Dalam Perjalanan Kehidupan Orang Jawa Selalu Tersisa Ruang Kritik
IMNEWS.ID – “RUANG kritik” juga menjadi kata kunci berikut yang terselip dalam uraian ceramah tausyiyah yang diberikan Kyai Ahmad Muwafiq, selain kata “perkawinan” dan istilah “memelihara konflik” serta beberapa kata kunci yang sudah dijelaskan pada edisi sebelumnya (iMNews.id, 31/8/2023). Ketiga kata kunci ini seolah-olah berkaitan satu sama lain, baik dari yang dipaparkan dalam ceramah Kyai Ahmad Muwafiq maupun dari bentangan data sejarah perjalanan raja dan kraton di Jawa, terutama sejak akhir Kraton Majapahit hingga Mataram berakhir di Surakarta.
Ketiga kata kunci itu seolah kait-mengait dalam berbagai persoalan yang muncul dari waktu ke waktu, dari rezim pemerintahan ke rezim berikutnya dan dari zaman ke zaman. Kalau dipahami dari paparan Kyai Ahmad Muwafiq dan kelengkapan-kelengkapan data sejarah dari berbagai sumber yang ada, berbagai persoalan yang memperlihatkan titik masalah berupa tiga kata kunci itu, tidak berasal dari satu bidang atau sendi kehidupan warga peradaban saat itu. Tetapi merupakan perpaduan, pertemuan, pergulatan dan persinggungan antara berbagai bidang/sendi kehidupan kalau tidak boleh disebut “campur-aduk”.
Tetapi hal yang “campur-aduk” itu menjadi sebuah keniscayaan terjadi, karena perjalanan kehidupan peradaban memang harus melalui proses seperti itu. Campur-aduk antara bidang/sendi ekonomi, sosial kemasyarakatan, budaya termasuk teknologi sebagai “woh pangolahing budi lan rasa”, kepercayaan/keyakinan, politik, kekuasaan, nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai ketuhanan sebagai bagian dari tingginya peradaban serta interes politik dinasti. Tetapi, dalam suasana zaman seperti itu (sebelum peradaban Islam masuk di tanah Jawa) bukan berarti sama dengan zaman “jahiliyah”, seperti yang dikritisi Kyai Ahmad Muwafiq.
“Saya sampai tidak dhong (paham-Red), mengapa perselisihan antara Pajang dan Mataram yang begitu hebat sampai di puncaknya, kok bisa selesai begitu saja, seperti tidak pernah ada apa-apa. Saya sempat ragu-ragu dan tidak percaya, jangan-jangan yang disebut perselisihan tajam itu tidak ada?. Tetapi memang, hal-hal yang berbau konflik dan perselisihan antar keluarga, selalu menjadi cerita dan isu menarik di panggung ketoprak. Kesenian ketoprak kita suka sekali memelihara hal-hal demikian. Dan itu sangat disukai masyarakat pecinta ketoprak. Bahkan diyakini sebagai kebenaran,” tunjuk Gus Muwafiq.
Perselisihan antara Kraton Pajang yang memuncak pada saat dipimpin Sultan Prabuwijaya atau Pangeran Benawa I (anak Jaka Tingkir/Sultan Hadiwijaya) dengan Mataram pada saat dipimpin Panembahan Senapati (anak Ki Ageng Pemanahan), dalam berbagai kajian dan cerita terutama di panggung ketoprak, memang selalu menjadi menjadi tema menarik dan luar biasa animo peminatnya. Di era panggung seni pertunjukan tobong drama “live” ketoprak, era teknologi literasi komik dan teknologi informasi radio, heboh sekali dan selalu full book ketika mengangkat tema-tema perselisihan antara Pajang dan Mataram itu.
Tetapi anehnya, perselisihan itu begitu mudah dan seketika selesai ketika Raja Mataram ke-1 Sinuhun Penambehan Senapati menikahkan anaknya yang kelak menjadi Raja Mataram ke-2, yaitu Prabu Hadi Hanyakrawati dengan Ratu Banuwati atau Ratu Mas Hadi, putri Pangeran Benawa I dari Kraton Pajang. Perkawinan antara dua keluarga yang selalu ditempatkan pada dua pihak yang berseteru itu, telah melahirkan Raja Mataram ke-3 yang bergelar Sinuhun Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. Tak hanya sampai di situ, anak perempuan Sinuhun Prabu Hadi Hanyakrawati yang bernama Ratu Retna Jinoli dinikahkan dengan anak Sunan Kudus yang dikenal dengan nama Syekh Jangkung/Saridin.
“Dengan dua peristiwa perkawinan itu, yang tadinya hebih dan gegap-gempita itu lalu lenyap begitu saja. Aneh sekali ya? Saya sempat tidak habis pikir. Tidak percaya? Kok beda sekali dengan tema atau cerita yang selalu diangkat siaran ketoprak dari radio-radio, juga dari panggung-panggung tobong ketoprak?. Saya lalu berkesimpulan, berarti panggung-panggung ketoprak itu yang suka memelihara konflik keluarga (kraton-Red) dan membesar-besarkannya. Tetapi belakangan baru saya ketahui, bahwa letak dari selesainya semua itu ada pada peristiwa perkawinan Mataram-Pajang,” jelas Gus Muwafiq.
Bila dijelaskan lebih lanjut, sangat mungkin Gus Muwafiq akan menyebut peristiwa perkawinan putri Sinuhun Prabu Hadi Hanyakrawati yang bernama Ratu Retna Jinoli dengan anak Sunan Kudus yang dikenal dengan nama Syekh Jangkung/Saridin itu, karena jelas menggenapi dan menuntaskan segala macam ganjalan antar keluarga, baik karena atas dasar persaingan kekuasaan dan kelangsungan dinasti, maupun proses akulturasi yang terus berjalan waktu itu. Kraton Pajang (abad 15) memang menjadi catatan penting karena terkesan mengedepankan cara-cara yang akseleratif untuk mereduksi cara-cara masif dan agresif dalam proses akulturasi yang dilakukan Kraton Demak (abad 14).
Dan cara-cara akseleratif itu adalah peristiwa “perkawinan”, karena keduanya didapat, baik perjodohan, keluarga, keturunan, kekuasaan maupun misi akulturasi itu sendiri. Kata kunci berikutnya adalah “memelihara konflik” yang justru bisa lahir dari celah-celah peristiwa perkawinan, selain pengaruh dari luar. Artinya, peristiwa perkawinan ternyata belum bisa menyelesaikan konflik sampai “0” persen, karena pasti ada benih-benih yang bisa tumbuh di celah-celahnya. Dan Gus Muwafiq menyebut hal itu dengan istilah, dalam kehidupan peradaban Jawa atau wong Jawa, memang sengaja menyisakan ruang kritik.
Dasar logika “wong” Jawa apalagi para pemimpinnya, memang begitu dan ada benarnya. Karena, dengan peradaban yang begitu tinggi dan nyaris tanpa celah atau cacat, manusia Jawa tetap membiarkan titik kelemahannya ikut menyertai dalam kehidupannya. Titik lemah yang menjadi celah itu, menjadi ruang yang disediakan untuk selalu dikritisi dan dinilai orang lain, agar dirinya selalu ada yang mengingatkan dan tidak lupa diri yang bisa menjadi arogan dan sewenang-wenang. Dengan dikritik, orang Jawa justru semakin matang, berhati-hati dan semakin bijaksana. (Won Poerwono-bersambung/i1)