Pakasa Cabang Kudus “Menguasai” Dekat Sekali Objek Materi yang Akan Dilestarikannya
IMNEWS.ID – SAMPAI seri 12 artikel yang mengungkap hal-ikhwal tentang keris, besalen pusaka tradisional, besalen gamelan dan latar-belakang kesejarahan pihak yang punya otoritas sebagai penggunanya sejak zaman Mataram atau jauh sebelumnya, tak mungkin bisa menyajikan secara lengkap. Sajian artikel ini masih sangat jauh dari harapan yang ideal.
Selain nara sumber para pelaku sejarah sudah sangat langka, sumber-sumber informasi yang menjadi materi sajian juga sudah sulit didapat. Baik sebagai fakta sejarah perkerisan, Tosan Aji dan besalen yang mandiri, maupun yang terkoneksi dengan pusat-pusat kekuasaan sebagai pengguna dan pemilik otoritas di bidang sistem hankam serta pasarnya secara umum dan luas.
Begitu pula, nara sumber para pelaku sejarah dan sumber-sumber informasi mengenai data dan fakta sejarah soal gamelan dan besalennya. Baik secara mandiri maupun terkoneksi dengan pusat-pusat kekuasaan sebagai pengguna dan pemilik otoritas di bidang penggunaanya. Karena perlu dipahami, gamelan juga menjadi sarana upacara adat di pusat kekuasaan selain komoditas.
Kasulitan mendapatkan data dan fakta sejarah megenai beberapa hal di atas, juga karena minimnya data informasi hasil penelitian. Yaitu hasil penelitian yang terintegrasi dari beberapa variabel di atas ke dalam satu koneksitas kekuasaan pada zamannya, yang bisa dirumuskan sebagai sajian yang bisa melukiskan secara riil dan jelas seusai yang diharapkan.
Yaitu mengenai situasi dan kondisi serta perkembangan dari zaman ke zaman tentang keberadaan keris (senjata tradisional) dan besalennya, gamelan dan besalennya dan lembaga pemerintahan di pusat-usat kekuasaan dan aparatur yang menggunakannya. Karena, pada setiap zaman “negara” monarki dari Kediri, Majapahit hingga Mataram membutuhkan sebagai simbol jabatan.
Selain untuk keperluan simbolik di pemerintahan, keris dan senjata tradisional lainnya juga menjadi bagian dari sistem Hankam. Bahkan bersama gamelan, berbagai jenis senjata tradisional telah menjadi pusaka yang disakralkan di pusat kekuasaan “negara” Mataram Islam, mulai dari Mataram Kutha Gedhe hingga Mataram Surakarta, bahkan sejak Demak dan Pajang.
Namun, selain ada pihak kekuasaan yang punya otoritas untuk keperluan “negara”, barang-barang produk industri kerajinan besalen itu juga telah menjadi komoditas di pasar bebas. Berdasar kajian sejarah Dr Purwadi tentang Kudus melahirkan analisis yang meyakini, pasar bebas produk besalen itu benar-benar menjadi komoditas sejak era Sunan Kudus (1400-1550).
Jika ada hasil penelitian secara khusus yang bisa mengungkap regulasi kepemilikan jenis-jenis keris, pedang dan sebagainya sesuai pangkat, jabatan dan strata adat, akan semakin memudahkan untuk mengkatagorikannya. Sebab, sangat diyakini produk besalen termasuk gamelan, pasti berbeda antara yang menjadi simbol jabatan/pangkat dengan dagangan pasar.
Namun, fakta sejarah yang masih bisa disaksikan hingga sekarang, selain produk besalen yang punya kategori dan spesifikasi khusus juga ada ada produk pasaran yang dibuat massal dan bisa dimiliki “sembarang” orang. Bila itu menjadi trend, berarti bisa diasumsikan positif kalau berbanding lurus dengan upaya pelestarian busana adat Jawa.
Yang jelas, keris dan produk besalen yang sudah menjadi karya kriya Tosan Aji, sudah bebas dimiliki setiap orang karena memang sudah menjadi komoditas dalam tata niaga khusus maupun umum. Begitu juga produk besalen lain yang khusus, yaitu instrumen gamelan, yang telah lama pula menjadi salah satu komoditas di pasar bebas, bahkan sejak zaman Sunan Kudus itu.
Karena, “negara” membutuhkan daya dukung legitimatif untuk berbagai kesenian yang bersumber dari Budaya Jawa, maka kesenian berkembang di luar “otoritas dan keperluan negara” dengan berbagai “keterbatasan” atau regulasinya secara tidak langsung. Kesenian yang berkembang di berbagai daerah di wilayah eks kedaulatan “negara” Mataram misalnya, sangat beragam.
Selain beragam, jumlahnya juga sangat banyak, ada yang punya kemiripan tetapi juga ada yang berubah banyak dari aslinya dan bila dibanding kesenian di daerah lain. Keberadaan kesenian yang kemudian disebut “tradisional” itu, jelas membutuhkan produk besalen berupa gamelan, yang formasinya disesuaikan dengan kebutuhan, situasi dan kondisi masing-masing.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan inilah, industri besalen gamelan lahir dan dikelola keluarga empu yang bisa bertahan lama di tiap kabupaten, turun-temurun. Dibanding besalen Tosan Aji mungkin hanya pergantian pasang-surut kemunculannya, tetapi sangat diyakini besalen gamelan juga ada di tiap kabupaten di setiap zaman, mulai Kraton Demak hingga Mataram Surakarta.
Keluarga KRA Panembahan Didik “Alap-alap” Gilingwesi Hadinagoro mungkin menjadi gambaran sebuah keluarga trah darah-dalem Sunan Kudus yang masih memperlihatkan keturunan konsumen gamelan yang notabene penghayat kesenian tradisional. Karena, keluarga ini masih menyimpan sisa peninggalan leluhurnya, berupa satu gong dan dua kenong ukuran besar.
“Iya betul. Kakak saya dulu bekerja di besalen gamelan di desa tetangga Rendeng. Di Kudus dulu juga banyak sekali grup-grup kesenian Tayub. Pentas wayang kulit dan Tayub juga banyak sekali di masa kecil saya. Tetapi sekarang semua sudah habis,” ujar KRA Panembahan Didik mengisahkan “kedekatannya” dengan objek yang kini dilestarikannya sebagai Ketua Pakasa. (Won Poerwono – habis/i1)