“Gelar-Sesebutan” Berubah Ketika Lembaga (Pemerintahan) Normatif Menjadi Lembaga Budaya (seri 6 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:January 29, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing “Gelar-Sesebutan” Berubah Ketika Lembaga (Pemerintahan) Normatif Menjadi Lembaga Budaya (seri 6 – bersambung)
EXTRA-ORDINARY : Dalam kesempatan "extra-ordinary" seperti perayaan HUT Pakasa seperti yang digelar Desember 2024 lalu, busana adat kebesaran untuk jabatan "Bupati Manca" diperagakan sejumlah figur Ketua Pakasa Cabang karena jabatannya mirip pejabat "Bupati" di zaman "nagari" Mataram Surakarta (1745-1945). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Gawa-gawe” Menjadi Dasar Menilai Kepantasan “Gelar-Kepangkatan” Abdi-dalem  

IMNEWS.ID – SELAIN susunan gelar-kepangkatan, jenis kelengkapan busana adat yang sesuai dan atribut perlengkapan sebagai simbolnya seperti songsong misalnya, KRRA Panembahan Didik Alap-alap Gilingwesi Singonagoro masih punya catatan lain di luar itu yang melengkapinya. Dia mempelajari catatan dari kakeknya itu, yang dicarikan penjelasan dari berbagai sumber.  

Catatan itu termasuk gambaran soal busana “Takwa” seperti yang dikenakan para Raja Mataram sejak Panembahan Senapati, bahkan sejak Raja Kraton Demak, busana “Langenharjan”, “Sikepan Ageng”, “Kampuhan”, Sikepan Cekak Baludiran (bordir), kalung ulur, rante bandul, bros dan sebagainya. Semua informasi itu didapat dari “dongeng sebelum tidur” sang kakek.

“Jadi, data-data informasi mengenai berbagai jenis wujud barangnya, ada yang dicontohkan Eyang secara lansung, ada yang hanya dituturkan saja wanktu ‘ndongeng’ di dekat saya menjelang tidur. Tetapi, saya masih ingat semua yang diceritakan Eyang, khususnya tentang gelar-pangkat, busana dan tatacara pemakaiannya. Termasuk berbagai larangan bagi abdi-dalem”.

JELAS BEDANYA : Tiga sentana darah-dalem masing-masing KRMH Saptonojati, KPH Adipati Sangkoyo Mangunkusumo dan KPP Haryo Sinawung Waluyoputro, jelas memiliki hak mengenakan kelengkapan busana adat sesuai gelar kepangkatannya yang berbeda dengan sentana atau abdi-dalem anon-anon. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Kalau saya lupa, seperti diingatkan dalam mimpi yang terjadi saat saya tertidur selesai dzikir. Sering saya mimpi seakan kembali di masa kecil diajak Eyang (Marto Darsono Djamari-Red) sowan ke kraton. Semua yang pernah saya alami saat sowan, seperti terwujud lagi dan nyata. Saya pernah diberitahu Eyang, soal barang yang konon paring-dalem dari Sinuhun PB X”.

“Soal pengetahuan tentang pambiwara dan praktiknya, sama sekali saya belum pernah ikut kursus. Di Kudus, dulu pernah ada kursus tentang pembiwara dan tatacara pengunaan busana adat Jawa, tetapi saya hanya mendengarkan saja. Jadi, untuk saya sendiri dan keluarga saya termasuk istri, hanya praktik dari cerita Eyang saya,” ujar KRRA Panembahan Didik Singonagoro.

Ketua Pakasa Cabang Kudus itu juga menjelaskan, selama dirinya “suwita” di kraton dan dipercaya memimpin Pakasa, belum pernah secara khusus mendapat pembelajaran tentang tatacara berbagai hal yang menyangkut aturan berbusana adat sesuai gelar kepangkatan. Juga berbagai hal yang menyangkut aturan dalam pelaksanaan pasuwitan, misalnya upacara adat.

TETAP TAAT : Walau berada di luar kraton tetapi mengikuti upacara adat di Kabupaten Pati, beberapa waktu lalu, beberapa tokoh yang tampak itu tetap taat dan patuh pada aturan adat dalam berbusana dan mengenakan atribut kelengkapannya. Karena, mereka menjadi contoh yang harus mengedukasi masyarakat luas. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Jadi, seperti kemarin istri saya memakai kebaya ‘janggan’ dengan potongan tanpa kuthu-baru dan bahan bukan dari sutra atau bludru, itu karena pengetahuan yang kami dapat dari Eyang. Dari kraton secara khusus belum pernah. Juga untuk semua warga Pakasa Kudus, sama sekali belum ada yang mendapat pembelajaran secara khusus. Padahal itu perlu,” tandasnya.

Ungkapan Ketua Pamong Makam Kyai Glongsor dan tiga Majlis Taklim itu, sebagai penjelasan atas pengalaman istrinya yang tidak ditegur tetapi malah dijadikan contoh bagi sejumlah abdi-dalem wanita lain, yang sama-sama sowan saat ritual tingalan jumenengan, Sabtu (25/1). Karena, banyak sekali abdi-dalem yang salah mengenakan busananya, “karena tidak tahu”.

Bahkan, ada abdi-dalem yang dikumpulkan di Pendapa Sitinggil Lor pangkat Bupati Anom yaitu Raden Tumenggung (RT) ke bawah, sudah sampai di situ tetapi tidak diizinkan masuk ke kraton. Karena, abdi-dalem wanita itu mengenakan jarik motif “parang” yang terlarang bagi abdi-dalem, karena hanya Raja, Pangeran Adipati Anom atau sentana yang boleh mengenakan.

KURANG ETIS : Kalau sudah dalam posisi seperti tampak pada gambar, memang perlu dicari cara paling bijak untuk menempatkan mereka sesuai posisi dan kedudukannya. Akan kurang etis jika ditegur di hadapan khalayak, terlebih jika tidak pernah ada penyuluhan, bimbingan dan sosialisasi aturan sebelumnya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Selain itu, ada Bupati Anom yang mengenakan “beskap sikepan sekak” atau “sikepan ageng” dan “blangkon jebehan”, yang semuanya hanya boleh dikenakan abdi-dalem pangkat “Bupati Sepuh” ke atas. KRRA Panembahan Didik Singonagoro sempat melihat peristiwa peneguran para pelanggarnya, saat melintas di situ, tetapi didiamkan karena bukan kewenangannya.

Menurut catatan yang didapat dari Eyangnya, khususnya abdi-dalem pangkat Bupati Anom ke bawah yaitu “Jajar”, “Lurah”, “Ngabehi” (Penewu dan Mantri), harus mengenakan “blangkon cekok mondhol”. Epek/stagen Cindhe hanya boleh dikenakan Raja/Pangeran Adipati Anom, untuk abdi-dalem harus polos atau “drigin”, kerisnyapun harus sesuai jenis “pisowanan”.

“Kan ada yang memakai keris di belakang, lalu juga memakai keris ‘nyonthe’ di depan atau ‘nganggar’ atau menggantung di samping. Eyang saya mengajarkan, untuk abdi-dalem hanya boleh mengenakan keris di belakang. Itupun tergantung jenis pisowanannya, yang ikut menentukan apakah kerisnya jenis ‘Ladrang’ atau ‘Gayaman’,” tunjuk KRRA Panembahan Didik.

JENIS UPACARA : Penggunaan komposisi busana adat sesuai paugeran adat di kraton, memang juga ditentukan dengan jenis upacaranya. Misalnya untuk upacara adat Kirab Pusaka menyambut Tahun Baru Jawa 1 Sura, pasti ada komponen sedikit berbeda dengan ritual Sekaten Garebeg Mulud, misalnya untuk para abdi-dalem wanita. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Walau keluarga besar Pakasa Cabang Kudus sudah menjalankan sesuai paugeran adat dalam berbusana sesuai gelar kepangkatan termasuk semua perlengkapannya, tetapi menurut KRRA Panembahan Didik belum sepenuhnya benar. Karena diyakini, ada perkembangan baru pada setiap zaman Raja yang jumeneng, sehingga dimungkinkan ada perubahan aturan, walau sangat kecil.

Masalah perubahan itulah yang dibenarkan KP Budayaningrat, dwija pada Sanggar Pasinaon Pambiwara. Tetapi, karena selama ini tidak ada ruang khusus untuk menjelaskan berbagai aturan adat khususnya kepada warga Pakasa, jadi sangat wajar ada kekurangan di sana-sini. Dia berharap, suatu saat ada pembakuan aturan yang paling sesuai dengan perkembangan zaman.

Beberapa hal dalam aturan adat secara baku itulah yang diharapkan KP Bambang S Adiningrat (Ketua Pakasa Cabang Jepara) agar disosialisasikan secara terbuka dan baik kepada warga Pakasa. Termasuk mengenai gelar-kepangkatan yang berlaku. Dia berharap, sosialisasi secara intensif jauh bermanfaat dari pada menegur yang dianggap melanggar, karena itu kurang etis.  (Won Poerwono – bersambung/i1)