”Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah (Jasmerah)”
TERBENTUKNYA pengurus Paguyuban Kulawarga Keraton Surakarta (Pakasa) cabang (Kabupaten) Banjarnegara (SMNusantara.Com, 13/12), memiliki makna sangat luas bagi warga peradaban Mataram sekaligus peradaban Jawa. Pelantikan pengurus Pakasa Cabang yang diketuai KRAT Eko Budiarto Tirto Rumekso itu, seakan membuka kembali buku sejarah eksistensi Kabupaten Banjarnegara, dengan Keraton Pajang yang diteruskan Mataram, Kartasura dan kini Surakarta.
Ikatan emosional maupun ikatan kultural sebagai sesama warga peradaban Jawa, memang sulit dihilangkan, walau zaman sudah jauh berubah dan perjalanan sejarah peradaban sudah sangat jauh. Perjalanan waktu sudah menembus 500-an tahun dari masa Keraton Pajang (1550-1587) yang dipimpin Sultan Hadiwijaya (1550-1582), ketika Kabupaten Banjarnegara baru terbentuk dan KRT Wirayuda diangkat menjadi Bupatinya (1569-1594), dan ketika Banjarnegara masih bernama Patambakan (Dr Purwadi MHum – Ketua Lokantara).
”Jangan sekali-kali melupakan sejarah” yang sudah dikenal luas dengan singkatan ”Jas Merah”, adalah pesan sekaligus peringatan ”keras” yang menjadi bagian pidato penting Sang Proklamator, Bung Karno, ketika awal-awal memimpin NKRI setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Antara masalah Kabupaten Banjarnegara dan kata ”Jas Merah”, seakan tidak ada hubungannya antara kalimat ini dengan sebelumnya. Namun, ketika GKR Wandansari Koes Moertiyah berbicara di depan Ketua DPRD Banjarnegara, Ismawan, dalam sebuah acara audiensi di gedung dewan, beberapa waktu lalu (SMNusantara.Com, 13/12), kedua hal esensial dalam kedua kalimat itu menjadi tersambung dan terbangun logikanya.
”Pesan Bung Karno, Proklamator kita itu, jangan sekali-kali kita melupakan sejarah. Saya yakin, yang dimaksud adalah sejarah keberadaan keraton-keraton di Nusantara. Termasuk keraton Mataram yang sekarang masih dilestarikan Surakarta Hadiningrat, yang sudah ada sebelum NKRI lahir. Karena, keraton-keraton di Nusantara itulah yang telah melahirkan NKRI ini,”tegas GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA).
Baca Juga:
- Jateng di Rumah Saja Turunkan Aktivitas Pasar Tradisional
- Mbolo Kini Lebih Gampang Dicari di Warung Istrinya
- Imunitas UMKM Menuju Indonesia Bangkit
Tidak Boleh Dilupakan
Pernyataan Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) yang akrab disapa Gusti Moeng, yang disaksikan pula kalangan pengurus Pakasa Cabang Banjarnegara dan rombongan LDA Keraton Mataram Surakarta di forum itu, juga diulang saat menjawab pertanyaan smnusantara.com, beberapa saat sesudah peristiwa audiensi itu. Sekjen FKIKN itu kembali menegaskan, bahwa NKRI lahir dari keraton-keraton di Nusanatara, itufakta sejarah yang tidak boleh dilupakan oleh siapapun, kapanpun.
Dengan mengingatkan kembali makna kata ”Jas Merah”, Gusti Moeng ingin menunjukkan bahwa simbol warna ”gula-klapa” (merah-putih) yang menjadi ciri warna umbul-umbul di zaman Kerajaan Majapahit (abad 13-14) itu, tetap dilestarikan terus walau kemudian berganti ke era Keraton Demak (abad 14), Pajang (15), Mataram (15-16), Mataram Kartasura (17) dan terakhir Mataram Surakarta Hadiningrat yang masih eksis hingga kini.
Warna merah-putih itu, kemudian bahkan diabadikan sebagai warna simbol NKRI yaitu bendera kebesaran dan kebangsaan yang sering disebut ”Sang Merah Putih” atau ”Sang Dwi Warna” atau ”Sang Saka”. Tidak hanya itu, Gusti Moeng menyebut bahwa simbol padi dan kapas yang terdapat dalam dada lambang Garuda Pancasila, sebelumnya adalah salah satu simbol yang ada pada lambang Keraton Mataram Surakarta yang khas disebut ”Sri Radya Laksana”.
”Jadi, di sinilah antara lain, letak hubungan sejarah antara keraton (Mataram Surakarta) dengan NKRI. Ya intinya, apa yang dimiliki keraton dan dianggap- bermanfaat bagi NKRI, ya disumbangkan begitu saja. Bahkan banyak sekali macam ragamnya. Bukan hanya itu (simbol-simbol),” tambah Gusti Moeng yang juga Pengageng Sasana Wilapa Keraton Mataram Surakarta Hadiningrat itu.
Lebih Wajar Berpakaian
Dalam diskusi pada kesempatan audiensi itu, Gusti Moeng menyampaikan keterangan tambahan bahwa simbol padi yang mewakili pangan dan kapas yang mewakili sandang, dalam lambang Sri Radya Laksana urutannya lebih dahulu kapas baru kemudian padi.Sebab, dalam filosofi budaya Jawa (Mataram), hakikatnya manusia yang berbudaya adalah mendahulukan aspek-aspek kepantasan, kewajaran atau sopan-santun dari pada urusan perut.
Kalau manusia lebih mementingkan padi yang artinya urusan perut (pangan) dari pada kapas (sandang), seakan menyalahi kodrat manusia apalagi yang berbudaya. Karena, hewan tak pernah memikirkan sandang (pakaian) asal perutnya kenyang atau mendapatkan pangan/makan.
”La kalau kita manusia yang berbudaya Jawa ini juga mementingkan pangan, terus apa bedanya dengan hewan?. Dulu eyang-eyang selalu berpesan, ibarate nganti keluwen/kaliren ora dadi ngapa, ning isih nganggo sandangan genep. Karena filosofinya, manusia yang berbudaya adalah sewajarnya mengenakan sandangan (pakaian) lengkap”.
”Sandangan tidak harus bagus, apalagi berkelas. Meskipun untuk urusan makan sedang kekurangan. Tetapi kemudian, oleh para pendiri negara lambang itu dibalik menjadi padi dan kapas, ya enggak masalah. Yang penting ‘kan esensinya, negara wajib menyediakan urusan pangan dan sandang itu,” jelas penerima penghargaan The Fukuoka Culture Prize Award tahun 2012 di Jepang itu, menjawab pertanyaan smnusantara.com, belum lama ini. (Won Poerwono-bersambung)