Standar Seleksi Mutlak Dimiliki dari Punjer Sampai Cabang, Sebagai Penentu Kualitas Anggotanya
IMNEWS.ID – MEMBANGUN kembali organisasi Pakasa yang sama sekali berbeda dari wadah pergerakan merintis kemerdekaan seperti sejak dilahirkan 29 November 1931, di era republik dengan gaya demokrasi unik, di zaman serba global di sekitar suasana generasi milenial, memang perlu proses waktu untuk menemukan bentuk yang ideal sesuai harapan dan kebutuhan.
Walau butuh proses waktu untuk menemukan format dan wajah ideal, tetapi pedoman “ideologis” sudah ada yaitu berdasar sesanti “Saraya, Setya, Rumeksa Budaya”. Maknanya, menjadi wadah para peduli, sutresna, sadar tugas dan tanggungjawab sebagai insan peradaban dan yang punya komitmen tinggi dalam pelestarian Budaya Jawa dan kelangsungan Mataram Surakarta.
Makna secara operasional, organisasi Pakasa adalah wadah anggota yang ingin menggeluti masalah Budaya Jawa dan upaya-upaya pelestariannya. Definisi Pakasa “reborn” atau wajah “New Pakasa” bisa kembali dirumuskan dan disusun secara luwes dan luas, berdasar kebutuhan yang kurang lebih seperti terurai di atas yang sesuai untuk kini dan di masa depan.
Soal sesanti atau semboyan ini, KP Prabanagara selaku Ketua Pakasa Klaten yang melakukan percakapan dengan iMNews.id, kemarin berharap, agar pengurus Pakasa Punjer kembali menegaskan sesanti mana yang kini harus menjadi pegangan warga Pakasa cabang di masa kini. Tetap menggunakan “Saraya, Setya, Rumeksa” atau “Saraya, Setya, Rumeksa Budaya”?.
Menurutnya, bila tidak ditegaskan sesantu baku yang harus menjadi pedoman dan pegangan warga Pakasa, akan menimbulkan persepsi yang berbeda-beda. Karena, yang dimaksud dengan “Rumeksa Budaya”, bisa melahirkan pandangan soal budaya jenis apa atau budaya dari mana yang bisa dijadikan pedoman, jika ada tambahan “Budaya” di belakang kata “Rumeksa”.
KPH Edy Wirabhumi selaku Pangarsa Punjer Pakasa dalam beberapa kali kesempatan mendeklarasikan sesanti/semboyan baru itu memang tidak disertai defnisi baru atau penjelasannya. Tetapi, ketika dicermati dan dianalisis lebih jauh, selama bidang kegiatan pelestarian budaya di lingkungan masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta, berarti yang dimaksud Budaya Jawa.
Selama Pakasa cabang tetap menjadi organisasi tangan panjang Pakasa Punjer yang menjalankan tugas dari Kraton Mataram Surakarta dan yang dilestarikan adalah Budaya Jawa, itu jelas dimaksudkan bahwa Pakasa punya tugas pelestarian Budaya Jawa dan bukan budaya yang lain. Jadi, sesanti “Saraya, Setya, Rumeksa Budaya” sudah tepat sekali dan sesuai kebutuhan.
Sebagai organisasi yang berkecimpung di bidang pelestarian Budaya Jawa, Pakasa cabang juga bisa menjadi wadah untuk membangun kepemimpinan yang berwatak Budaya Jawa tetapi juga punya pandangan ideal sesuai kebutuhan zaman masa kini dan ke depan. Maka tidak bisa dipungkiri, dalam proses pelestarian itu Pakasa menghasilkan calon-calon pemimpin ideal.
Dengan sesanti “Saraya, Setya, Rumeksa Budaya”, Pakasa memang dijauhkan dari pengaruh dan anasir-anasir politik praktis, karena Pakasa memang bukan organisasi politik, bukan organisasi parpol atau bukan ormasnya parpol. Meski begitu, bisa saja figur-figur secara pribadi dari Pakasa, ada yang dianggap layak menjadi pemimpin publik dalam kontestasi politik.
Walaupun sesantinya sudah jelas dan ada harapan riil agar Pakasa tidak dilibatkan dalam kegiatan politik, tetapi menurut peneliti sejarah dari Lokantara (Ketua Pusat di Jogja), Dr Purwadi, pengalaman selama Pakasa tumbuh di zaman yang sama sekali baru setelah 90-an tahun dilahirkan ini, tetap saja sulit dipisahkan dari pengaruh dan anasir-anasir politik.
Anggota Pakasa Cabang Jogja, dosen sekaligus dalang wayang kulit klasik konvensional itu tidak bisa mengelak ketika disebut Pakasa yang rentan mendapat pengaruh dan anasir politik itu adalah cabang Klaten. Karena, dia mengaku lama bergaul intensif dengan warga Pakasa cabang yang dipimpin KP Prabanagara selama dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
“Jadi, memang betul, harus ada mekanisme seleksi calon warga Pakasa. Agar bisa memenuhi unsur kualitas yang sesuai harapan, yaitu yang beretika dan berestetika. Sesuai dengan sesantinya itu, Saraya, Setya, Rumeksa Budaya. Tetapi memang, sulit sekali menjaga Pakasa cabang terbebas dari pengaruh dan anasir politis,” tegas Dr Purwadi.
Di sisi lain Dr Purwadi juga setuju, kalau sesuai sesanti itu menuntut warga Pakasa berkualitas dalam pelestarian Budaya Jawa dan menjadikan insan berkualitas dalam kehidupan bersama peradaban masyarakat luas. Karena, yang digeluti hal-hal dan upaya-upaya pelestarian Budaya Jawa, diharapkan warganya juga harus paham tentang Budaya Jawa dan pelestariannya.
Penjelasan dalang yang sedang melakukan sosialisasi pemahaman soal sejarah Mataram Islam Kartasura dan jasa-jasa para tokohnya melalui seni pakeliran itu, juga setuju kalau peningkatan kualitas SDM Pakasa cabang kerja pelestarian Budaya Jawa mendapat sentuhan edukasi dari Sanggar Pasinaon Pambiwara secara langsung atau tidak langsung.
Intelektual kampus itu tidak merinci pandangannya soal itu, tetapi bila dianalisis lebih lanjut memang ada hal-hal yang harus dipenuhi untuk mendapatkan SDM Pakasa cabang yang berkualitas. Caranya bisa melibatkan atau mensinergikan dengan Sanggar Pasinaon Pambiwara, atau ada instrumen lain yang bisa mewadahi dan melakukan edukasi di bidang yang dibutuhkan.
Kualitas SDM Pakasa ini penting sekali, sesuai sinyalamen yang beberapa kali diungkapkan Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA), bahwa kelangsungan Kraton Mataram Surakarta harus tetap terjaga. Tetapi, faktanya jumlah kerabat sentana yang menjalankan kerja adat di Bebadan Kabinet 2004 semakin berkurang, untuk itu perlu disiapkan penerusnya.
Gusti Moeng menyebut jumlah kerabat sentana semakin berkurang, karena berbagai sebab. Hasil analisis menyebutkan, berbagai peristiwa yang melanda kraton tahun 1945-1965 yang ditandai dengan kasus penculikan, suksesi 2004 dan “insiden mirip operasi militer” 2017, telah menyebabkan kalangan kerabat sentana trauma dan memilih pasif atau keluar dari kraton.
Di sisi lain ketika menjadi bagian NKRI, kraton harus mengikuti kebijakan-kebijakan pemerintah misalnya program KB dan norma keluarga ideal sejahtera, yang sulit ditolak masyarakat adat terutama keluarga inti (putra/putri-dalem dan wayah-dalem) dan kerabat sentana. Inilah yang menyumbat produk generasi SDM yang sangat diperlukan untuk kerja adat di kraton.
Sampai di sini, menjadi sangat jelas soal proses perjalanan Pakasa “reborn” yang sedang mencari wujud dan bentuk wajahnya. Dalam proses itu pula, rupa wajah 40-an Pakasa cabang yang sudah ditetapkan kepengurusannya, sangat bervariasi. Wajah ideal akan terbentuk secara alami, tetapi perlu instrumen seleksi agar kualitas secara umum meningkat.
Dalam rangka proses perjalanan itu, harapan Bendahara Pakasa Cabang Malang Raya, KRAT Sony Joko Purnomo Hadinagoro
tentu sangat rasional. Karena, ada cabang yang lama vakum dan pasif, diharapkan kembali eksis dan aktif mengikuti agenda-agenda kegiatan di cabang dan Punjer. Ini bisa diartikan, perlu pula reorganisasi atau penyegaran seperlunya.
Selain itu, putra mahkota KGPH Hangabehi sebagai satu-satunya yang dianggap memadai untuk menjadi calon Pangarsa Punjer, perlu segera diberi ruang, didorong dan didukung bersama-sama untuk tampil. Karena, KPH Edy Wirabhumi (Pangarsa Punjer), beberapa kali memberi isyarat bahwa dirinya sudah sangat sibuk memikul beban tugas sebagai Ketua Umum DPP MAKN. (Won Poerwono – bersambung/i1)