Gusti Moeng Sudah Jauh Lebih Dulu dan Berani “Nyesel”, Berdasar Fakta dan Data
IMNEWS.ID – NAMANYA memang “bocah”, kalau sedang bertingkah “asal ngomong” untuk mencari sensasi, memang itulah kira-kira sifat jiwa muda yang ingin diperlihatkan kepada khalayak publik. Tak peduli “cuitannya” punya implikasi hukum positif atau menyangkut standar etika publik. Atau apakah yang “diomongkan” itu sudah benar-benar dipahami, atau sekadar slogan.
Pernyataan pengamat sosial-politik Rocky (bukan Roky-Red) Gerung dalam wawancara di sebuah TV swasta mengenai pernyataan “Nyesel Gabung Republik” itu, memang bisa dipandang ideal karena figur yang merasa sedang “Nyesel” itu dipahaminya masih berstatus mahasiswa. Jiwa mudanya disebut ingin mengungkapkan kegelisahan “masyarakat adat” terhadap sikap republik ini.
Satu-satunya cara untuk memahami latar-belakang pengungkapan sikap “Nyesel”, makna dan tujuan ekspresinya itu, adalah ketika yang bersangkutan segera melakukan klarifikasi. Tetapi jika tidak segera bahkan tidak pernah dilakukan, tidak bisa disalahkan kalau publik atau netizen menyikapi dengan berbagai ekspresi, dari yang simpati hingga benci bahkan antipati.
Karena, sikap “Nyesel” itu sebenarnya merupakan kebebasan setiap individu untuk mengekspresikan sikap, perasaan dan pikiran. Tetapi, curah ekspresi tidak bisa di sembarang tempat/ruang, yang di situ ada batas ruang privasi orang lain (publik). Terlebih, ekspresi “Nyesel” harus jelas dan terarah, tetapi tidak perlu menyinggung batas privasi pihak lain.

Dalam konteks “penyesalan” yang berlatar-belakang hubungan antara Kraton Mataram Surakarta dan NKRI, ekspresi anak muda itu belum tak seberapa tajamnya dari yang pernah berkali-kali diungkapkan Gusti Moeng atau GKR Wandansatri Koes Moertiyah. Padahal, pengungkapan itu dilakukan secara terbuka dan sangat tajam di berbagai kesempatan dan ruang publik.
Tetapi perlu dipahami, yang dilakukan Gusti Moeng bukan “asal ngomong”. Semua materi yang diungkapkan berdasar pada fakta dan data (sejarah) lengkap. “Pangarsa” Lembaga Dewan Adat sekaligus Pengageng Sasana Wilapa sebagai representasi Kraton Mataram Surakarta itu, mampu menyusun pernyataan dalam konstruksi pemikiran yang visioner, walau mengandung kritik tajam.
Oleh sebab itu, semua pernyataan Gusti Moeng selama ini tidak ada yang berani dan bisa “menghadang”, termasuk ekspresi “penyesalan” tentang nasib Kraton Mataram Surakarta. Karena semua yang diungkap merupakan fakta dan data kebenaran sejarah, termasuk hilangnya beberapa kedaulatan di luar kedaulatan politik kewilayah yang nyata-nyata “dirampas”.
Sikap “Nyesel Gabung Republik”, sebenarnya “bukan barang baru” bagi publik secara luas. Gusti Moeng sudah jauh lebih dulu melempar ke ruang publik. Mungkin saja beda media yang digunakan, beda kapasitas, atau beda kualitas materi yang dilempar ke publik, sehingga yang diterima Gusti Moeng “apresiasi”, tetapi yang diterima figur anak muda itu justru caci-maki.

Uji materi (judicial review) UU No 10/1950 tentang pembentukan Provinsi Jateng ke Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2012, adalah salah satu wujud ekspresi “penyesalan” Kraton Mataram Surakarta. Karena dengan bergabung ke “Republik” (NKRI), status Surakarta sebagai Daerah Istimewa setingkat Provinsi justru “dihilangkan” tanpa alasan di tahun 1946 hingga kini.
“Penyesalan” juga diekspresikan, karena kraton kehilangan segala kedaulatannya terutama potensi ekonominya, tanpa “ganti rugi” sama sekali. Semestinya, jaminan kelangsungan hidup bagi kraton dan Sinuhun PB XII serta 35 putra-putrinya tetap diberikan sesuai hak-hak konstitusionalnya sebagai warga negara RI, bukan malah “dihabisi” aset dan sumber ekonominya.
Dengan pengungkapan data dan fakta sejarah jasa-jasa Kraton Mataram Surakarta dalam ikut mendirikan NKRI, bisa menjadi alasan yang rasional ekspresi “penyesalan” tersebut. Bukan sekadar “omong kosong” yang bisa berkesan dan berkonotasi fitnah, menghasut dan provokatif seperti video viral ekspresi “Nyesel Gabung Republik” tanpa penjelasan seperti itu.
Setiap ungkapan “penyesalan” Gusti Moeng sebagai representasi pemegang otoritas yang sah dan resmi Kraton Mataram Surakarta, selalu disertai alasan-alasan dan penjelasannya yang rasional, serta berdasar historis dan yuridis. Selain alasan-alasan di atas, figur yang sedang “Nyesel” sampai jadi bulan-bulanan netizen, karena bukan representasi kraton.

Figur yang bersangkutan adalah “anak” lelaki kedua Sinuhun PB XIII yang lahir dari salah seorang istri, karena anak lelaki pertama atau teruta adalah KGPH Hangabehi. Sedangkan anak tertua adalah wanita, yaitu GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani. Dalam posisi itu, figur anak lelaki kedua itu tak punya kewenangan mewakili otoritas kraton di ranah publik.
“Jadi, semua yang diungkapkan di instagram pribadi maupun sebagai konten video yang menjadi viral itu, adalah pendapat pribadinya. Dia mengeluarkan statemen itu atas nama pribadi, bukan sebagai representasi kraton secara kelembagaan. Karena, dia tidak punya kewenangan mewakili otoritas di dalam kelembagaan kraton,” tandas Gusti Moeng kepada iMNews.id.

Gusti Moeng yang dimintai konfirmasi iMNews.id melalui KPH Edy Wirabhumi menegaskan hal itu, kemarin. Dirinya selaku Ketua Umum DPP MAKN juga mengeluarkan statemen menanggapi video viral itu, karena para raja/sultan/pelingsir adat anggota MAKN mempertanyakan, kok ada yang mengatasnamakan Kraton Surakarta berekspresi seperti itu? Karena, mereka itu pendiri NKRI.
Sementara, Gusti Moeng yang ditanya soal sebutan Pangeran Adipati Hamangkunagoro dalam narasi video yang viral itu menegaskan, sebutan dan gelar itu tidak berlaku bagi otoritas kelembagaan Kraton Mataram Surakarta di bawah Lembaga Dewan Adat. Karena, kraton kini hanya memiliki putra tertua yaitu KGPH Hangabehi, yang kelak bisa resmi menjadi putra mahkota. (Won Poerwono – bersambung/i1).