Wayang Gedhog Kiai Jayeng Katong, Baru Separo Selesai Dibuat Ditinggal Wafat? (seri 5 -bersambung)

  • Post author:
  • Post published:March 6, 2023
  • Post category:Budaya
  • Reading time:5 mins read
You are currently viewing Wayang Gedhog Kiai Jayeng Katong, Baru Separo Selesai Dibuat Ditinggal Wafat? (seri 5 -bersambung)
BISA MENGINSPIRASI : Ritual "Ngesis Wayang" weton Anggara Kasih yang dilakukan kraton terhadap sekotak wayang Gedhog Kiai Dewa Katong, belum lama ini, bisa menginspirasi khalayak luas khususnya insan dalang, karena profesi dalang punya tugas dan tanggungjawab mengedukasi bangsa tentang berkehidupan yang ideal. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Semangat Nasionalisme Terpancar Kuat dari Ide Penciptaan Wayang Gedhog

IMNEWS.ID – RITUAL “Ngesis Wayang” yang rutin dilakukan Kraton Mataram Surakarta, tak hanya memberikan informasi tentang fakta bahwa bagian dari seni pertunjukan (art performance) pedalangan atau pakeliran wayang itu bisa berdiri sendiri sebagai sebuah event yang banyak manfaatnya bagi publik secara luas. Yang dalam wujud karya kriya tatah sungging, seperti sayap yang panjang dan lebar, kaya sekali informasi tentang bagian-bagiannya yang manfaatnya tetap relevan dengan zaman kini serta mendatang, bahkan sangat panjang ke depan.

Mengupas soal karya kriya wayang Gedhog pusaka Kraton Mataram Surakarta, bisa sangat jauh dari ritual “Ngesis Wayang” dan dari posisinya sebagai komponen penting seni pertunjukan pedalangan wayang “Madya” atau “Gedhog”. Sebab ternyata ketika dianalisis, karya seni kriya tatah sungging yang dilengkapi dengan elemen jalan ceritanya yang ditulis Pujangga Jawa Mataram Surakarta, RNg Ranggawarsita berjudul Serat Pustaka Raja Madya, memberi makna filosofis dan simbol “semangat kemandirian” local genius bila berlebihan dikatakan semangat “nasionalisme”.

TIDAK KOMERSIAL : Apa yang sudah “diproduksi” budaya/peradaban Jawa melalui Kraton Mataram Surakarta selama ini, sebenarnya bukan untuk dikuasai lalu dijadikan aktivitas yang komersial. Karya wayang Gedhog yang diesis dalam ritual Anggara Kasih, bahkan mengajarkan semangat “kemandiran”, “berdikari” dan “nasionalisme”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sebab, wujud fisik karya seni kriya wayang Gedhog jelas dihasilkan oleh Empu-empu tatah sungging wayang berkualitas dan berkelas di masanya, bahkan mungkin belum tertandingi hingga kini. Ide cerita yang meletarbelakangi wayang Gedhog sebagai seni pertunjukan, jelas asli dari “negeri sendiri”, karena diangkat dari suasana kehidupan sejarah Kraton Kediri (abad 12). Sedangkan struktur ceritanya, ditulis oleh Pujangga Besar Mataram Surakarta, RNg Ranggawarsita yang judulnya Serat Pustaka Raja Madya, yang kemudian melahirkan struktur karawitan iringannya meski masih menggunakan gamelan Pelog.

Melihat kekayaan kandungan data informasi yang menginspirasi lahirnya semangat “nasionalisme” atau “berdikari” atau “kemandirian” dalam ide dasar menciptakan karya itu, seharusnya persoalan ini yang lebih menjadi pertimbangan dan alasan khususnya bagi insan profesi dalang untuk belajar menekuni khasanah wayang Gedhog. Karena di pundaknya, tersampir tugas dan tanggungjawab untuk mengedukasi warga peradaban dan warga bangsa, untuk meneladani semangat yang ada di dalam karya wayang Gedhog, karena semangat “nasionalisme” akan tetap dibutuhkan sepanjang masa sebagai modal ketahanan budaya nasional.

MASIH PEDULI : Semasa hidup Ki Manteb Soedarsono sebagai dalang terkenal yang sukses secara materi dari profesinya, tetapi masih peduli dengan kraton karena mengaku sumber pengatahuan yang menjadi profesinya berasal dari kraton. Meskipun, nilai job sekali pentas di Kalimanatan di tahun 2019, sudah mencapai Rp 400-an juta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sejumlah alasan yang begitu berat sebagai syarat menjadi dalang wayang Gedhog seperti  yang disebut abdidalem kandidat doktor bidang “Kajian Budaya”, Rudy Wiratama (iMNews.id, 5/3/2023), memang bisa dimaklumi ketika para insan dalang profesional dihadapkan pada pilihan bahwa kemampuan teknisnya di bidang seni pedalangan adalah profesi, pekerjaan atau sebagai sumber nafkahnya. Terlebih, ketia profesi sebagai seniman pedalangan kemudian berhitung “untung dan rugi”, karena harus menanggung nasib sejumlah anggotanya, keluarganya, ongkos transpor, sewa perlengkapan, angsuran kredit barang kebutuhan produksi dan rumah-tangga dan sebagainya.

Artinya, setiap insan dalang pasti menjatuhkan pilihan pada ketrampilan mendalang jenis wayang yang mudah dipelajari, baik secara otodidak atau belajar di jurusan pedalangan SMKN 9 (dulu SMKI-Red) dan ISI (di Solo dan Jogja), karena berbagai pertimbangan antara lain persyaratannya ringan, mudah dan dalam waktu yang relatif cepat. Pilihan itu adalah penguasaan wayang yang bersumber dari epos Ramayana dan Maha Bharata, yang sudah diadaptasi para Empu dan Pujangga Jawa, misalnya yang tertulis dalam Serat Pustaka Raja Purwa dan sebagainya.

SEMANGAT BERBAGI : Dalam berbagai kegiatan tradisi adatnya, Kraton Mataram Surakarta tetap memancarkan simbol-simbol semangat berbagi atau memberi dengan “cuma-cuma” kepada siapa saja, misalnya seperti pentas art performance pakeliran konvensional yang disuguhkan Ki KGPH Puger sebagai dalangnya, beberapa waktu lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Wayang purwa dengan lakon-lakon dari epos Ramayana dan Mahabharata lebih populer dibanding wayang Gedhog. Masyarakat pecinta wayang sudah terlanjur mengenal lakon-lakon dari India yang diadaptasi para Empu-empu kita. Para dalang profesionalpun, juga lebih suka memilih menjadi dalang wayang purwa yang diakui lebih mudah persyaratannya dibanding dalang wayang Gedhog. Maka tidak aneh, dalam setiap generasi dalang yang sedang eksis, sejak dulu nama-nama yang terkenal didominasi dalang wayang purwa. Dalang wayang Gedhog sangat langka. Jumlahnya hanya sedikit,” tutur Rudy Wiratama, peneliti sejarah wayang, yang dihubungi iMNews.id, kemarin.

Ketrampilan mendalang sebagai profesi, sebenarnya merupakan konsekuensi ketika seni pertunjukan wayang masuk ke dalam industri budaya yang di dalamnya harus meletakkan nilai komersial. Tetapi perlu diingat, para Empu dan Pujangga Besar Jawa menciptakan seni pertunjukan pedalangan yang begitu lengkap hingga mencapai puncaknya, bukan untuk dikuasai sebagai profesi yang komersial, apalagi untuk “memperkaya diri”. Semua yang belajar epos Ramayana dan Maha Bharata, apalagi wayang Gedhog, sama-sama punya tugas suci untuk menjadi sosok peduli edukasi anak negeri yang selalu mengabarkan dan “mengobarkan” semangat berdikari, mandiri dan punya “nasionalisme” tinggi serta nilai-nilai lain yang bermanfaat untuk anak negeri. (Won Poerwono-bersambung/i1)