Publik Akan Meyakini Sebagai Tempat Berkumpul Orang-orang Beretika
IMNEWS.ID – BEBERAPA catatan sejarah tentang organisasi Pakasa di masa lalu yang ditulis atau disebut dalam beberapa judul buku, tak ada yang menyajikan uraian tentang bagaimana kisah perjalanan organisasi itu secara operasional riil di tengah kehidupan masyarakat, selain kisah tentang peran-peran di bidang sosial-politik.
Di sisi lain, organisasi Pakasa setelah dilahirkan pada 29 November 1931 juga tidak secara tegas sebagai organ dalam struktur administrasi pemerintahan, atau diatur secara tegas sebagai organisasi kemasyarakatan di luar pemerintahan. Bisa jadi, ini posisi itu akibat perkembangan tata negara dan tata sosial memang belum sampai ke tahap itu.
Karena situasi geo-sosial dan politik umum di sekitar perang dunia (PD) II memang baru sampai pada eforia berserikat, maka perubahan tata sosial tak bisa dielakkan terjadi di Nusantara khususnya di Jawa dan lebih khusus di lingkungan “nagari” Mataram Surakarta, yang terasa betul pada saat Sinuhun PB X jumeneng nata.
Beberapa faham untuk menyatakan bebas berekspresi, berserikat dan memperjuangkan hak azasi manusia yang lahir dari bangsa-bangsa barat, meluas ke bangsa-bangsa Asia, khususnya Asia Tenggara dan lebih khusus lagi ke Jawa, di saat masih negara monarki Mataram Surakarta masih eksis berdiri (1745-1945).
Dalam proses perubahan sistem sosial, politik, ekonomi, hukum, tata-negara dan sebagainya, Kraton Mataram Surakarta di bawah kepemimpinan Sinuhun PB X (1893-1939) menginisiasi kelahiran Pakasa, yang diikuti beberapa organisasi lain di dalam (Narpa Wandawa) dan di luar lingkungan kraton (Boedi Oetomo, organisasi keagamaan dan sebagainya).
Seiring perubahan sistem politik dan sistem pemerintahan, maka Pakasa seakan berdiri di dua wilayah berbeda. Satu kaki berdiri sebagai bagian dari pemerintahan, kaki yang lain berdiri lepas sebagai ormas. Eksistensi Pakasa yang bebas, bisa “berkenalan” dengan ideologi kiri maupun kanan, tetapi sudah “tutup buku” selepas 1946.
Pakasa yang bangkit di tahun 1990-an dan benar-benar dirawat menjelang proses suksesi tahun 2004, adalah Pakasa yang benar-benar “new reborn” yang sudah tidak mengenal anasir-anasir politis seperti di masa lalu. Pakasa “new reborn”, sudah ditegaskan sebagai organisasi wadah para “sutresna budaya”, yang hanya bergerak di bidang pelestarian budaya Jawa.
Namun, perubahan tatanan dunia yang melahirkan NKRI berubahnya posisi Kraton Mataram Surakarta sejak 1945 itu, tidak disertai lahirnya desain struktur dan sistem yang ada di Kraton Mataram Surakarta. Posisi Pakasa tidak tampak jelas di mana, bagaimana hubungan antara satu dan lembaga/elemen lain, serta bagaimana hubungan hirarki dengan kelembagaan kraton?.
Kurang-lebih dalam posisi seperti itu, Pakasa dikembangkan hingga mendapat pengesahan dari Kemenkumham dan Ditjen Kebangpol Kemendagri. Dengan landasan AD/ART ormas di bidang budaya, Pakasa dikembangkan sampai di tingkat cabang yang ada di tiap kabupaten, dengan memperkuat kembali ikatan emosional, kultural dan historis warga wilayah di eks “nagari” Mataram Surakarta.
Dalam upacara peringatan Hari Jadi ke-92 Pakasa yang belum lama lewat dilaporkan, ada 39 pengurus Pakasa cabang sudah terbentuk di dua wilayah provinsi yaitu Jateng dan Jatim, bahkan ditambah satu cabang di Jogja Provinsi DIY. Walau di tingkat cabang sudah berkembang luas sebanyak itu, tetapi hingga saat ini belum ada Pakasa cabang khusus Kota Surakarta.
Perkembangan yang sampai sejauh itu, keberadaan Pakasa “new reborn” juga belum jelas posisi hubungannya, baik terhadap sesama elemen di internal kelembagaan Kraton Mataram Surakarta maupun terhadap elemen di luar kelembagaan kraton, walau sudah ada payung besar yang mengayomi, yaitu Lembaga Dewan Adat yang dipimpin Gusti Moeng selaku Pangarsanya.
Karena bagan struktur posisi hubungan baik secara horisontal maupun vertikal tidak ada, maka menjadi tantangan yang termasuk krusial, ketika arah pertumbuhan dan pengembangan Pakasa sampai ke tingkat cabang maupun anak cabang (ancab), belum tersedia instrumen pola, tatacara dan model pembinaannya.
Padahal, untuk menghasilkan pengurus Pakasa cabang, termasuk di dalamnya pemimpin dan warga cabang yang punya kapasitas lengkap, genap dan tuntas sebagai “wong” Jawa, sangat diperlukan instrumen, pola, tatacara dan model pembinaan yang tepat dan ideal. Apalagi kalau mencakup posisinya yang juga sebagai kerabat masyarakat adat Mataram Surakarta.
Posisi hubungan yang sangat strategis untuk menghasilkan “wong” Jawa anggota Pakasa, sekaligus juga masyarakat adat Mataram Surakarta yang punya ciri-ciri khusus itu, mutlak harus terbangun sinergis dengan lembaga Sanggar Pasinaon Pambiwara yang punya kapasitas dan kapabilitas penuh di bidang itu. Apalagi jika harus paham budaya Jawa dan sejarah Mataram.
Profil “wong” Jawa anggota Pakasa sekaligus anggota masyarakat adat Mataram Surakarta yang ideal seperti itu, jelas akan menjadi kebutuhan riil sekaligus tantangan yang rasional bagi lembaga Pakasa tentunya. Karena, nama Pakasa akan bisa dikenal luas sebagai kumpulan orang-orang Jawa, yang dilihat dari label budayanya dan tidak akan diragukan lagi kualitasnya.
Yaitu kualitas pengetahuan budaya Jawanya, kualitas penguasaan tata-nilainya, kualitas standar etika publiknya, kualitas pengetahuan sejarah Mataram yang dikuasainya dan kualitas penampilan pribadi, dalam lingkungan keluarga, kualitas keluarganya dan yang akan mewarnai atau membedakan dengan kualitas lingkungan di berbagai tingkatan lebih luas.
Pakasa “new reborn” yang kini dikenal sebagai anak kandung Kraton Mataram Surakarta, lambat-laun akan diyakini publik sebagai organisasi berisi orang-orang yang punya kapasitas dan kapabilitas lebih dalam penguasaan budaya Jawanya, mulai dari tata krama, tata susila, tata-wicara, penampilan kepribadian dan cara-cara berpikirnya.
Lambat laun Pakasa akan menjadi label yang berwibawa, punya harkat dan martabat yang sangat mungkin akan dipersepsikan lebih dari yang ada di luar organisasi itu. Oleh sebab itu, akan sangat tidak masuk akal atau aneh, kalau ada warga Pakasa yang sama sekali tidak mencerminkan ciri-ciri khas sebagai “wong” Jawa yang lengkap, genap dan tuntas penguasaan budaya Jawanya.
Lambat-laun, Pakasa akan menjadi ormas yang harus berbeda kualitas moral, spiritual dan religinya dibanding organisasi-organisasi lain. Kapasitas dan kapabilitas di berbagai bidang yang menjadi ciri-ciri khasnya itu, yang akan membedakan dengan organisasi lain, apalagi organisasi berlabel “makan-makan” atau “handrawinan” atau sejenisnya.
Cepat atau lambat, dengan cara-cara pembinaan yang baik dan bisa melakukan hubungan sinergis dengan sanggar-sanggar pasinaon dan pawiyatan di dalam kraton khususnya Pasinaon Pambiwara, Pakasa akan bisa menjadi organisasi yang bisa menghasilkan SDM handal di bidang keahlian, menguasai tata-nilai budaya Jawa dan punya integritas moral yang baik.
Bukan tidak mungkin, orang-orang yang mau berorganisasi dengan baik di Pakasa, akan memiliki kualitas yang memenuhi syarat apabila menjadi pemimpin di berbagai bidang. Bukan pemimpin yang “esuk omong dhele, sore omong tempe” alias “mencla-mencle” karena stadar etika publiknya sangat rendah atau kualitas penalaran yang rendah.
Suatu saat kelak, Pakasa tak hanya menjadi tempat melengkapi kapasitas diri sebagai “wong” Jawa yang genap, lengkap dan tuntas untuk mengabdikan dirinya sebagai pelestari budaya Jawa. Tetapi juga bisa menghasilkan calon pemimpin di segala tingkatan yang “mumpuni”, bukan pejabat beratribut Jawa, berpangkat “Pangeran” yang sama sekali “ora weruh” Jawane.
Tetapi, warga Pakasa tidak menjadi warga dan organisasi yang eksklusif di tengah pergaulan dengan berbagai jenis organisasi di tengah masyarakat di lingkup darah, wilayah hingga bangsa. Warga Pakasa harus bisa berbaur “manjing ajur-ajer” di tengah masyarakat plural sesuai semangat Bhineka Tunggal Ika.
Ciri-ciri khas yang mudah dikenali dari label Jawa itu, jangan sampai malah meniru cara-cara kelompok lain yang pernah membentuk politik identitas. Karena menjadi teladan baik agar suasana pergaulan, pertemanan, persaudaraan dan perkerabatan menjadi sejuk, bisa dilihat dari kebiasaan menjalani kehidupan keseharian, bukan karena memaksa apalagi menakut-nakuti. (Won Poerwono-bersambung/i1).