Setelah Sinuhun PB XII Wafat, Ada ”Wiradat” Apa?
IMNEWES.ID – KALAU ”wiradat” bisa diartikan sebagai upaya melakukan sesuatu demi tujuan-tujuan ideal dan maknanya bisa bersifat pisik selain nonpisik, maka sesungguhnya Sinuhun Paku Buwono (PB) XII telah melakukannya pula secara maksimal (iMNews.id, 20/7). Bahkan, wiradat yang dilakukan Sinuhun ”Hamardika” ini dilakukan dalam waktu yang sangat panjang selama usia jumenengnya, yaitu sejak 1945 hingga tutup usia pada tahun 2004.
Wiradat yang bisa dilihat secara visual itu, adalah pembangunan kembali ”gedhong” Sasana Handrawina dan sejumlah bangunan yang menjadi korban musibah kebakaran di tahun 1985. Kalau periode 1945 hingga 1985 dua rezim pemerintahan (Orde Lama dan Orde Baru) sedang sibuk-sibuknya menata dan memperkuat ketahanan nasional NKRI, dengan adanya musibah kebakaran itu telah menjadikan periode 1985-2004 sebagai periode hasil wiradat Sinuhun PB XII.
Hasil wiradat Sinuhun PB XII pada periode 1985-2004 memang sangat mencolok dari sisi jumlahnya yang banyak, sehingga secara visual dapat dilihat publik secara luas, karena sebagian besar warga peradaban lebih suka melihat citra visualnya untuk memudahkan mengidentifikasi sebuah perbuatan nyata. Selama periode itu, hampir 70 persen bangunan yang berada di kawasan Keraton Mataram Surakarta, mulai dari Gapura Gladag hingga Gapura Gading, mendapat sentuhan proyek renovasi dari pemerintah.
Bahkan, semangat membangun kembali sisa peradaban Mataram yang sudah berkibar selama 200 tahun di eks Ibu Kota Surakarta Hadiningrat itu, terus berlanjut hingga awal tahta tokoh penerusnya, yaitu Sinuhun PB XIII. Selain Alun-alun Kidul yang bersih dari kesan kumuh dan dari praktik prostitusi, Alun-alun Lor juga menjadi meriah setelah tiga sisi luarnya (barat, utara dan timur) dibangun kios-kios Pasar Cinderamata yang akhirnya didominasi bursa sandang limpahan dari Pasar Klewer.
Namun, segala wiradat di antaranya secara spiritual yang dilakukan Sinuhun PB XII tampaknya terhenti pada saat dirinya dipanggil Sang Khalik pada Juni 2004. Pada saat itulah, upaya secara spiritual kebatinan yang dilakukan Sinuhun PB XII berakhir. Meskipun, wiradat secara pisik bisa terus berlanjut di saat kepemimpinan digantikan sang putra mahkota, yang kemudian jumeneng sebagai Sinuhun PB XIII.
Wiradat di Luar Keraton
Dalam perjalanan kemudian, periodisasi perkembangan situasi dan kondisi kepemimpinan mulai 2004 tampaknya fluktuatif karena dinamika yang terjadi di internal masyarakat adat, bisa terguncang oleh dinamika yang terjadi di luar terutama dinamika sosial politik. Akibatnya, wiradat dalam dimensi realitas pisik mulai tahun 2010 juga terguncang oleh dinamika sosial-politik dari luar, hingga akhirnya benar-benar berhenti di tahun 2017.
Karena insiden mirip ”operasi militer” di tahun 2017 itu, Keraton Mataram Surakarta menutup diri dari interaksinya dengan dunia luar, sehingga bisa dibaca publik secara luas dalam multi tafsir. Mulai saat itulah, sebagai seorang pemimpin adat Sinuhun benar-benar tampak tidak melakukan wiradat apa-apa, terlebih upaya-upaya dalam dimensi spiritual kebatinan.
Praktis, periode 2004 hingga kini bila dilihat dari sisi wiradat baik dalam dimensi realitas maupun dimensi spiritual kebatinan, kepemimpinan Sinuhun yang sudah berjalan 17 tahun ini nyaris tidak melakukan upaya-upaya wiradat yang berarti. Terlebih sejak guncangan dinamika sosial-politik dari luar keraton sangat terasa di tahun 2010 hingga kini, karena yang terjadi aktivitas yang ada hanya sibuk mengurusi hal-hal yang jauh dari kebutuhan mendesak untuk merawat peradaban dan menjaga kelangsungannya.
Dalam posisi seperti itu, wiradat justru banyak dilakukan Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Mataram Surakarta bersama semua elemennya di luar keraton. Dalam berbagai kesempatan, LDA yang dipimpin GKR Wandansari Koes Moertiyah ini justru selalu tangkas untuk menangkap momentum-momentum yang bisa menyentuh nurani warga peradaban secara luas. Banyak tokoh-tokoh adat leluhur Mataram yang diangkat ke permukaan untuk dimuliakan bersama-sama masyarakat di lingkugan wilayah yang membesarkan nama-nama tokoh itu.
”Ya, karena saya punya waktu dan kesempatan untuk berkeliling di makam dan petilasan leluhur Mataram, maka saya pasti datang dan berdoa bersama-sama di sana. Untuk sementara, ini yang bisa saya lakukan dalam rangka merawat sisa-sisa peradaban Mataram/Jawa. Karena ada pandemi, praktis hampir dua tahun kegiatan ziarah berhenti. Di daerah-daerah pantai utara (pantura) saja, dalam setahun ada 20 titik lokasi yang harus saya datangi. Semua berujud haul dan pengajian akbar di makam/petilasan yang diziarahi masyarakat. Ini tentu tidak lepas dari upaya mencari wiradat itu,” tunjuk Gusti Moeng selaku Ketua LDA dan Pengageng Sasana Wilapa.
Ajak Masyarakat Mendoakan
Gusti Moeng memang menyadari bahwa dirinya bukan Sinuhun atau sosok yang seharusnya paling bertanggungjawab dalam melakukan berbagai wiradat, baik dalam dimensi realitas pisik maupun dimensi spiritual kebatinan. Tetapi, amanah yang diberikan sang ayah (Sinuhun PB XII) yang sedang berada pada detik-detik dijemput Sang Khalik, seakan-akan menyerahkan tugas, tanggungjawab dan kewajiban untuk menjaga kelangsungan Keraton Mataram Surakarta, walau tinggal ”sakmegroking payung” itu di pundaknya.
Jadi, ketika mencermati apa yang sudah dilakukan Gusti Moeng dalam kapasitas apapun di Keraton Mataram Surakarta, sangatlah wajar bahwa seorang putridalem atau sosok yang berada di lingkaran terdalam dan inti sebuah masyarakat adat ya harus seperti itu. Putra-putridalem jumlahnya ada 35, dikurangi yang sudah meninggal jumlahnya tidak genap 30 dan Gusti Moeng adalah anak ke-25 yang terlahir wanita.
Jadi ada belasan anak lelaki, bahkan yang tertua mengemban tugas sebagai Sinuhun yang juga sebagai kepala keluarga menggantikan peran seorang ayah. Tetapi, mengapa seakan-akan tugas, tanggungjawab dan kewajiban merawat peradaban Mataram dan upaya menjaga kelangsungannya dibiarkan hanya di pundak seorang Gusti Moeng? Lalu bagaimana pertanggungjawaban mereka yang mengaku putra/putridalem, kepada ayahanda dan para leluhur? Mengapa hanya berdiam saja atau membiarkan Keraton Mataram Surakarta yang pernah ”kuncara” dan membahana di berbagai benua itu, hancur secara pisik dan spititual kebatinannya?
Pandemi Corona yang hampir berjalan dua tahun ini, seakan menjadi batas periodisasi perjalanan Keraton Mataram Surakarta, atau menjadi bagian dari periodisasi kepemimpinan Sinuhun PB XIII, dari 2004-2010, 2010-2017 dan 2017-2021. Publik secara luas bisa mencermati apa yang terjadi selama periode pendek itu, terutama ketika ada bencana besar yang melanda dunia berupa ”Pageblug Mayangkara”, yang mungkin juga bisa berpengaruh terhadap Keraton Mataram Surakarta dan warga peradabannya.
”Lewat kesempatan ini, saya mengajak masyarakat secara luas, utuk tidak henti-hentinya berdoa agar bangsa Indonesia segera dilepaskan dari bencana pandemi Corona. Saya juga mengajak masyarakat secara luas untuk memohon, semoga Allah SWT segera menyingkirkan segala bencana ini, serta memberikan kekuatan dan hidayahnya. Termasuk, doa kita kepada Keraton Mataram Surakarta agar dikabulkan, melalui berbagai wiradat kita dilakukan bersama-sama…Amin….Amin…Amin…,” pinta KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito sebagai pemerhati keraton dan budaya Jawa. (Won Poerwono-bersambung)