agar menjadi kenangan publik secara luas pula. Misalnya, bagaimana seorang Gusti Mangku yang pernah mengenyam bangku kuliah di Fakultas Hukum UNS dan sempat menikmati ruang kuliah di kompleks Pagelaran Sasana Sumewa Keraton Mataram Surakarta sebagai kampus pusat UNS (1976-1980-an), ternyata memiliki jiwa seni dan sempat mengenyam kuliah di STSRI Jogja yang menjadi embryo jurusan seni rupa ISI Jogja.
Kedekatannya dengan dunia seni tidak hanya sampai di situ, karena selama almarhum jumeneng nata sebagai ”Adipati” di Pura Mangkunegaran atas ”restu” Sinuhun PB XII, sempat merestui adik kandungnya bernama GPH Herwasto Kusumo (alm) yang menginisiasi lahirnya tari bedaya Suryosumirat. Karya baru yang masuk ragam tari ”bedayan” itu, disusun untuk mengenang dan memberi penghormatan kepada Pangeran Sambernyawa atau leluhurnya yang bergelar KGPAA Mangkunagoro I itu, atas jasa-jasanya mendirikan Kadipaten dan Dinasti Mangkunegaran.

Grup Dangdut di Ruang Privasi
Di bidang musik, Gusti Mangku memiliki ketertarikan luar biasa, sehingga di kompleks kediamannya di kawasan Bale Peni, ada sebuah tempat yang dijadikan sebagai ruang khusus untuk musik. Di situ, terdapat sejumlah peralatan musik nyaris lengkap, dari drum, keyboard dan gitar, yang sering mengundang kalangan teman-temannya dari grup Scorlies Band asli Solo berkumpul, dan ngeband bersama di saat-saat senggang.
Selain bersama teman-teman grup band, Gusti Mangku juga sering mengundang teman-teman penggemar motor gede (moge) anggota Harley Davidson Club Indonesia (HDCI) untuk sekadar berkumpul atau bila pengurus organisasi itu bermusyawarah. Ketika sudah berkumpul, pasti ada suguhan band yang para pemainnya, campuran antara anggota HDCI, grup Scorlies Band dan Gusti Mangku yang sesekali kebagian jatah menyanyi, bergantian dengan Fery Van Pengging atau Parso Karso, Evi Soenarko dan sebagainya.
Kenangan yang paling sulit dihilangkan karena mengukir sejarah, ketika Gusti Mangku merayakan ultahnya dengan mengundang grup dangdut untuk beraksi di ruang privasi keluarga, yaitu halaman Bale Peni. Ultah yang digelar sebelum tahun 2000-an itu, secara khusus mengundang grup orkes melayu (OM) Ervana 87 milik Kasmihadi Citrokusumo (alm), sebuah grup dangdut asal Solo yang terkenal waktu itu. (won)