Tiap Paku Buwono Jumenengnata, Petik Kembang Wijayakusuma
KEHEBATAN Prabu Kresna yang menjadi ”titisan” (Dewa) Bathara Wisnu, salah satunya karena memiliki setangkai (bunga) kembang Wijayakusuma. Di dunia seni pedalangan (Maha Bharata dan Ramayana) yang sudah diadaptasi dan dikembangkan empu-empu seni pakeliran jauh sebelum zaman Mataram, kehebatan Raja Dwarawati ini seakan menjadi representasi raja-raja di tanah Jawa sampai jauh setelah Mataram.
Hal menarik yang patut dicatat di sini, bukan kehebatan sosok Prabu Kresna titisan Bathara Wisnu, melainkan kisah kembang Wijayakusuma di tangannya, yang dalam cerita seni pakeliran bisa mengembalikan nyawa seseorang yang belum saatnya atau takdirnya mati. Lalu, apa hubungannya dengan dengan Kabupaten Banjarnegara?.
Kembang Wijayakusuma yang menjadi salah satu pusaka sakti (khusus) di tangan Prabu Kresna, ternyata dulu banyak tumbuh di pulau Nusakambangan, sebuah pulau yang kini dijadikan penjara bagi napi kasus apa saja yang berkategori kelas berat. Pulau Nusakambangan yang kini berada di wilayah Kabupaten Cilacap, berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara, bahkan memiliki jalur khusus yang sudah terhubung ke Jogja dan Solo sejak zaman Mataram, bahkan sebelum Mataram yang beribukota di Kerta/Plered.
Karena akses jalan sudah dibuat dan sebuah ritus yang melengkapi jumenengan nata di Mataram, harus ada kelengkapan kembang Wijayakusuma yang harus dipetik Sang Raja, maka pulau Nusakambangan punya arti penting bagi raja-raja Mataram, tak terkecuali Sinuhun Paku Buwono. Bahkan, raja-raja sebelum Mataram Kartasura dan Mataram Surakarta.
”Dalam Kabar Paprentahan Pawarti Surakarta, diceritakan urut-urutan tahap metik kembang (Wi) Jayakusuma yang dilakukan utusandalem Sinuhun PB X di tahun 1939. Saya belum mempelajari lebih jauh soal penjelasan perlunya/pentingnya memetik kembang Jayakusuma bagi seorang Sinuhun. Tetapi saya yakin, pasti ada maksudnya”.
”Urutan itu menyebutkan, kembang Jayakusuma disanggarkan (diistirahatkan sementara) di kompleks Pesanggrahan Girilangan, Desa Gumelem, Kecamatan Susukan, Banjarnegara. Di pesanggrahan yang juga makam itu, diadakan ziarah dan doa wilujengan yang melibatkan utusandalem, Bupati dan jajarannya, serta warga sekitarnya,” papar Gusti Moeng menjelaskan lebih jauh sambutannya di dua acara, yang berlangsung di Banjarnegara, 11-12/12, menjawab pertanyaan smnusantara.com, tadi siang.
Baca Juga:
- Jateng di Rumah Saja Turunkan Aktivitas Pasar Tradisional
- Mbolo Kini Lebih Gampang Dicari di Warung Istrinya
- Imunitas UMKM Menuju Indonesia Bangkit
”Berdiri di Belakang Republik”
Kabupaten Banjar Patambakan yang dibentuk Raja Keraton Pajang, Sultan Hadiwijaya (SMNusantara.Com, 26/12), adalah nama awal sebelum berubah menjadi Kabupaten Banjarnegara. Bahkan, nama itu berubah dua kali setelah Banjar Patambakan, yaitu Banjar Watulembu, kemudian Banjar Mangu sebelum akhirnya menjadi Kabupaten Banjarnegara dengan bupati pertamanya bernama KRT Wirayuda (1569-1594).
Eksistensi Kabupaten Banjarnegara dan arti penting kabupaten yang sudah ada sejak 500-an tahun sebelum NKRI ada, tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Karena di sinilah arti penting pesan bijak Bung Karno, ”Jas Merah” itu, untuk mengingatkan generasi bangsa ini sampai kapanpun, bahwa Kabupaten Banjarnegara, adalah bagian penting dalam sejarah Keraton Mataram Surakarta.
Pada gilirannya, karena Sinuhun Paku Buwono XII menyatakan ”Berdiri di Belakang Republik” setelah menggabungkan wilayahnya ke dalam NKRI, di situ pula ”Jas Merah” itu harus benar-benar diperhatikan karena Keraton Mataram Surakarta bersama semua wilayahnya telah menjadi bagian dari NKRI.
Dan ketika Keraton Mataram Surakarta dinyatakan menjadi bagian NKRI, Kabupaten Banjarnegara masih eksis dan dipimpin Bupati (ke-19) bernama KRAA Sumitra Kalapaking Purbanegara. Bupati yang diangkat Sinuhun Paku Buwono X di tahun 1927 itu, baru diganti pada tahun 1949, atau ketika NKRI sudah berjalan lima tahun.
Keraton tak Akan Melupakan
Safari keliling di berbagai wilayah di Pulau Jawa yang selama ini dilakukan Gusti Moeng atau GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Mataram Surakarta, adalah bagian dari perwujudan ”Jas Merah” itu. Baik itu berziarah, wisudan paringdalem kekancingan maupun pembentukan pengurus Pakasa cabang dan anak cabang.
Karena, Keraton Mataram Surakarta juga tidak ingin melupakan sejarah, bahwa hampir semua kabupaten dan kota yang ada diwilayah Jateng dan Jatim, terlahir karena punya makna penting dalam hubungan timbal-balik dengan para leluhur Keraton Mataram Surakarta, secara langsung atau tidak.
Oleh sebab itu, Kabupaten Banjarnegara dan hampir semua kabupaten dan kota yang ada di Jateng dan Jatim yang semuanya eksis hingga kini, jelas memiliki arti penting bagi NKRI. Salah satu arti penting itu, setidaknya menjadi potensi pemelihara ketahanan budaya, karena rata-rata warganya masih menghargai budaya Jawa sebagai warisan peradaban yang menjadi ikatan moral, spiritual dan kultural.
”Ini adalah fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri. Ini adalah potensi besar yang bisa diandalkan untuk memperkokoh ketahanan budaya, serta menjaga keutuhan bangsa,” ujar Gusti Moeng menggarisbawahi salah satu hal penting yang disampaikannya di hadapan Ketua DPRD Banjarnegara, Ismawan, saat berlangsung audiensi di gedung Dewan, belum lama ini (SMNusantara.Com, 13/12). (Won Poerwono-habis)