
Akibat “Over Sensitivitas” Atau Memang Punya Maksud Lain?
IMNEWS.ID – SECARA langsung atau tidak, di berbagai jenjang kelembagaan struktural pemerintahan, legislatif, yudikatif dan lembaga TNI maupun Polri, sangat pantas diasumsikan mengetahui peristiwa eksekusi putusan Mahkamah Agung (MA) No.87/Pdt.G/2019/PN Skt (29 Agustus 2022) yang dipimpin Panitera PN Surakarta Dr Asep Dedi Suwasta SH MH, 8 Agustus 2024.
Karena, eksekusi yang dilakukan tim bersama juru sita di sela-sela upacara adat haul wafat Sultan Agung Prabu Hanyakrakusumwa di “gedhong” Sasana Handrawina, pada 8 Agustus itu, tentu menjadi catatan penting bagi kalangan aparat terpadu. Baik yang berkait dengan stablitas hankam dalam negeri maupun kamatibmas lingkungan sosial setempat.
Oleh sebab itu, lembaga-lembaga seperti jajaran Polri dari mabes sampai tingkat Polsek, TNI dari mabes sampai Koramil, pemerintahan dari pusat hingga tingkat kelurahan, pasti sudah mendapat pemberitahuan atau bahkan laporan resmi. Begitu pula lembaga-lembaga lain yang berkait dengan sosial, politik, budaya dan hukum seperti Kemenkumham sebagainya.

Asumsi itu tentu saja berdasar pada objek kelembagaan Kraton Mataram Surakarta dan Lembaga Dewan Adat (LDA) sebagai otoritas pengelola yang mendapat putusan MA tersebut. Karena kraton adalah objek vital (obvit), yang punya posisi dan status sebagai kawasan peninggalan sejarah bangsa yang dilindungi UU BCB No 11/2010 dan tercatat sebagai heritage dunia.
Karena berdasar pengalaman yang selama ini terjadi, setiap objek vital apalagi Kraton Mataram Surakarta “sedang punya masalah”, pasti cepat didengar pihak di jantung kekuasaan di negeri ini. Bahkan dengan cepat pula, langkah antisipasi diambil dan 2.400 personel Polri dan TNI dikerahkan pada insiden “mirip operasi militer”, 15 April 2017 itu.
“Over sensitivitas” kekuasaan di jantung negeri ini, mirip pepatah “jarum jatuh di antara tumpukan jerami saja pasti dengar”. Dalam terminologi inilah, ketika “Bebadan Kabinet 2004” menerima tim eksekusi PN Surakarta menjalankan eksekusi putusan MA No.87/Pdt.G/2019/PN Skt (29 Agustus 2022) dengan upacara di Kori Kamandungan (8/8/2024), pasti didengar pula.

Dengan asumsi itu pula, maka sebenarnya tak perlu mundur sampai peristiwa eksekusi terjadi di Kori kamandungan, 8 Agustus 2024. Ketika putusan MA No.87/Pdt.G/2019/PN Skt diterbitkan pada (29 Agustus 2022), berbagai tingkatan struktural lintas lembaga di eksekutif, legislatif dan yudikatif serta aparat di lingkungan Hankam dan Polri, seharusnya sudah dengar.
Tetapi asumsi itu yang mengandung unsur rasional sangat tinggi itu tetap “dikesampingkan” oleh Lembaga Hukum Kraton (Mataram) Surakarta (LHKS) yang dipimpin KPH Edy Wirabhumi selaku Pimpinan Eksekutif. Logika yang digunakan tetap saja kewajaran bahwa kesibukan atau berbagai peristiwa lain, mungkin “lebih didengar” dibanding peristiwa eksekusi putusan MA.
Penggunaan logika yang sebenarnya “jungkir-balik” itu, karena ada peristiwa yang menjadi bukti pembenarannya, yaitu penyerahan proyek Alun-alun Lor yang diserahkan pemerintah kepada lembaga Sinuhun PB XIII. Peristiwa yang menjadi bukti bahwa ada logika yang “jungkir-balik” tetapi dianggap normal ini, jelas merusak penalaran yang sehat atau tidak normal.

Menganggap rusaknya penalaran sehat sebagai hal yang biasa atau normal, dalam terminologi hubungan pemerintah dengan Kraton Mataram Surakarta dalam penyerahan proyek Alun-alun Lor itu, bisa diasumsikan “pemerintah justru mendukung” para “pembangkang” putusan MA tersebut. Padahal, putusan MA itu menegaskan, bahwa LDA adalah sah sebagai otoritas atas kraton.
Karena LDA ditegaskan sebagai lembaga yang berwenang atas otoritas Kraton Mataram Surakarta secara sah, final dan tetap, maka segala bentuk kebijakan yang pernah dikeluarkan lembaga Sinuhun PB XIII, batal karena demi hukum. Karena semua produk kebijakan yang dikeluarkan adalah perbuatan melawan/melanggar hukum seperti dijelaskan dalam putusan MA tersebut.
Berdasar asumsi itu, maka disebutkan sedikitnya ada tiga peristiwa produk kebijakan lembaga Sinuhun PB XIII yang batal demi hukum karena tidak sesuai dengan putusan MA. Seperti disebut dalam berita sebelumnya (iMNews.id, 13/1), tiga peristiwa itu adalah pembentukan Bebadan, badan pengelola kraton dan pengangkatan GRAy Devi sebagai pengelola museum.

Terhadap soal-soal yang secara jelas telah melanggar putusan MA itulah, GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA telah memerintahkan LHKS. Yaitu untuk mengirim surat pemberitahuan kepada sejumlah instansi lembaga struktural di atas, agar secara resmi menerima penjelasan dan penegasan soal posisi LDA yang sah seusai hukum.
Bersamaan itu, surat pemberitahuan yang disampaikan secara resmi itu diharapkan menjadi pemberitahuan secara resmi pula, yang secara tegas dan jelas menunjukkan bahwa LDA merupakan lembaga yang sah dan resmi sesuai hukum menjalankan otoritas di kraton. Sebab itu pula dijelaskan, semua produk lembaga Sinuhun PB XIII, tidak sah dan batal sesuai putusan MA itu.
Pada giliran berikut menjadi jelas dan tegas, bahwa pemerintah atau siapapun pihak berwenang sudah tidak dibenarkan mendukung lembaga Sinuhun PB XIII untuk segala keperluan yang berkait dengan hubungan antar lembaga. Karena, lembaga berwenang secara hukum atas otoritas pengelolaan kraton satu-satunya adalah LDA, bukan Sinuhun PB XIII. (Won Poerwono – bersambung/i1)