Transformasi yang Panjang Sejak Silir Menjadi Tempat ”Plesiran”
IMNEWS.ID – BERBICARA tentang kehidupan malam di Kota Solo, tentu harus merunut ke arah apa yang bisa menyebabkan kota kecil ini bisa disebut begitu? Dari berbagai data sejarah yang berhasil dihimpun penulis menyebutkan bahwa satu-satunya sumber atau awal mula yang menjadi penyebab itu, adalah keniscayaan sejarah bahwa kota ini pernah menjadi Ibu Kota ”nagari” atau negara Mataram Surakarta selama 200 tahun (1745-1945).
Fakta adanya ”nagari” Mataram Surakarta yang menjadikan Desa Sala berubah menjadi Ibu Kota negara dengan nama Surakarta Hadiningrat itu, tak bisa dikesampingkan begitu saja dari segala produk peradaban yang dihasilkan sejak kepemimpinan Sinuhun Paku Buwono (PB) II hingga PB XII. Bisa dibayangkan bagaimana Sinuhun PB II memulai membangun Ibu Kota sejak ”negara”nya dipindah dari Kartasura ke Surakarta di tahun 1745, kemudian terus-menerus disempurnakan oleh generasi penggantinya hingga Sinuhun PB XII sampai tahun 1945.
Sama-sama sebagai Ibu Kota, seandainya nagari Mataram Surakarta tidak mengalami perubahan sosial politik dunia di tahun 1945, mungkin situasi dan kondisinya kurang-lebih seperti Kota Jakarta sekarang ini. Sebagai Ibu Kota, Surakarta pasti akan memiliki segala daya dukung, dinamika sosial dan politik serta berbagai aspek yang merupakan konsekuensi dari posisi, peran dan fungsinya sebagai Ibu Kota Negara (Sinuhun PB II – Dr Purwadi/Lokantara).
Analogi itu berarti, walau terpaut 76 tahun setelah 1945, tetapi Surakarta sudah terbentuk selama 200 tahun menjadi Ibu Kota dengan segala kelengkapannya sesuai posisi, fungsi, peran dan manfaatnya sebagai pusat pemerintahan dalam berbagai aspek. Namun sayang, ”berhenti” sebagai Ibu Kota negara karena Sinuhun PB XII bersepakat ikut mendirikan NKRI di tahun 1945, tetapi setelah itu tak banyak hal-hal baik dan positif yang diwarisi generasi NKRI sebagai edukasi yang futuristik, ideal dan membanggakan kepada generasi anak-cucu.
Mekanisme politik sangat mendominasi berlangsungnya transformasi sejarah perjalanan Surakarta Hadiningrat sebagai Ibu Kota, yang menyebabkan berbagai potensi riil tentang kebesaran Mataram sebagai modal berbangsa, modal bernegara, modal ketatanegaraan dan sebagainya, seakan terkubur begitu saja sejak menjadi bagian dari NKRI. Sebaliknya, menurut KRRA Budayaningrat (Sanggar Pasinaon Pambiwara Keraton Mataram Surakarta), setelah 1945 yang terdengar menonjol justru hanya warisan sejarah yang terkesan ”ampas” berbau sampah yang serba negatif.
Warisan sejarah Mataram Surakarta yang seharusnya ditonjolkan bukannya kekayaan pujangga (Jawa) dan karya-karyanya yang menjadikan Solo ”Kota Budaya” dan ”Kota Pujangga”, kemegahan situs kawasan dan bangunan yang sangat layak menjadi modal haritage dunia serta berbagai hal positif yang dihasilkan sebuah negara. Tetapi, terkesan sengaja selalu hanya mengeksploitasi dan menonjolkan slogan ”Solo Kota Plesiran” (pleasure-Red), ”Kota yang Tak Pernah Tidur” dan kota yang punya kehidupan malam cukup dinamis dalam perspektif dan konotasi negatif.
Bisa Membunuh Karakter
Slogan-slogan ”nyinyir” berkesan merendahkan itu, dieksploitasi sebagai pembentukan opini publik mencapai puncaknya pada rezim pemerintahan Orde Baru, bahkan bisa membunuh karakter. Dan atas dasar konotasi negatif yang dikembangkan sebagai stigma negatif Surakarta atau Kota Solo, lantas lahirlah kebijakan-kebijakan yang seakan-akan memberi pembenaran terhadap stigma dan asumsi yang salah itu, termasuk kebijakan di sektor kepariwisataan.
Memang, dengan mendasarkan pada fakta bahwa kebesaran eks ”nagari” Mataram Surakarta lalu lahir kebijakan di bidang pendidikan secara khusus di tahun 1960-an seperti SMKI, ASKI, PKJT dan sebagainya. Tetapi bagaimana mungkin, di bekas Ibu Kota negara yang memiliki kelengkapan sarana dan prasarana pada waktu itu, justru tidak ditonjolkan dan dikembangkan untuk kemaslahatan pada kehidupan di masa mendatang, misalnya sekarang.
Kebijakan di sektor kepariwisataan yang dikembangkan di Kota Surakarta, belakangan semakin menemui jalan buntu karena terkesan sudah tidak ada yang bisa diandalkan sebagai daya tarik wisata. Kawasan Keraton Mataram Surakarta dengan sisa-sisa kelengkapannya, tidak sungguh-sungguh diangkat menjadi warisan sejarah sangat terhormat yang layak menjadi modal heritage dunia dan bisa digarap secara maksimal sebagai objek wisata sejarah sangat menarik.
Yang terjadi malah sebaliknya, dukungan revitalisasi yang konsepnya sudah disusun lengap, hanya dialokasikan bantuan sekenanya dan seadanya, bahkan malah ”dihajar” habis sejak 2017 hingga sekarang. Maka, ketika mencermati tiga dari enam objek wisata unggulan hasil penelitian Badan Promoso Pariwisata Daerah Kota Surakarta dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata UNS yang disebut kandidat doktor FEB UNS Drs Bambang Irawan MSi (iMNews.id, 5/8),
potensi industri pariwisata di Kota Surakarta terkesan sangat sepele, yang menjadikan kebijakan alokasi anggarannya terkesan salah alamat.
Kini, transformasi sosial, budaya, ekonomi bahkan politik sudah terjadi, setidaknya selama 76 tahun berada di alam republik. Bahkan masih bisa dipotong-potong lagi menjadi periode-periode pendek, sesuai detail ragam perubahan dan durasi waktu terjadinya. Yang jelas, transformasi itu telah merubah slogan ”Kota yang Tak Pernah Tidur” itu terbagi menjadi beberapa bagian, karena kehidupan malam yang mengisinya tidak lagi didominasi angkring wedangan yang sebelum tahun 2000 ada di setiap ”emper” toko, sudut perempatan dan tempat-tempat terbuka lainnya.
Warisan Positifnya Diangkat
”Kota yang Tak Pernah Tidur” dan kehidupan malam tempo dulu yang dianggap mengartikulasi atau menjadi sebutan lain dari ”Solo Kota Plesiran”, memang sudah mengalami transformasi yang mengarah ke ciri-ciri kehidupan (malam) masyarakat modern. Tetapi, keberadaannya tetap bisa dijadikan basis pengembangan objek wisata yang mendukung Kota Solo sebagai destinasi wisata berbeda dengan yang lain.
Meski sudah mengalami transformasi, objek wisata kehidupan malam di satu sisi berkembang di Alun-alun Kidul (Alkid) dan tempat-tempat hiburan in door (diskotek, karaoke, bar, kafe) di sisi lain, ternyata tetap terkoneksi atau bisa bersinergi dengan potensi wisata kuliner. Karena, keberadaannya tersebar merata di setiap sudut kota, seakan muncul silih-berganti dalam 24 jam, baik yang ada di ruang terbuka maupun yang ada di in door (restoran, kafe dan sebagainya).
Stigma negatif Kota Surakarta atau Solo itu berangsur-angsur akan benar-benar mengalami transformasi dan menjadi positif adanya, ketika main product tiga dari enam unggulan itu benar-benar dikembangkan. Terutama wisata sejarah dengan destinasi Keraton Mataram Surakarta dengan segala potensi di kawasannya yang sangat luas, juga Pura Mangkunegaran, karena potensi wisata ini yang bisa menjadi magnet bagi wisata kehidupan malam dan wisata (belanja) batik.
Wisata sejarah bisa menampilkan potensi koleksi naskah di Sasana Pustaka (Keraton Mataram Surakarta) dan Reksa Pustaka (Pura Mangkunegaran), selain objek wisata benda-benda bersejarah. Potensi ini bahkan bisa dieksplorasi lagi dan disinergikan dengan wisata edukasi ketrampilan ketika ada proses belajar-mengajar Sanggar Pasinaon Pambiwara, Sanggar Pawiyatan Beksa, Sanggar Pawiyatan Dalang dan sebagainya.
Namun objek wisata kehidupan malam akan benar-benar terangkat berskala nasional, bahkan internasional, apabila semua pihak benar-benar mampu menempatkan arti penting setiap upacara adat yang berlangsung di keraton, dalam rangka mendulang pendapatan dan memberdayakan kegiatan ekonomi warga sekitarnya. Semua potensi harus disinergikan ketika ritual kirab pusaka menyambut Tahun Baru Jawa 1 Sura berlangsung di Pura Mangkunegaran pukul 19.00 WIB, dilanjutkan di Keraton Mataram Surakarta pukul 00.00 WIB dini hari.
”Selain kirab pusaka, ‘kan masih ada tingalan jumenengan, Garebeg Syawal, Garebeg Besar, Garebeg Mulud dan Sesaji Mahesa Lawung. Itu semua potensi wisata sejarah yang bisa menyedot ribuan orang dari dalam dan luar kota. Bahkan wisatawan secara skala nasional dan internasional. Ini yang harus benar-benar digarap, ditata kembali dan disinergikan antar unsur-unsurnya. Saya yakin, Surakarta akan kembali kuncara. Warisan positifnya saja yang diangkat. Jangan yang negatif digembar-gemborkan. Kita bisa rugi sendiri,” jelas KRT Hendri Wrekso Puspito, seorang pemerhati budaya Jawa dan keraton yag ditugasi LDA membantu kegiatan komunikasi publik, menjawab iMNews.id, kemarin. (Won Poerwono-bersambung)