Ada Hal yang Membedakan Antara Penulis Karya Sastra dan Pujangga yang Sesungguhnya (3-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:May 27, 2022
  • Post category:Budaya
  • Post comments:0 Comments
  • Reading time:8 mins read

Pujangga Ranggawarsita, Punya Kemampuan “Parameng Kawi” dan “Nawung Kridha”

IMNEWS.ID – DALAM catatan Kanjeng Pangeran (KP) Budayaningrat, sudah disebut ada banyak pujangga hebat atau “dalam arti sesungguhnya” yang lahir sejak zaman Kraton Medang Kamolan, sampai abad 10 hingga Kraton Majapahit(iMNews.id, 25/5), kemudian tokoh-tokoh Pujangga Mataram atau Pujangga Jawa yang lahir sejak zaman Kraton Demak (abad 15) hingga Mataram Surakarta (abad 17-18). Selain itu, masih ada sedertan nama penulis sastra yang tidak digolongkan ke dalam predikat “Pujangga”, yaitu sejumlah nama yang lahir pada abad 20, karena sejak Sinuhun PB X (1893-1936) disebut sebagai “pudhak sinumpet” atau atau sudah tidak ada lagi pujangga.

“RNg Ranggawarsita yang bernama kecil Bagus Burhan, mulai suwita sebagai pujanggadalem di Kraton Mataram Surakarta sejak zaman Sinuhun PB IV (1788-1820) sampai Sinuhun PB IX (1861-1893). Beliau adalah Pujangga Jawa terbesar, sekaligus terakhir, di Mataram saat zaman Surakarta (1745-1945).  Setelah itu tidak ada lagi Pujangga, dalam bingkai sastra Jawa. Masuknya sastra Melayu ke Indonesia, mungkin itu yang disebut-sebut melahirkan Pujangga Baru. Dan di dalam budaya/peradaban Jawa, yang digolongkan Pujangga ada sendiri. Dan yang digolongkan penulis atau bukan pujangga, juga ada sendiri. Yang digolongkan sebagai pujangga, kalau memenuhi 8 syarat itu (iMNews.id, 22/5),” tunjuk KRRA Budayaningrat yang mendapat kenaikan pangkat dalam sebuah upacara wisuda di Ndalem Kayonan, tanggal 20 Mei, menjadi KP Budayaningrat, saat dihubungi iMNews.id, tadi siang.

Apa yang ditemukan KP Budayaningrat itu juga dikuatkan hasil penelitian Ketua Lokantara Pusat (Jogja) Dr Purwadi yang disusun dalam salah satu dari “seratusan” judul buku,  yang berjudul “Sejarah Budaya Kabupaten Klaten”, tahun 2022. Di situ dituliskan, RNg Ranggawarsita adalah pujangga “terakhir” dan sosok figur yang bisa disebut pujangga dalam arti yang sesungguhnya. Karena menurutnya, keberadaan RNg Ranggawarsita sampai saat meninggal di tahun 1877, telah menyelesaikan semua tugas dan kewajiban kepujanggaan yang tersisa di dunia ini (saat itu-Red).

Melihat dan Mendengar Jauh

‘SEKOLAH’ PUJANGGA : Sanggar Pasinaon Pambiwara yang diasuh KPH Raditya Lintang Sasangka selaku ketua sanggar, memang bukan “sekolah” yang akan mencetak “pujangga”. Melainkan hanya salah satu upaya menularkan karya-karya pujangga, agar kehidupan secara luas tetap meneladani dan melestarikan nilai-nilai budaya ajaran leluhur.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Sedangkan tugas dan kewajiban kapujanggan sebelumnya, sudah diselesaikan para pujangga yang ada pada zamannya, sebelum munculnya RNg Ranggawarsita. Beliau adalah pujangga terakhir. Pujanggadalem Kraton Mataram Surakarta itu adalah pujangga dalam arti sesungguhnya,” sebut Dr Purwadi saat dihubungi iMNews.id di tempat terpisah, yang juga menyebut punya cabang Lokantara di sejumlah provinsi dan kota/kabupaten, di antaranya Lokantara Wilayah Jateng yang diketuai KRA Bambang Setiawan Adiningrat yang juga Ketua Pakasa Cabang  Jepara.

Apa yang dimaksud dengan “pujangga terakhir” baik oleh KP Budayaningrat maupun Dr Purwadi, punya penjelasan di antaranya karena sosok pujangga ini adalah tokoh “pujangga yang sesungguhnya”. Pujangga ini yang memiliki paling lengkap 8 syarat yang menempatkannya bisa disebut Pujangga yang sesungguhnya.  Tak hanya pandai mencipta karya sastra dengan berbagai pengetahuan yang diselipkan sebagai misi edukasinya terhadap kehidupan, tetapi juga kemampuannya mendengar Sabda Tuhan YME dan kemampuannya membaca tanda-tanda zaman dengan melihat apa yang terjadi jauh ke depan.

Dengan begitu, Pujangga Ranggawarsita adalah satu-satunya pujangga yang memiliki kemampuan dengan kapasitas “paket komplet” dan “paket tuntas” atau setingkat di atas Raja Kraton kediri, Prabu Jayabaya. Dia memiliki dua kemampuan dari 8 yang disyaratkan sebagai Pujangga yang sesungguhnya. Yaitu punya kemampuan “Parameng Kawi” atau mampu mendengar Sabda Tuhan YME tentang apa yang akan terjadi jauh ke depan, dan kemampuan “Nawung Kridha” yang bisa merasakan getaran paling halus, atau kemampuan melihat tanda-tanda zaman, serta membaca situasi dan kondisi yang sebenarnya terjadi di sekitarnya.

Selalu Mencari Maknanya

BEKAL HIDUP : Proses belajar-mengajar di Sanggar Pasinaon Pambiwara yang tampak sederhana ini, merupakan salah satu cara yang ditempuh Karaton Mataram Surakarta melalui Lembaga Dewan Adat, untuk menularkan karya-karya-karya para pujangga, sebagai bekal hidup bermasyarakat dan berbangsa dalam wadah NKRI. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Mungkin hanya Pujangga Ranggawarsita seorang, yang mempunyai berbagai kemampuan itu. Saya mendapat informasi, dalam salah satu karyanya Pujangga Ranggawarsita sempat menulis tahun meninggalnya. Tetapi ditulis dengan Candra Sengkala. Banyak sekali karya-karya sastra Jawa yang menunjuk sesuatu tidak terang-terangan menyebut, tetapi menggunakan simbol atau sandi. Ini yang dipahami para ahli, bahwa ada harapan budaya Jawa tetap bertahan hidup. Karena berujud simbol-simbol ‘Candra Sengkala’, apalagi ‘sengkalan memet’. Yang diharapkan agar generasi penerus menjadi kritis dan peka, serta selalu mencari maknanya,” ujar KRT Ahmad Faruq Reksobudoyo MFil A, abdidalem Kanca Kaji yang dihubungi iMNews.id di tempat terpisah.  

Khusus perihal Candra Sengkala ada dalam salah satu karya Pujangga RNg Ranggawarsita yang disebut menunjuk tahun meninggalnya, menurut KP Budayaningrat hingga kini masih menjadi perdebatan pro dan kontra, antara yang membenarkan sengkalan itu sebagai “kesaktian” atau kemampuan “Parameng Kawi” dan “Nawung Krida” dan yang menyebut bahwa Sang Pujangga sedang menulis peristiwa saat hukuman yang akan diterimanya diumumkan Belanda. Karya ini diyakini dilatarbelakangi oleh adanya ancaman hukuman terhadap Sang Pujangga, karena dianggap “berbeda pendapat dan pandangan” terhadap Sinuhun PB IX.  

“Jadi, ada beberapa tafsir yang saling bertolak-belakang yang melahirkan dua angggapan itu. Tetapi, selain itu, Pujangga Ranggawarsita memang paling hebat, hampir dalam segala urusan, waktu itu. Sejak remaja yang masih bernama Bagus Burhan, menjadi santri di Pondok Tegalsari Gebang Tinatar, Ponorogo. Pengasuh pondok saat itu, Kyai Imam Beshari, menantu Sinuhun PB II. di Usia 19 tahun, sudah suwita di kraton. Ayah dan kakek buyutnya, juga abdidalem di Kraton Mataram Surakarta sama-sama memakai nama Ranggawarsita,” jelas KP Budayaningrat,  yang kurang lebih sama dengan isi buku “Sejarah Budaya Kabupaten Klaten” yang ditulis Dr Purwadi.  

Sebagai Ahli Sastra

SENTANA GARAP : Para kerabat sentana garap yang bekerja di beberapa bebadan (departemen-Red), belum lama ini mendapat kenaikan pangkat. Termasuk KP Budayaningrat sebagai dwija di Sanggar Pasinaon Pambiwara, yang banyak bertugas mentransfer ajaran nilai-nilai dari karya-karya para pujangga kepada para siswa sanggar. (foto : iMNews.id/dok)

KP Budayaningrat juga masih punya catatan, di zaman Kraton Majapahit punya pujangga terkenal yang disebut Empu Prapanca, yang mencipta kakawin “Negara Kertagama”, isinya banyak memberi pedoman dalam bernegara dan hingga saat ini masih digunakan NKRI. Sesudah itu lahir Empu Tantular yang mencipta kakawin “Harjuna Wijaya” dan “Sutasoma”, baru disusul munculnya pujangga di zaman Islam yang dimulai dari zaman Kraton Demak Bintara Glagah Wangi (abad 15), dan tokoh pertama yang terkenal adalah Sunan Bonang yang mencipta “Suluk Ucil dan “Suluk Ucul”. Pangeran Karang Gayam mencipta Serat Niti Sruti.

Dari penjelasan KP Budayaningrat dan buku-buku hasil penelitian Dr Purwadi, di abad 16 tak banyak muncul karya-karya sastra dan nama-nama tokoh sekaliber Pujangga, meskipun ada nama-nama tokoh yang kemudian digolongkan sebagai penulis atau ahli sastra. Baru di abad 17, permaisuri Sinuhun PB I yang bernama Ratu Mas Balitar yang bergelar Kanjeng Ratu Paku Buwana I, tampil sebagai “sufi” wanita satu-satunya karena menulis Serat Yusuf, Serat Iskandar, Serat Usulbiyah dan sebagainya, yang dihadiahkan kepada calon cucunya (Sinuhun PB II), agar menjadi raja muslim yang ideal seperti sang kakek Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, pendiri Mataram Islam.

Yang tergolong para ahli sastra, berikut adalah Ki Padmasusastra yang punya karya berjudul ” Tatacara”, “Pathibasa”, “Warnabasa”, “Urabsari”, “Durcaraharja” dan “Rangsang Tuban” dan  MNg Mangunwijaya menulis “Purwakanthi”, “Trilaksita”, “Jiwandana”, “Asmaralaya”, “Lambangpraja” dan “Wahya Locita”. Sedangkan RNg Sindu Pranoto menulis “Sawursari”, RNg Sastra Kusuma menulis “Dongeng Kuna”,  RT Tandhanagara menulis “Pepeling lan Baru Klinthing” dan RM Surya Suparto (MN VII) menulis (pengalaman perjalanan) “Kekesahan saking Tanah Jawi dhateng Nagari Walandi”. Kemudian RM Sulardi menulis “Serat Riyanto” dan “Sarwanto”, R Bratakesawa menulis “Candra Sangkala”.  Wiradad menulis “Calonarang”, M Sukir menulis “Abimanyu Kerem”, Sastra Sutarno menulis “Bancak Dhoyok Mbarang Jantur” dan  Mas Somasentika menulis “Buta Locaya”. (Won Poerwono-bersambung/i1)

Leave a Reply