Multi Tafsir Paugeran Adat yang Menjadi Konstitusi Dinasti Mataram (1-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:April 27, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:8 mins read

Sebuah Risiko Konsep Hukum tak Tertulis

IMNEWS.ID SEBUAH konsep tata nilai yang dipegang teguh, dihormati dan selalu dilakukan sepenuh hati oleh kelompok masyarakat yang menyepakati dan mentaati berlakunya aturan main dalam hubungan sosial kelompok itu, adalah menjadi salah satu ciri khusus perjalanan sebuah peradaban. Dan ketika tata nilai itu dilahirkan, disepakati, dihormati dan ditaati sebuah masyarakat adat Dinasti Mataram, terbukti telah mampu mengantarkan dinasti itu bisa menempuh perjalanan waktu panjang, terjaga eksistensinya sampai ratusan tahun, bahkan menginspirasi bahkan banyak berpengaruh pada tata kehidupan peradaban sesudahnya.

Dan tata nilai yang kemudian disebut paugeran adat Dinasti Mataram itu, berada dalam rumusan konsep yang nyaris tidak ada yang tertuang dalam tulisan atau terkumpul dalam barang cetakan atau manuskrip berbentuk kitab, buku, naskah atau sejenisnya. Rumusan konsep tata nilai yang kemudian disebut sebagai konstitusi Dinasti Mataram itu, hampir semuanya hanya dikuasai secara lisan dan secara turun-temurun menjadi tersimpan dalam memori publik warga dinasti atau warga peradaban.

Karena sifat-sifat rumusan konseptual yang tersimpan dalam gagasan tiap manusia warga dinasti/peradaban itulah, maka sangat tidak bisa dipungkiri atau tidak bisa dihindari terjadinya perubahan, walau sangat kecil, ketika tata nilai konstitusi dinasti itu dibawa warga peradaban menembus zaman, ruang dan waktu yang sangat panjang. Terlebih, ruang waktu dan zaman yang dilewati, tak selalu diisi manusia yang sama dan situasi dan kondisi kehidupan sosialnya juga tidak sama.

”Saya sangat bangga, sebagai bagian dari masyarakat adat. Apalagi, saya adalah bagian dari penerus tokoh-tokoh sejarah Mataram yang saya banggakan. Dan salah satu kebanggaan serta hormat saya, karena dinasti ini (Mataram-Red), bisa eksis dalam waktu yang sangat panjang. Mengapa bisa demikian? Karena semua yang mengaku warga dinasti, sangat hormat dan patuh menjalankan tata nilai adat atau paugeran adat, walaupun aturan itu satupun tidak ada yang tertulis,” tunjuk KPHA Poerbodiningrat (73), menjawab pertanyaan iMNews.id dalam sebuah perbincangan ringan di kantor DPD Golkar Surakarta, kemarin.

KPHA Poerbodiningrat, adalah Ketua DPD Golkar periode kedua untuk 2020-2025, setelah periode pertama kira-kira 10 tahun lalu yang dikenal dengan nama kecil RM Kusrahardjo SH. Dia adalah anak pertama dari beberapa adiknya, putra KPH Daryonagoro (alm), yang pernah menjabat Pengageng Parentah Keraton Mataram Surakarta di masa jumenengnya Sinuhun Paku Buwono (PB) XII.

Mendapat anugrah
MENDAPAT ANUGERAH : Sebagai salah seorang anak mantan Pengageng Parentah Keraton Surakarta (KPH Daryonagoro-alm), RM Koesrahardjo (kanan) mendapat anugerah kehormatan berupa gelar Kanjeng Pangeran Haryo Adipati (KPHA) dari Sinuhun PB XII beberapa waktu sebelum Sinuhun Amardika itu wafat di tahun 2004. (foto : iMNews.id/dok)

Raden Mas Kusrahardjo yang mendapat gelar sesebutan langsung dari Sinuhun PB XII dengan nama Kanjeng Pangeran Haryo Adipati Poerbodiningrat itu, banyak menghabiskan waktu berkecimpung di dalam partai (Golkar) sejak pulang dari bekerja di Jakarta di tahun 1980-an. Namun, dia banyak menyimpan peristiwa dan pengalaman sang ayah saat ‘suwita’ di keraton sejak 1930 dalam ingatannya, walau hanya diceritakan atau ditransfer secara lisan saja.

Lewat Akun Medsos

Data, pengalaman dan pengetahuan yang hingga kini tersimpan di benaknya itu, menjadi referensi atau pembanding yang sangat penting terhadap penjelasan GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng yang diterima iMNews.id. Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Mataram Surakarta itu menjelaskan soal paugeran adat atau konstitusi Dinasti Mataram, sebagai upaya untuk meluruskan pandangan seseorang yang
mengaku kerabat asal/lahir dari luar Jawa berpangkat ”KP” (Kanjeng Pangeran).

Kedua pandangan di atas diunggah melalui akun pribadi masing-masing di media sosial (medsos), belum lama ini. Melalui akun pribadi medsos pula, bahkan ada pandangan pembanding lainnya yang disampaikan salah seorang pengurus DPP Lembaga Komunikasi Pemangku Adat Seluruh Indonesia (LKPASI), tetapi banyak mengungkapkan catatan atas hasil pertemuan Raja dan Sultan yang diundang Presiden Jokowi di Istana Bogor tahun 2018.

Dari pandangan seseorang kerabat dari luar Jawa berpangkat ”KP” yang memposisikan pendapatnya sebagai ”tanggapan pembaca tentang hukum adat keraton” itu menyebut bahwa agak sulit mendefinisikan hukum adat saat ini. Dia mempertanyakan hukum adat yang mana? dan (hukum adat) yang menurut siapa?. Menurutnya, sejak zaman Majapahit sampai era Mataram Surakarta (Sinuhun PB XII), yang disebut ”Lembaga Dewan Adat” tidak pernah ada.

Dalam pandangannya pula, pemimpin adat tertinggi adalah raja. Dalam serat Wulangreh, karya Sinuhun PB IV disebutkan, raja adalah wakil Tuhan di dunia, sehingga harus ditaati.Kerabat yang berpangkat ”KP” itu bahkan mengisahkan, dalam perjalanan sejarah Mataram Surakarta, adat berubah-ubah. Karenanya, struktur organisasi serta sebutan gelarpun juga berubah, misalnya terjadi pada masa Sinuhun PB IX, X, XI dan XII.

SETIA DAN KONSISTEN : KPH Sangkoyo Mangun Kusumo dan KPP Wijoyo Adiningrat, adalah dua di antara beberapa sesepuh yang tersisa di Keraton Mataram Surakarta yang tetap setia dan konsisten menegakkan paugeran adat sebagai konstitusi warga Dinasti Mataram yang terwadahi dalam Lembaga Dewan Adat (LDA) pimpinan Gusti Moeng. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Atas dasar perubahan itu, menurutnya sulit mendefinisikan hukum adat dan dipertanyakan hukum adat yang mana? Menurutnya, masing-masing mengklaim paling sesuai dengan adat. Dan yang dinyatakan paling sesuai, adalah (aturan) adat (yang mengharuskan semua warganya) hanya taat kepada raja sebagai pemangku adat tertinggi di keraton.

Yang Inti Tidak Boleh Berubah

Mencermati pandangan yang diunggah dalam akun pribadi di medsos itu, yang menonjol ada beberapa hal tetapi berada dalam lingkup masalah paugeran adat atau konstitusi Dinasti Mataram. Selebihnya, pandangan kerabat yang berpangkat ”KP” itu tentang ”tertahannya” status Daerah Istimewa Surakarta , nyaris sama dengan sejumlah banyak pihak lain misalnya kalangan intelektual kampus, walau tidak dijelaskan alasan-alasannya terutama soal fakta adanya pasal 18 UUD 45.

Tentang perubahan lembaga masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta, termasuk konsep paugeran adat sebagai tata nilai yang mengatur kehidupan sosial di internal masyarakat adat misalnya, jelas sudah banyak dipahami warga peradaban termasuk para tokoh-tokohnya, dari waktu ke waktu. Maka, ada istilah populer yang sudah dikenal di lingkungan masyarakat adat waktu itu, yaitu kalimat ”Nut jaman kelakone” yang kurang lebih artinya ”sesuai dengan terjadinya perubahan zaman”.

”Yang jelas tertulis dalam kitab undang-undang atau hukum (positif) saja bisa berubah karena beda persepsi dan interpretasi, apalagi paugeran adat yang tidak tertulis alias lisan. Karena, keratonpun mengakui dan memaklumi adanya perubahan zaman serta situasi. Maka, ada kalimat ‘Nut jaman kelakone’. Walau begitu, adat yang berubah hanya sebagian luar atau kulitnya saja”.

”Yang merupakan inti paugeran atau rohnya, tetap berlaku, dihormati dan dipatuhi sampai sekarang, serta dipertahankan jangan sampai berubah. Paugeran adat yang inti itu misalnya sejumlah persyaratan siapa yang berhak atau boleh menjadi Kanjeng Ratu (KR) Paku Buwono? Karena, persyaratan itu menentukan calon pemimpin masyarakat adat Dinasti Mataram. Minimal, sayarat itu adalah istri yang berasal dari ‘buyut dalem’. Jadi, tidak sembarangan,” tandas KPP Wijoyo Adiningrat, sentanadalem yang memilih bernaung di bawah Lembaga Dewan Adat (LDA) pimpinan Gusti Moeng, menjawab pertanyaan iMNews.id, belum lama ini. (Won Poerwono-bersambung)