Seorang Sinuhun “Wajib” Shalat di Masjid Agung, Pada Puncak Sekaten Garebeg Mulud
IMNEWS.ID – AKHIR dari mencermati perjalanan masyarakat adat Dinasti Mataram selama lebih lima tahun (April 2017-Desember 2022), baik kelompok Sinuhun Suryo Partono dan pengikutnya yang “mengurung diri” di dalam kraton maupun kelompok besar jajaran “Bebadan Kabinet 2004” yang berjuang di luar kraton mengikuti Gusti Moeng, tampak ada celah-celah yang bisa menjadi arah solusinya. Karena Kraton Mataram Surakarta tidak bisa dibiarkan “lumpuh” sosok pimpinannya akibat “cacat permanen”, sementara gerak maju “Bebadan Kabinet 2004” tidak bisa menghasilkan produk legitimatif yang lengkap dan sempurna, bila tanpa sosok pemimpin yang kuat pula.
Dalam kajian peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja, Dr Purwadi yang juga sebagai ketuanya, mencermati situasi dna kondisi kraton selama “menutup diri” maupun setelah itu hingga kini, ada beberapa contoh kondisi dalam perjalanan sejarah Mataram yang bisa dijadikan pedoman untuk melakukan terapi sebagai solusinya. Karena, situasi dan kondisi kraton yang ditutup selama 5 tahun lebih itu menjadikannya tidak produktif, pasif dan berpotensi pada kehancurannya walaupun masih ada sosok Sinuhun yang menempati porsi kepemimpinannya.
Meski berbeda versi penyebabnya, tetapi suasana kekosongan produk kepemimpinan di kraton sama antara yang terjadi sejak April 2017 hingga kini ketika dibanding dengan saat “Sang Pahlawan Nasional”, Sinuhun PB VI ditangkap Belanda dan dibuang ke Menado, Sulsel, mulai tahun 1830 hingga wafat di tahun 1849. Saat Sinuhun PB VI diasingkan, “Pepatih-dalem” mengangkat adik Sinuhun PB VI yang bernama RGM Malikis Solikin untuk jumeneng nata sebagai Sinuhun PB VII mulai tahun 1830. Karena putra-dalem masih dalam kandungan garwa-dalem RAy Sakaptinah, sepeninggal Sinuhun PB VII di tahun 1858 masih digantikan salah seorang adik lainnya yang bernama GRM Koesen yang jumeneng sebagai PB VIII.
“Jadi, ada kesamaan unsur kekosongan produk kebijakan karena jalannya pemerintahan tidak efektif atau tidak produktif. Sekarang ini, walau Sinuhun masih ada, tetapi tidak ada produk kebijakan. Kalaupun ada, itu bisa fiksi. Dan dari vedo-video yang beredar itu sudah sangat jelas, Sinuhun mengalami masalah kesehatan serius, seperti keputusan pengadilan yang banyak diberitakan kalangan media antara tahun 2016-2016. Padahal, kraton seharusnya melipatgandakan tenaga dan pikiran untuk mengejar ketinggalan,” jelas Dr Purwadi yang dihubungi iMNews.id, tadi pagi.
Di tempat terpisah, KPP Wijoyo Adiningrat sebagai seorang sesepuh di Kraton Mataram Surakarta (Wakil Pengageng Mandra Budaya), ketika ditemui saat menunggui ritual “ngisis wayang” Anggara Kasih (31/10), membenarkan beberapa peristiwa yang bisa dijadikan pedoman untuk mengambil keputusan. Menurutnya, dalam situasi kritis keputusan bisa diambil demi kebaikan dan untuk menyelamatkan semuanya, misalnya proses alih kepemimpinan Sultan HB VII ke HB VIII di Kraton Jogja dan suksesi KGPAA Mangkunagoro VI ke MN VII di Kadipaten Mangkunegaran yang bisa dijadikan sebagai contoh dan pedoman.
Dengan mempedomani ketiga peristiwa itu, keputusan untuk menetapkan seorang pelaksana tugas (Plt) Sinuhun tidak menyalahi aturan atau melanggar paugeran adat. Pergantian tokoh pemimpin di Kraton Jogja (HB VII), Kadipaten Mangkunegaran (MN VI) dan Kraton Mataram Surakarta saat Sinuhun PB VI dibuang ke Menado (Sulsel), sebelum masing-masing tokoh pimpinan wafat, harus dipandang semata-mata agar tidak terjadi kekosongan kepemimpinan, atau demi efektivitas dan produktivitas kelembagaan masyarakat adat itu sendiri.
“Menurut pribadi saya, tidak apa-apa. Karena tidak melanggar paugeran adat. Karena, kalau dibiarkan seperti ini dalam waktu yang lama, malah terkesan menyandera orang-orang di dalam yang ingin bekerja keras mengejar ketinggalan. Apalagi, di Kraton Mataram Surakarta saat ini sedang mengalami krisis kepemimpinan dan krisis figur pemimpin. Banyak pos departemen yang ada nyaris kehabisan abdi-dalem yang bertugas. Juga sejumlah departemen yang belum terisi Pengagengnya. Karena banyak yang sudah meninggal, tetapi belum sempat dilakukan kaderisasi atau regenerasi, selama lebih lima tahun kraton ditutup,” tunjuk KPP Wijoyo.
Dalam pandangan KPP Wijoyo, kondisi luar biasa dan “darurat adat” terjadi di kraton, karena orang-orang di lingkungan Sinuhun Suryo Partono tidak paham paugeran adat, sehingga mudah “mengklaim” bahwa tata-nilai paugeran adat yang berlaku saat ini adalah aturan Sinuhun Suryo Partono sebagai pemilik “hak prerogatif”. Menurutnya, hak prerogatif yang ada di wilayah pribadi memang dibolehkan, tetapi terhadap hal-hal baku yang masuk wilayah tata-nilai paugeran adat atau wilayah “kagunan-dalem” (kelembagaan-Red) tidak boleh dilanggar sedikitpun, misalnya pengangkatan orang-orang yang sama sekali tidak punya “nazab” menjadi seolah-olah memiliki trah darah-dalem, misalnya “Gusti Kangjeng Ratu”.
Sorotan tajam juga datang dari KRT Ahmad Faruq Reksobudoyo, seorang abdi-dalem “Kanca-Kaji” asal Kabupaten Ponorogo (Jatim) yang selama ini sangat aktif mendukung langkah GKR Wandansari Koes Moertiyah dalam upaya menegakkan paugeran adat untuk mengembalikan kewibawaan, harkat dan martabat kraton. Dosen di IAIN Ponorogo ini sangat menyayangkan peran ketokohan Sinuhun Suryo Partono yang sama sekali tidak mencerminkan seorang pemimpin agama atau gelar “khalifatullah” yang seharusnya dijunjung tinggi, mengingat Mataram Surakarta adalah penerus Mataram Islam.
Insiden yang memperlihatkan Sinuhun dan “rombongan” ingin menutup kembali Kori Kamandungan dan semua akses keluar-masuk kraton dengan alasan untuk keperluan ritual, menjadi pertanda bahwa raja simbol pemimpin yang sudah kehilangan gelar “Khalifatullah”. Para pendahulunya selalu memanfaatkan Masjid Pudyasana yang di dilengkapi fasilitas tempat “palereman” khusus untuk ritual raja, yang dilengkapi pula abdi-dalem “Kanca-Kaji” untuk menemani “ngaji” dan kegiatan ibadah. Selain itu, raja wajib hadir di Masjid Agung saat Garebeg Mulud, untuk shalat di hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, bukan untuk urusan “ndawuhaken” nabuh gamelan Sekaten. (Won Poerwono-habis-bersambung).