Masyarakat Penjaga dan Pemelihara Masjid Agung Jatisaba Jadi Bagian Penting
IMNEWS.ID – MUNGKIN karena sudah agak jauh lewat dari peristiwa “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton” yang terjadi pada 17 Desember 2022, berbagai peristiwa penting yang terjadi beruntun setelah itu, nyaris tak ada yang menganggapnya penting dan penuh makna. Kesibukan peristiwa upacara wisuda bagi 160-an abdi-dalem penerima kekancingan berisi gelar sesebutan kekerabatan dari Kraton Mataram Surakarta, Sabtu pagi hingga siang (6/5) itu, seakan menjadi pemandangan biasa terjadi sebelum 2017 atau selama 5 tahun lebih Gusti Moeng berjuang di luar kraton.
Memang, dengan perkembangan teknologi informasi telah melahirkan cara pandang publik secara luas, baik dalam mengapresiasi, memahami dan memaknai lembaga media dan keragaman konten informasi yang disajikan. Begitu pula perubahan publik secara luas dalam mengapresiasi, memahami dan memaknai setiap peristiwa atau keragaman peristiwa dalam kehidupan masyarakat. Batas-batas wiayah geografispun sebagai lokasi terjadinya konten informasi sebuah peristiwa, juga semakin tidak menjadi persoalan penting untuk diapresiasi, dipahami dan dimaknai.
Oleh sebab itu, ketika Kraton Mataram Surakarta mengalami perubahan sebagai akibat telah terjadinya peristiwa yang muncul silih-berganti dari waktu ke waktu, sangat masuk akal apabila luput dari apresiasi, pemahaman dan pemaknaan publik secara luas. Dan pantas pula, apabila peristiwa upacara wisuda abdi-dalem yang digelar Pengageng Sasana Wilapa/Ketua Lembaga Dewan Adat di Bangsal Smarakata Kraton Mataram Surakarta, Sabtu (6/5) pagi hingga siang, terkesan bukan menjadi konsumsi publik yang menarik.
Titik yang menarik bagi publik adalah kehebohan di luar tempat upacara atau “saknjawining pasewakan”, seperti para dalang sering melukiskan ketika “njantur” suasana dalam “pisowanan” di Kerajaan Astina atau Amarta dalam konteks seni pedalangan. Karena, sejak pagi mulai pukul 09.00 WIB itu, ada lima “dhadhak-merak” atau unit reog Ponorogo yang menghebohkan suasana di ruang halaman Kamandungan, atau beberapa puluh meter di luar “pasewakan” yang terjadi di Bangsal Smarakata.
Hebohnya suasana di luar “pasewakan” atau tempat “sewaka” (menghadap-Red) atau tempat “sowan” itu, sengaja di diinisiasi dan dibuat oleh KRAT Sunarso Suro Agul-agul selaku Ketua Paguyuban Reog Pakasa Kraton Mataram Surakarta Hadiningrat (Katon Sumirat). Karena sudah menjadi sumpah prasetya, kewajiban dan sekaligus ungkapan kebahagiaan serta rasa syukur warga Paguyuban Reog “Katon Sumirat” khususnya Pakasa Cabang Ponorogo (Jatim), bahwa setiap Kraton Mataram Surakarta punya hajad dan Gusti Moeng mengehendaki, para seniman reog siap “bikin heboh” di luar “pasewakan”.
Kalau “bikin heboh” dalam terminologi “jejer sepisan Pathet Enem” dalam gelar seni pedalangan bisa bermakna negatif karena sering dikonotasikan datangnya huru-hara atau kerusuhan, tetapi “bikin heboh” dalam terminologi Kraton Mataram Surakarta sedang punya hajad upacara wisuda abdi-dalem adalah hadirnya sesuatu yang membuat suasana menjadi hangat, menarik dan penuh makna estetika berkesenian. Oleh sebab itu, tampilnya lima unit reog persembahan Pakasa Cabang Magetan (Jatim) yang bikin heboh halaman Kamandungan itu, jelas sekali dalam rangka membuat manis inti hajadan.
Tampaknya soal konotasi dan memaknai adalah dua hal yang sulit ditangkap publik secara luas dari luar “pasewakan”. Karena yang ada di luar, adalah suguhan atraksi seni khas masyarakat Kabupaten Ponorogo yang sedang menunggu pengakuan Unesco, sebagai persembahan Pakasa Cabang Magetan bertujuan menyuguhan aksi heboh seni reog, sebagai ekspresi sukacita, hiburan murah-meriah untuk masyarakat Surakarta dan menandai serta memaknai peristiwa inti yang sudah dipersepsikan “biasa” oleh publik secara luas, yang terjadi di dalam “pasewakan” yaitu Bangsal Smarakata.
Dengan mencermati beberapa alasan di atas, maka upacara wisuda abdi-dalem yang berlangsung di dalam “pasewakan” itu kali ini, sangat patut dipahami, dipresiasi dan dimaknai secara lebih atau berbeda. Karena peristiwa yang terjadi Sabtu Pahing (6/5), bulan Sawal Tahun Ehe 1956 sejak pagi hingga siang itu adalah momentum peristiwa “perdana” atau “kali pertama” sejak “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton”. Selain lanjutan peristiwa 17 Desember 2022, peristiwa itu adalah “perdana” atau “kali pertama” setelah ada peristia “perdamaian” 3 Januari 2023 (iMNews.id, 3/1/2023).
Karena momentumnya “perdana” atau “kali pertama”, maka bagi orang-orang tertentu saja yang memahami situasi dan kondisinya yang bisa merasakan keistimewaan dan sensasinya. Dan ternyata ada beberapa tokoh yang merasakan itu semua, yaitu Ketua Pakasa Cabang Pati KRAT Mulyadi Puspopustoko, Ketua Paguyuban Reog “Katon Sumirat” KRAT Sunarso Suro Agul-agul dan Ketua Pakasa Cabang Magetan KRAT Supriyanto Hadinagoro. Bahkan secara khusus, momentum peristiwa upacara wisuda abdi-dalem di dalam kraton itu menjadi sensasi dan pengalaman luar biasa serta istimewa bagi “Jatisaba”.
Publik secara luas memang belum banyak mengenal kata “Jatisaba” atau “Jatisobo”, yang kini dijadikan nama wilayah Desa Jatisobo di Kecamatan Polokarto, Kabupaten Sukoharjo. Hasil penelitian yang dilakukan peneliti sejarah Islam dari IAIN Ponorogo, KRT Ahmad Faruq Reksobudoyo MFil-I dan peneliti sejarah dari Lokantara Pusat (Jogja) Dr Purwadi mengungkapkan, pada zaman Sinuhun Paku Buwana (PB (IV) jumeneng nata (1788-1820), wilayah desa itu sudah sangat dikenal karena guru spiritual/religi Sinuhun ada di situ, hingga dijadikan tempat untuk memindahkan Masjid Agung.
Kagungan-dalem Masjid Agung milik Kraton Mataram Surakarta sebelum terwujud berukuran besar dan masih eksis sampai sekarang ini, sudah ada Masjid Agung berukuran kecil yang mulai dibangun sejak Sinuhun PB II. Karena pertimbangan perkembangan zaman mengingat Surakarta sebagai Ibu Kota Mataram Islam yang pindah dari Kartasura, sarana ibadah utama diganti dengan bangunan yang lebih besar seperti yang masih tampak sekarang ini di barat Alun-alun Lor. Sedangkan Masjid Agung lama yang berukuran kecil, dipindah Sinuhun PB IV ke Desa Jatisaba.
“Sudah menjadi kebiasaan khususnya Sinuhun PB IV. Karena punya jaringan ormas yang kuat di berbagai daerah dan selalu dijalin baik hubungan silaturahminya. Walau beliau seniman, tetapi banyak membangun masjid lingkungan warga desa yang ada komunitas senimannya. Sinuhun PB IV itu benar-benar mewujudkan bangunan kehidupan insan yang seimbang antara seni-budaya dan agama. Salah satunya, di Desa Jatisaba itu. Dan selain dibangun masjid, pasti diikuti dengan pembentukan pengurusnya, lembaga pendidikan dan sumber daya lainnya,” jelas Dr Purwadi.
Tentang Desa Jatisaba atau Jatisobo yang ternyata menyimpan aset sejarah berupa bangunan kuno Masjid Agung, sebenarnya beritanya telah lama didengar Gusti Moeng karena ada kaitannya dengan jejak sejarah yang ditinggalkan oleh pendahulunya, Sinuhun PB III. Dan ketika didatangi bersama rombongan dari “Bebadan Kabinet 2004” tahun 2021 lalu, informasi itu benar-benar ada, bahkan berkembang tidak sekadar ada Masjid Agung, melainkan ada lembaga pesantren, tanah garapan milik masjid dan ada sisa situs berupa “ompak” landasan tiang masjid yang tertinggal di desa tetangga.
Selain sisa situs, lokasi Desa Jatisaba ternyata dekat dengan Desa Desa Kerten Jantiharjo, Kecamatan Matesih (kini), Kabupaten Karanganyar, yang pernah menjadi lokasi peristiwa “Perjanjian Giyanti” antara Pangeran Mangkubumi dengan utusan Belanda bernama Nikholas Hartings pada, 13 Februari 1755. Begitu pula dekat dengan Desa Jantisari, Kecamatan Bekonang, Kabupaten Sukoharjo, sebagai tempat pertemuan antara Sinuhun PB III dengan Pangeran Mangkubumi beberapa waktu setelah 13 Februari 1755, saat Sinuhun menyerahkan keris “Ki Kopek” simbol pola-asuh kepada pamannya itu. (Won Poerwono-bersambung/i1).