Kalau Tak Ada Kraton Mataram Surakarta, (Mungkin) Tak Akan Ada NKRI (seri 1 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:March 12, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:10 mins read
You are currently viewing Kalau Tak Ada Kraton Mataram Surakarta, (Mungkin) Tak Akan Ada NKRI (seri 1 – bersambung)
TERUS DIINGATKAN : Selama NKRI belum mewujudkan "rasa keadilan" bagi Kraton Mataram Surakarta, ekspresi yang bertujuan "terus mengingatkan" kepada berbagai pihak khalayak luas seperti ini, akan terus dilakukan masyarakat adat Mataram Surakarta yang dipimpin Gusti Moeng. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kalau Tak Ada Gusti Moeng, Mataram Surakarta Sudah “Selesai”

IMNEWS.ID – EDISI tulisan ini memang masih ada hubungannya dengan lima seri tulisan bertema “Nyesel Bergabung Republik”, tetapi bukan sebagai seri kelanjutan. Tulisan berjudul “Kalau Tak Ada Kraton Mataram Surakarta, (Mungkin Tak Akan Ada NKRI”, hanya sebagai pendalaman atas variabel menonjol dan fenomenal yang muncul di lima seri tulisan itu.

Varibael yang menonjol dan fenomenal itu adalah Kraton Mataram Surakarta, NKRI dan Gusti Moeng. Bahkan tak hanya menonjo, tiga variabel itu sangat penting, pokok, punya relasi baik seperti mata-rantai maupun sisi kausalitas. Bahkan, hubungan antara ketiga variabel itu bisa menjadi sebuah pantun bernada “lucu”, mirip pemeo yang sifat keseluruhannya konklusif.

Tiga variabel dalam pantun pemeo konklusif itu, adalah terangkai dari berbagai kesempatan pidato sambutan GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Pangarsa Lembaga Dewan Adat (LDA). Varibel yang muncul dari ratusan kali pidato sambutan eks anggota DPR RI dua perode terpisah itu, terjadi dalam waktu lebih 10 tahun sejak 2004.    
Selain terekspresi dalam pidato sambutan dan juga ketika menjadi narasumber sebagai pembicara di berbagai forum diskusi itu, dua di antara tiga variabel penting itu juga telah tercatat menjadi dokumen sejarah. Variabel Kraton Mataram Surakarta dan variabel NKRI, adalah dua elemen yang saling bersentuhan dalam kausalitas proses riil perjalanan peradaban.

“YANG DIAKALI” : Sinuhun PB XII dan Kraton Mataram Surakarta adalah “Raja” dan “negara” monarki terbesar terakhir di Nusantara yang paling besar menderita kerugian, akibat “diakali” dalam pada saat momentum peralihan di awal kelahiran NKRI dan setelah itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Antara Kraton Mataram Surakarta dan NKRI pernah berada dalam posisi hubungan sebagai variabel kausalitas, sedangkan Gusti Moeng bisa menjadi variabel independen murni terhadap NKRI, tetapi punya hubungan kausalitas dengan Mataram Surakarta. Dalam posisi hubungan itulah, pemeo konklusif itu sering terdengar di beberapa kesempatan dan di berbagai tempat.  

“Kalau Tidak Ada Kraton Mataram Surakarta, Maka (Mungkin) Tidak Akan Ada NKRI”. Pemeo konklusif ini sangat serius, karena berdasar fakta dan data sejarah perjalanan kraton dan riwayat lahirnya NKRI serta proses perintisannya. Karena, faktanya Kraton Mataram Surakarta adalah “negara” (monarki) terbesar terakhir di Nusantara, yang berkait dengan lahirnya NKRI.

Data dan fakta sejarah riwayat lahirnya NKRI itu, terhimpun dalam kurun waktu selama Sinuhun PB X (1893-1939), PB XI (1939-1945) dan PB XII (1945-2004). Dalam posisi itulah, keberadaan “negara” Mataram Surakarta berkait langsung dengan proses kelahiran NKRI. Banyak faktor keniscayaan daya dukung realitas itu, sehingga antara keduanya menjadi kausalitas.

Keniscayaan dan realitas keberadaan Kraton Mataram Surakarta daya dukung lain yang “menyebabkan” lahirnya sebuah wadah bagi bangsa di Nusantara yang disebut NKRI, sudah tidak bisa diragukan lagi, “undebatable”. Faktor kedekatan Surakarta sebagai Ibu Kota “negara” Mataram Surakarta dan pusat pergerakan merintis kemerdekaan di Batavia, juga “undebatable”.

“PROTES, BERJUANG” : Saat runtuhnya rezim Orde Baru, Mei 1998, Gusti Moeng bergabung para aktivis ikut demo memperjuangkan NKRI untuk mengakhiri rezim yang penuh KKN itu. Tetapi, perjuangan dan “protes” harus terus dilakukandan selama “rasa keadilan” belum diberikan kepada Kraton Mataram Surakarta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kebetulan “alias” keniscayaan yang menunjuk bahwa antara kedua lokasi di atas berada dalam satu wilayah, yaitu Pulau Jawa. Bahkan, bila ditarik ke zaman awal “negara” Mataram yang didirikan Sinuhun Panembahan Senapati (1588-1601), wilayah Batavia (kini Jakarta-Red), pernah menjadi wilayah kekuasaan Mataram yang dibuktikan adanya “Gedung Hanyakrawati”.

“Gedung Hanyakrawati yang dibangun dengan biaya Sinuhun Prabu Hanyakrawati dan arsiteknya dari Belanda itu, sampai Indonesia sampai saat Indonesia merdeka masih ada. Tetapi setelah itu, sudah tampil menjadi Istana negara (Merdeka-Red). Sebelumnya, gedung itu disewa para saudagar Belanda dan dari bangsa lain, sebagai pusat perdagangan,” ujar Dr Purwadi.

Dr Purwadi adalah peneliti sejarah yang punya banyak karya penulisan kajian khusus tentang Mataram, terlebih di Mataram Surakarta. Ada lebih 100 judul buku dan ratusan judul di “blog” pribadinya. Salah satu karyanya, adalah tentang peran dan karya Raja kedua Mataram Islam, Sinuhun Prabu Hanyakrawati (1601-1613) membangun “Gedung Hanyakrawati” di Batavia.

Ketua Lokantara Pusat di Jogja itu menyatakan, semestinya NKRI menghitung nilai sewa dan gati rugi tanah dan bangunan “Gedung Hanyakrawati” setelah beralih fungsi menjadi Istana Negara “milik” NKRI. Atas data dan fakta sejarah itulah, maka “sebagian” pemeo “Kalau tidak ada Kraton Mataram (Surakarta), (mungkin) tidak akan ada NKRI” mendapat ujung kebenarannya.

KELUARGA BESAR TNI : Sinuhun PB XII pernah berdinas aktif di TNI di Bandung tahun 1970-an, hingga mencapai pangkat tertinggi, Letnan Jendral (Letjen). Gusti Moeng bergabung dalam organisasi Pemuda Panca Marga yang menjadi keluarga besar TNI, adalah bagian dari perjuangannya menuntut “rasa keadilan” itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Setelah zaman Sunuhun Prabu Hanyakrawati hingga zaman Mataram Surakarta, 1745 hingga 1945, bukan berarti rentang waktu panjang sekali kosong atau tidak ada kekaryaan yang bermanfaat bagi peradaban ke NKRI. Tetapi, selama 300-an tahun sejak 1613 hingga 1945, banyak karya besar lahir, baik yang bersifat fisik (bangunan) maupun nonfisik (knowledge and culture).

Yang berkait dengan “culture” yaitu Budaya Jawa, adalah yang membentuk sifat dasar manusianya dan yang menjadi landasan bangunan mental spiritual Bangsa Jawa” khususnya. Bahkan telah dijadikan pedoman dalam membangun mental dan karakter bangsa, seperti pedoman nilai-nilai yang menjadi spirit kejuangan di kalangan keluarga besar TNI selama ini.

KAPASITAS PENUH : Gusti Moeng adalah satu-satunya putri-dalem Sinuhun PB XII dan wanita Mataram Surakarta yang memiliki kapasitas kemampuan penuh di berbagai bidang, terutama soal Budaya Jawa dan kraton. Kapasitas itulah yang menjadi modal perjuangannya untuk menuntut “rasa keadilan” bagi kraton. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Zaman Sinuhun PB X, PB XI dan PB XII, adalah periode zaman merintis persiapan lahirnya sebuah wadah bagi sebuah bangsa di Nusantara, yang kemudian disebut NKRI. Karena faktor kedekatan antara Surakarta dan Batavia itulah, proses “alih kekuasaan” dan “alih knowlegde dan culture” menjadi sebuah keniscayaan yang dialami Kraton Mataram Surakarta ke NKRI.

Tetapi, dalam proses transisi sampai lepas dari periode itu, NKRI terkesan “lupa” atas “jasa-jasa dan modal” (knowlegde, barang dan uang) yang diterima dari Mataram Surakarta. Dalam realitas seperti itulah, Gusti Moeng tampil, “protes” dan “memperjuangkan rasa keadilan”. Ini menjadi ujung pemeo, “Kalau tak ada Gusti Moeng, Kraton Mataram Surakarta selesai”. (Won Poerwono – bersambung/i1)