Daya Tarik Wisata Mataram Surakarta Luar Biasa, Seandainya tak ”Dihancurkan”
IMNEWS.ID – PADA era 1990-an hingga awal tahun 2000, kalangan pelaku industri wisata di Kota Surakarta atau Solo mulai merasakan tingkat penurunan yang tajam dari pendapatannya. Data-data trend penurunan itu tentu tersimpan di Dinas Pariwisata, selaku pengelola kebijakan Pemkot Surakarta, juga dibukukan Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) selaku pengelolan pendapatan daerah dari sektor kepariwisataan di Kota Budaya dan Kota Pujangga ini.
Membaca grafik trend penurunannya, salah satunya diakibatkan oleh perubahan perilaku sosial masyarakatnya yang melukiskan terjadinya transformasi aktivitas kehidupan malam di Kota Surakarta yang ternyata sudah menjadi objek wisata tersendiri sejak lama. Trend penurunan itu juga ”disempurnakan” oleh peristiwa kerusuhan pada bulan Mei sebagai imbas atau bagian gelombang reformasi yang menjadi satu dengan krisis ekonomi 1998 dan tumbangnya rezim pemerintahan Orde Baru.
Terjadinya berbagai perubahan sosial, politik, ekonomi dan budaya di Kota Surakarta akibat peristiwa 1998 seakan mengartikulasi trend penurunan sektor kepariwisataan yang sudah terjadi sebelum itu akibat proses transformasi sosial kemasyarakatan yang sudah jauh lebih dulu terjadi. Transformasi sosial yang terjadi sebagai reaksi atas stigma negatif slogan ”Solo Kota tak Pernah Tidur” dan ”Solo Kota Plesiran” itu, kemudian melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang kontra produktif.
Mencari solusi atas stigma negatif yang menghasilkan kesimpulan kontra produktif itu, di awal tahun 1990-an mulai muncul jawaban dari para pelaku industri pariwisata di Kota Surakarta yang sudah merasa pesimis tidak mungkin bisa mengembangkan kepariwisataan dan meningkatkan devisa dari sektor ini karena merasa buntu. Kebuntuan itu ditunjukkan bahwa wisata sejarah terutama objek Keraton Mataram Surakarta yang dijadikan unggulan atau main product, dinilai sudah sampai batas maksimal alias sudah buntu.
Mengutip kegelisahan kalangan industri pariwisata di Solo, waktu itu, Drs Bambang Irawan (P3W UNS) menyatakan bahwa keberadaan situs kawasan peninggalan sejarah yaitu Keraton Mataram Surakarta, sudah tidak bisa diapa-apakan/diolah untuk dikembangkan lagi sebagai objek wisata handal bagi Kota Surakarta. Bahkan secara detail disebutkan, jadwal hampir semua upacara adat yang menjadi objek wisata atraktif/event ritual di keraton yang menggunakan patokan kalender Jawa, tidak bisa sesuai dengan jadwal musim liburan wisatawan mancanegara yang menggunakan patokan kalender internasional, sebagai sumber devisa andalan waktu itu.
Mencermati kesimpulan dan keputusan/kebijakan seperti itu sangat menyedihkan bagi publik warga Kota Surakarta khususnya, juga bagi publik secara luas yang masih memilik ikatan kultural dan emosional dengan bekas Ibu Kota negara yang menjadi sumber dan pusat peradaban Jawa itu. Kesimpulan dan keputusan/kebijakan seperti itu yang kemudian menempatkan Kota Surakarta, terkesan kalah penting, terlalu kecil dan kurang bermakna dibanding kota-kota lain untuk segala urusan khususnya dalam membuat kebijakan di sektor kepariwisataan, dalam skala lokal, regional maupun nasional.
Kalau kemudian melihat peta secara umum dalam skala kecil, sedang dan besar, rupanya nasib Kota Surakarta walau hanya sebatas urusan mengelola potensi wisatanya saja, sungguh tidak lepas dari ”urusan masa lalu” kalau tidak boleh dikatakan ”dendam masa lalu”. Artinya, lahirnya kebijakan-kebijakan di bidang kepariwisataan yang sangat tidak berpihak pada potensi riil yang kini seakan ”sudah terkubur” itu, merupakan produk yang sangat kental diwarnai oleh mekanisme politik.
Melihat peta pengaruh dinamika politik yang sangat tidak menguntungkan bagi Keraton Mataram Surakarta di satu sisi dan input dari pengelolaan potensi kepariwisataan di Kota Surakarta di sisi lain, seperti membentuk alur proses kausalitas. Menjadi akibat secara langsung dari ancaman ”perusakan” jejak Mataram memang belum bisa dipastikan, tetapi potensi wisata sejarah yang sudah rusak, tidak lengkap dan malah diberi stigma negatif, bisa dipersepsikan akan menghambur-hamburkan anggaran yang notabene selalu diberi label ”uang rakyat” kalau dibiayai APBD.
Kira-kira satu dekade lalu saat Keraton Mataram Surakarta mulai disumbat aliran bantuan hibahnya dari APBD Kota Surakarta, terdengar ”sayup-sayup” salah satu alasannya bahwa sangatlah disayangkan ”uang rakyat” terbuang sia-sia untuk ”makani setan” (memberi makan setan-Red). Kata-kata yang datang dari Gedung DPRD itu ditujukan kepada hampir semua upacara adat di keraton, yang selalu menyebarkan aroma rupa-rupa kembang dan dupa yang terbakar dalam setiap proses berlangsungnya ritual tersebut.
Alasan yang sangat membunuh karakter di balik penghentian dana hibah sekitar Rp 300 juta/tahun itu, sungguh sangat menyesatkan dan secara tidak langsung membangun opini publik bagi calon wisatawan lokal agar tidak menyaksikan adegan ”makani setan” seperti yang dipersepsikan dalam berlangsungnya setiap ritual di keraton. Dalam skala nasional dan regional, APBN dan APBD Provinsi Bali, belasan milyar yang dikucurkan untuk mendongkrak potensi wisata yang antara lain selalu menggunakan komponen aroma rupa-rupa kembang dan dupa dalam setiap event upacara adat, atau lipat berapa puluh kali dibanding APBD Solo.
Kebon Raja, Jejak Sejarah yang Hilang
Sampai di sini, alurnya sangat kelihatan bagaimana kebesaran bekas ”nagari” Mataram Surakarta sebagai warisan sejarah yang fundamental untuk NKRI secara sengaja atau tidak sudah ”dirusak”. Pada gilirannya, warisan kota keritage dunia yang menjadi main product potensi wisata andalan di Kota Bengawan, Kota Budaya dan Kota Pujangga itu, menjadi korban karena menjadi dikesankan tidak layak ”dibiayai” dengan ” uang rakyat” untuk dikembangkan.
Kalau dilihat agak detail, pemusnahan kompleks perkantoran Kepatihan di tahun 1949, yang kemudian diikuti dengan upaya menghilangkan jejak bekas bagian penting situs sejarah Mataram Surakarta itu, bisa dipandang sebagai sebuah kebetulan atau ada skenario lain berdasar kalkulasi politik di awal NKRI. Kemudian, pindahnya kebon binatang di tahun 1990-an yang dilanjutkan berangsur-angsur alih fungsi eks Kebon Raja atau Taman Sriwedari sampai menjadi sama sekali tak berfungsi sekarang ini, akan dikatakan sebagai apa kalu bukan ”bunuh diri” potensi wisatanya.
”Padahal, Sinuhun PB X membangun Kebon Raja yang kemudian bersanding dengan Stadion Sriwedari, itu karena untuk mewujudkan konsep pembangunan jiwa dan raga atau manusia seutuhnya. Menikmati keindahan Segaran (danau), aneka satwa Kebon Raja dan atmosfer lingkungan hijau di sekitarnya, jelas akan menyehatkan kejiwaan pendatang. Sedang kesehatan raganya, bisa dilakukan di stadion. Kalau terapi kejiwaan memerlukan penanganan medis, tempatnya di RSJ Mangunjayan yang kini disulap jadi Museum Keris. Bagaimana?, Apa tidak hebat konsep pemikiran Sinuhun yang futuristik itu,” sebut KRRA Budayaningrat, Ketua MGMP Bahasa Jawa SMA se-Provinsi Jateng, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.
Sebagai pemerhati budaya Jawa dan keraton dari sisi spiritual kebatinan, KRT Hendri Rosyak Wrekso Puspito juga sangat setuju dengan proses transformasi Taman Sriwedari yang menurutnya agak ”sembrana”. Karena, secara tidak langsung menghilangkan jejak sejarah yang menjadi salah satu potensi wisatanya sendiri, yang berarti menghilangkan salah satu sumber pendapatan asli daerahnya.
Dia juga setuju dengan pandangan KRRA Budayaningrat tentang konsep pembangunan manusia seutuhnya yang digagas Sinuhun PB X (1893-1939) di satu kawasan, yaitu Kebon Raja atau Taman Sriwedari. Selain beberapa fasilitas yang disebutkan tadi, ada satu fasilitas lagi yang disebut Paheman Radya Pustaka yang kemudian menjadi Museum Radya Pustaka. Fasilitas yang berisi dokumen-dokumen sejarah, antara lain yang diselamatkan dari kompleks Kepatihan itu, bisa dijadikan satu konsep dengan pembangunan manusia seutuhnya.
”Kawasan Kebon Raja atau Taman Sriwedari, dulunya jadi pusat wisata dan potensi kehidupan malam di Solo. Potensi itu yang seharusnya dipelihara dan dikembangkan ke arah yang positif. Lokasi ini sudah menjadi ikon Kota Solo yang punya nilai jual tinggi di pasar pariwisata. Terus sekarang, apa yang mau diharapkan dengan kondisi dan skenario seperti ini?,” ujar KRT Hendri dalam nada bertanya. (Won Poerwono-besambung)