
KP Budayaningrat : “Saya dulu juga dari pangkat Mantri dan Penewu. Pakasa-pun juga bisa begitu”.
IMNEWS.ID – MASA transisi dari Sinuhun PB X (1893-1939) ke penggantinya, Sinuhun PB XI (1939-1945) kemudian saat digantikan Sinuhun PB XII (1945-2004), sangat disayangkan KP Budayaningrat karena “miskin” catatan dokumentasi. Padahal, dokumentasi resmi semua yang terjadi di Kraton Mataram Surakarta itu, penting sekali untuk pedoman masa kini dan seterusnya.
Menurutnya, kalau sampai sebelum Sinuhun PB X ada periodisasi segala bentuk aturan dalam paugeran adat, misalnya tentang busana dan perlengkapannya yang didukung catatan dokumen lengkap, seharusnya juga ada pencatatan pada masa berikutnya. Yaitu masa-masa saat jumeneng apalagi transisi, misalnya dari Sinuhun PB X ke PB XI, dan dari PB XI ke PB XII.
Dwija Sanggar Pasinaon Pambiwara itu menyebut, catatan-catatan dokumentasi kegiatan/karya akan menjadi bagian sejarah penting bagi kraton. Terutama pada masa-masa perubahan besar yang terjadi menjelang alam republik datang. Karena sangat dimungkinkan, segala bentuk aturan adat di lingkungan internal kraton juga ikut berubah, misalnya soal busana adat.

“Dalam beberapa waktu ini, saya sedang mencari-cari dokumen berupa catatan-catatan itu. Saya yakin, berbagai hal yang menyangkut sistem aturan adat atau paugeran di internal kraton, pasti terpengaruh oleh situasi dan kondisinya setelah berada di alam republik. Tetapi, kok nyaris tidak ada dokumentasi masa transisi tiga Sinuhun itu,” ujar KP Budayaningrat.
Walaupun tidak menemukan catatan-catatan penting berkait perubahan sistem aturan adat, baik soal susunan dan jenjang gelar kepangkatan maupun busana adat yang wajib dikenakan dan sebagainya, walau sulit diidentifikasi perubahannya tetapi diduga masih utuh. Dugaan itu berdasar pada materi yang masih dipelajari di Sanggar Pasinaon Pambiwara mulai tahun1993 itu.
Selain paugeran yang masih berlaku dan materi yang dipelajari di Sanggar Pasinaon Pambiwara, KP Budayaningrat juga melakukan analisis atas pemberitaan di berbagai media massa yang sudah ada pada zaman Sinuhun PB X, XI dan XII. Selain soal posisi paugeran adat, analisisnya juga tertuju pada fenomena keberadaan abdi-dalem anon-anon yang semakin menguat.

“Karena, waktu Sinuhun PB XII paring dhawuh kepada KRMH Rio Yosodipuro untuk ‘golek kanca’, ada ilustrasi penjelasan tentang situasi di internal kraton setelah di alam kemerdekaan. Yaitu, banyak abdi-dalem dan sentana yang keluar dari kraton, bekerja pada pemerintah. Jadi, abdi-dalem yang menjalankan tugas-tugas adat semakin berkurang,” jelasnya.
Ketika dianalisis lebih jauh, ilustrasi yang diisyaratkan Sinuhun PB XII sewaktu meminta KRMH Rio Yosodipuro bersama Gusti Moeng mendirikan Sanggar Pasinaon Pambiwara sebelum 1993 itu, ada titik temu dengan pernyataan Gusti Moeng di berbagai kesempatan dalam dekade terakhir ini. Dia memberi sinyal, warga Pakasa-lah yang akan memperkuat kraton ke depan.
Tak hanya sampai pada posisi warga Pakasa sebagai “kawula” atau rakyat, Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA yang bernama lengkap GKR Wandansari Koes Moertiyah itu bahkan sudah menyebut, kelak Pakasa akan menjadi penerus yang menjalankan kerja-kerja adat di kraton. Karena, keluarga besar Raja, sentana dan abdi-dalem garap terus mengalami pengurangan jumlah.

Satu hal yang terselip dalam pernyataan KP Budayaningrat di atas, cukup menarik, terutama yang menyangkut kelangkaan dokumen catatan kegiatan/peristiwa/program perubahan sistem adat. Yaitu, di satu sisi dokumen “negara” itu langka, tetapi di sisi lain perkembangan media massa sejak PD I dan II seakan-akan telah menggantikan peran catatan penting di kraton.
Sebagai ilustrasi, “beralihnya” fungsi perkembangan media massa (koran, majalah dsb-Red) yang seakan-akan menggantikan pencacatan peristiwa/karya/perubahan sistem di kraton, mungkin hanya kebetulan saja. Dalam kondisi luar biasa (force majeur) akibat dinamika sosial, politik dan budaya yang muncul pasca-PD I dan II, banyak hal yang tak bisa dilakukan.
Selain itu, dalam dinamika sosial, politik dan budaya yang “ekstrem” terjadi pasca Kraton Mataram Surakarta bergabung ke NKRI, kompleks kantor Pemerintahan Administratif kraton di Kepatihan jadi sasaran “amuk massa” di tahun 1949. Kepatihan dirusak, dibakar dan “dijarah” isinya, padahal isinya data-data dokumen penting “negara”, termasuk berbagai catatan itu.

“Yang jelas, dari analisis yang saya lakukan pada sejumlah terbitan media massa, hampir semua paugeran adat masih berlaku di kraton dan diajarkan di sanggar pasinaon. Termasuk soal susunan dan jenjang gelar kepangkatan. Bahkan saya mengalami sendiri, karena purnawiyata Babaran VIII. Saya mendapat gelar Mas Ngabehi (MNg) bersama sejumlah teman”.
“Setelah itu, ketika bergabung dalam Pasipamarta dan aktif suwita di kraton, saya direkrut menjadi dwija di situ. Bekerja bersama dwija yang pernah mengajar saya, di antaranya KP Suryanjari Puspaningrat (alm). Dari gelar dan pangkat MNg, saya mendapat ‘inggah-inggahan’ pangkat sampai KRT, KRAT dan seterusnya sampai yang terakhir KP,” tunjuk KP Budayaningrat.
Atas dasar itu ditambah beberapa analisisnya pada berbagai peristiwa itu, KP Budayaningrat berkesimpulan bahwa gelar kepangkatan “anon-anon” adalah fenomena yang benar-benar berubah menjadi keniscayaan. Gelar kehormatan bagi abdi-dalem dan sentana “anon-anon” yang semula “terlarang”, tetapi bisa terjadi karena zaman berubah, dan semakin menjadi kebutuhan. (Won Poerwono – bersambung/i1)