Mataram Surakarta tak Mengenal Bulan Baku Ritual Labuhan dan Ritual “Tutupan Sura”
IMNEWS.ID – PERISTIWA ritual Labuhan yang digelar “Bebadan Kabinet 2004” Kraton Mataram Surakarta, belum lama ini (iMNews.id, 8/10), ternyata menjadi ajang belajar bagi beberapa elemen Lembaga Dewan Adat (LDA), dari warga Pakasa cabang, Putri Narpa Wandawa, Pasipamarta hingga Sanggar Pasinaon Pambiwara dan lembaga Sanggar Paes & Tata-Busana.
Ritual labuhan perdana/kali pertama “Bebadan Kabinet 2004” itu, seperti sedang memperkenalkan sebuah komposisi keluarga baru terhadap era pengabdian dan kerja adat yang baru. Yaitu setelah melalui ujian desakralisasi, delegitimasi dan demitosisasi selama 5 tahun (April 2022), bahkan setelah LDA memiliki legal standing kuat sebagai era baru bersama.
Di situ, LDA memperkenalkan kepada publik secara luas bahwa Kraton Mataram Surakarta memiliki elemen Pakasa 14 cabang dari lebih 30 cabang yang sudah terbentuk, dengan dukungan lebih dari 300 abdi-dalem anggotanya. Jumlah itu diharapkan semakin terus bertambah jumlah pengurus cabangnya, begitu pula abdi-dalem atau “kawula” yang menjadi anggotanya.
Karena seperti disebut dalam beberapa seri sebelumnya, Kota Surakarta yang menjadi episentrum eks Karesidenan Surakarta sendiri hingga kini belum pernah terbentuk pengurus Pakasa cabang, walaupun menjadi Punjer/pusat Pakasa di Kraton Mataram Surakarta. Enam kabupaten di wilayah itu, ada pengurus Pakasa cabang tetapi berjalan seperti tidak berpengurus.
Dalam era baru “Bebadan kabinet 2004” yang di dalamnya memiliki komposisi keluarga adat baru, ketika semua dilibatkan dalam ritual Labuhan seperti yang digelar Minggu (6/10) lalu, terkesan seperti sedang melakukan studi orientasi untuk mengenal lingkungan “barunya”. Apalagi, di situ Gusti Moeng juga memperkenalkan situs Watu Gilang di kompleks Cepuri.
Situs di kompleks Pesanggrahan Parangkusuma itu, disebutkan sebagai tempat meditasi Panembahan Senapati, Raja ke-1 Kraton Mataram (1588-1601) yang sekaligus sebagai tokoh pendiri Dinasti Mataram. Di situlah disebutkan, Panembahan Senapati melakukan perjanjian dengan Kanjeng Ratu Kencanasari yang berlaku hingga kini, yang ditandai sebuah “monumen”.
“Monumen” atau “prasasti” perjanjian itu berupa tari “Bedhaya Ketawang”, yang diwariskan turun-temurun melalui setiap “Raja Mataram”, sebagai dinasti yang “berwenang” mewarisi dan memeliharanya. Mulai Sinuhun Prabu Hanyakrawati selaku Raja kedua Kraton Mataram, Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma sebagai Raja ketiga hingga Sinuhun Amangkurat Agung.
Tari “Bedhaya Ketawang” sebagai salah satu pusaka Kraton Mataram, terus diwariskan dan dipelihara selama Mataram Islam yang “diperbarui” oleh Sultan Agung berlanjut di Ibu Kota Kartasura hampir seabad (1645-1745). Dari situlah, tari Bedhaya Ketawang diwariskan kepada Raja-raja Mataram Islam yang berIbu-Kota di Surakarta, yang sudah berjalan 200 tahun.
Pusaka tari Bedhaya Ketawang sudah dipelihara Kraton Mataram Surakarta sebagai sebuah “negara monarki” selama 200 tahun (1745-1945), yang hingga 79 tahun berada di alam republik sekarang ini, masih eksis dan terpelihara baik oleh Kraton Mataram Surakarta, terlebih di bawah asuhan GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku pimpinan “Bebadan Kabinet 2004”.
Dengan segala plus-minusnya, “program studi orientasi” dan “pengenalan lapangan” era baru jajaran “Bebadan Kabinet 2004” yang dikawal Lembaga Dewan Adat sebagai payung hukum masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta, telah berlangsung sukses, lancar, aman dan ada yang bisa dicapaia, yaitu “mengenal” lingkungan kerja adatnya sebagai bidang tugas pengabdiannya.
Melalui “program studi pengenalan dan orientasi lapangan” itu, Gusti Moeng terkesan juga hendak menunjukkan sekaligus menandaskan, bahwa ritual Labuhan tidak identik dengan perilaku masyarakat adat Jawa di Kraton Mataram Surakarta di bulan Sura. “Bagi Kraton Mataram Surakarta, ritual Labuhan tidak identik dengan bulan Sura”, tandas Gusti Moeng.
Penegasan itu belakangan sering disampaikan Gusti Moeng dalam berbagai kesempatan, karena di tengah masyarakat adat yang memiliki perkembangan asumsi ke arah keliru atau kurang tepat pada satu dekade terakhir ini. Asumsi yang diyakini sebagian masyarakat adat dari organisasi sejenis di “seberang” itu, menyebut bahwa bulan Sura identik dengan Labuhan.
Gusti Moeng menegaskan, sejak Dinasti Mataram didirikan Panembahan Senapati hingga kini, tidak ada paugeran adat yang menyebut bahwa ritual Labuhan harus atau hanya boleh dilakukan di bulan Sura. Anggapan itu salah besar. Kraton tidak memiliki bulan baku untuk ritual Labuhan, karena upacara adat itu bisa dilakukan kapan saja, misalnya bulan Mulud ini.
“Seperti sekarang, Labuhan kami adakan di bulan Mulud (Rabiulawal). Jadi, tidak harus bulan Sura. Atau tidak identik dengan bulan Sura. Tetapi, Labuhan bisa dilakukan kapan saja, kalau ada barang yang akan dilabuh atau sudah siap. Dalam kesempatan ini, saya juga ingin menegaskan, bahwa di kraton tidak ada adat tradisi tutupan Sura”, tandasnya.
Jadi, tak hanya soal Labuhan yang dianggap identik bulan Sura. Masyarakat luas juga banyak meyakini hal yang salah bahwa kraton punya adat tradisi “tutupan Sura”. Anggapan itu dikembangkan sementara pihak yang tidak paham dengan paugeran adat. Tetapi masih berusaha meyakinkan kepada publik dengan menggelar pentas wayang kulit di “emper” (teras) kraton. (Won Poerwono-habis/i1)