Memiliki Kelengkapan Lembaga Tinggi Departemen dan Tata-Ruangnya
IMNEWS.ID – KALAU pada seri sebelumnya (iMNews.id, 13/6) banyak disajikan profil demografis atau potret sosio-antropologinya, ini dimaksudkan untuk lebih memudahkan mendapatkan latarbelakang dan alasan mengapa ada jargon Ibu Kota Surakarta disebut ”Kota Bersumbu Pendek”. Kemudian, jargon yang selalu dimunculkan secara persuasif dan mengarah pada pembentukan opini publik yang arahnya buntuk penghapusan memori publik itu, selalu dihubungkan dalam rangkaian sebab dan akibat (kausalitas) dengan stabilitas nasional.
Katika variabel-variabel itu dirangkai, terbentuklah narasi bahwa Kota Surakarta atau Solo di mata para penguasa rezim pemerintahan masa lalu, dianggap memiliki sensitivitas yang tinggi apabila terjadi gesekan sosial, mengingat profil potret demografi sosio-antropologisnya sudah sangat heterogen dan plural, tetapi nyaris tidak dipandang sisi positifnya sebagai potensi kebhinekaan yang memiliki makna konotatif.
Ketika gesekan sosial terjadi semisal yang berbau rasial di Mesen tahun 1980-an dan di Semanggi 1990-an, kalangan penguasa langsung memaknainya sebagai bentuk ancaman yang bisa mengganggu stabilitas nasional. Karena letupan kecil di Kota Surakarta yang hanya dipandang sifat heterogenitas dan pluralitasnya itu, dikhawatirkan bisa merembet ke daerah tedekat dan meluas menjadi kekacauan/amuk massa berskala nasional.
Namun, dua kali gesekan sosial yang pernah terjadi itu, faktanya memang tidak merembet ke luar kota atau tidak sampai melahirkan kekacauan/amuk massa atau gerakan berskala nasional kalau diasumsikan sebagai potensi anti rezim pemerintahan Orde Baru. Tetapi, itu karena instrumen keamanan dalam rangka menjaga stabilitas nasional pada waktu itu sangat kuat, berlapis-lapis, dalam konsentrasi tinggi dan fokus untuk menjaga Kota Surakarta ”jangan sampai bersumbu pendek”?, atau memang hanya sebuah bentuk kreasi agar Surakarta eks Ibu Kota Mataram yang eksistensinya tinggal sebatas lembaga budaya/peradaban itu terus-menerus berstigma negatif/buruk?.
Jadi, ketika menganalisis latarbelakang dan alasan jargon ”Kota Bersumbu Pendek” yang selalu ditonjolkan sebagai sosok yang menakutkan di satu sisi, lalu apa hubungannya dengan makna dan manfaat ”kebesaran” eks ”Ibu Kota Negara Mataram Surakarta” dengan segala aset-asetnya di sisi lain? Benarkah jargon itu lebih penting dari fakta tentang ”kebesaran” Mataram Surakarta yang telah 200 tahun (1745-1945) melembaga dan mapan sebagai ”bangsa” Jawa bagi kehidupan baru yang hendak dibangun pasca proklamasi NKRI?
Lambat-laun, upaya membangun opini publik dalam bentuk jargon ”Kota Bersumbu Pendek”, menjadi menguap sedikit demi sedikit, karena publik secara luas tidak pernah menemukan jawaban secara faktual masuk akal. Apalagi ketika memasuki era Reformasi yang didukung era digital di alam milenial, semua menjadi terbuka seluas-luasnya, meskipun banyak data faktual dan pengalaman empiris terlanjur lenyap bersama tokoh-tokoh generasi yang membawa/memilikinya.
Masif, Sistemik dan Terstruktur
Kini semua mulai terbuka, dan semakin kelihatan bahwa antara kebesaran bekas ”Ibu Kota”negara Mataram Surakarta dengan jargon ”Kota Bersumbu Pendek”, adalah dua hal yang berbeda dan dalam pandangan akal sehat nyaris tidak ada hubungannya. Tetapi, rupanya ada kekhawatiran atau ketakutan bagi pihak-pihak tertentu, sehingga selalu berupaya merekayasa sebuah alasan dan mengkreasi hubungan antara variabel-variabel itu dalam bangunan opini yang disebarkan secara masif, sistemik dan terstruktur.
Pihak-pihak tertentu seperti banyak disebut secara tersirat dalam buku ”Dicari; Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan” (Dr Julianto Ibrahim-2004) maupun buku ”Suara Nurani Keraton Surakarta” (Dr Sri Juari Santosa-2002), pada garisbesarnya memang ”sangat berkehendak” untuk menghancurkan atau meniadakan dan menghapus jejak atau tapak peradaban sejarah ”kebesaran” Mataram Surakarta dari bumi Nusantara atau republik ini.
Jalur pendidikan dan instrumen penerangan (Departemen Penerangan), merupakan mesin-mesin yang bekerja masif, sistemik dan terstruktur (kandidat doktor UNS, Widodo Aribowo/ iMNews,15/2), dalam proses penghapusan memori publik tentang sejarah masa lampau bangsa, terutama yang dianggap membahayakan ”stabilitas nasional”. Termasuk, tentang kebesaran ”nagari” Mataram dan fakta tentang Surakarta yang sudah berpengalaman selama 200 tahun sebagai Ibu Kota negara Mataram.
Adanya dugaan hancurnya simbol-simbol ”negara” Mataram Surakarta dan sisa-sisa peradaban ”bangsa” Jawa memang terkesan sangat dikehendaki penguasa, menjadi salah satu motif di satu sisi. Kemudian, adanya stigma positif yang begitu banyak dimiliki eks Ibu Kota negara dengan semua eks wilayah kedaulatannya (di 2/3 pulau Jawa-Red), adalah fakta realistik di sisi lain. Tapi mengapa stigma negatif yang terlampau sedikit itu, justru menjadi begitu besar dan dipersepsikan sebagai ancaman sangat menakutkan bagi stabilitas nasional?
”Yang jelas, dulu ‘nagari’ (negara-red) Mataram Surakarta punya 170-an pabrik gula (PG), yang tersebar di wilayah kedaulatannya. Karena, saat itu negara Mataram memerintah sekitar 50 wilayah kabupaten (kini masuk Provinsi Jateng dan Jatim-Red). Punya pemerintahan dengan pembagian kekuasaan (eksekutif, judikatif dan legislatif), lembaga pendidikan (perguruan Mamba’ul Ulum), banyak badan usaha, rumah sakit dan punya kelengkapan organ sebagai sebuah negara dan kelengkapan sebagai Ibu Kota negara di Surakarta”.
”Daerah sekitarnya (kini Subosukowonosraten-Red), adalah penyangga (hinterland). Termasuk di wilayah yang jauh, yang dihubungkan dengan sarana transportasi milik badan usaha nagari Mataram, yang berpusat di Ibu Kota, Surakarta. Baik untuk sarana angkutan perputaran roda ekonomi, bahan-bahan industri dan segala kebutuhan sebuah negara dan sebagainya,” papar Dr Purwadi selaku Ketua Lokantara yang berkantor pusat di Jogja, yang dihubungi iMNews.id, kemarin.
Ibu Kota Provinsi DIS
Fakta-fakta tentang perkembangan pengetahuan dan teknologi serta hasil dari pemanfaatannya secara nyata, selama 200 tahun Ibu Kota ”nagari” Mataram berfungsi itu, jelas untuk meneruskan dan menyempurnakan karya-karya peradaban sebelumnya. Mulai karya para leluhur Mataram dengan Ibu Kota Kartasura (1703-1742), Mataram yang beribukota di Kutha Gede (1613-1703) maupun Mataram yang berikbukota di Plered (1588-1613).
Sebagai Ibu Kota negara Mataram, Surakarta memiliki pusat pemerintahan secara monarki yang dipimpin langsung seorang Sinuhun Paku Buwono (II hingga XII), yang tinggal dan beraktivitas di kawasan dan tata ruang serta berbagai bangunan pengisinya, yang secara struktural kini masih bisa dilihat mulai dari gapura Gladag, hingga gapura Gading yang luasnya sekitar 90 hektare. Di situ, dilengkapi dua Alun-alun, Kidul (selatan) dan lor (utara) yang masing-masing luasnya dua kali lapangan sepakbola, serta kagungandalem Masjid Agung yang Sinuhun PB II disediakan untuk umum.
Kemudian, dilengkapi dengan pusat pemerintahan secara administratif yang dipimpin seorang ”pepatihdalem” yang secara adat harus tunduk pada Sinuhun PB, tetapi punya kawasan perkantoran di kompleks Kepatihan (kini Kelurahan Kepatihan Kulon dan Kepatihan Wetan). Tetapi, di 1949 ada peristiwa Agresi Belanda/Clash kedua yang dimanfaatkan kelompok-kelompok tertentu, seperti yang terlukis dalam buku ”Dicari; Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan” (Dr Julianto Ibrahim-2004) maupun buku ”Suara Nurani Keraton Surakarta” (Dr Sri Juari Santosa-2002) yang ”sangat diyakini” terlahir dari ”komunitas Mbarongan” yang sudah ada sejak pelabuhan Beton, Nusupan dan Bathangan berfungsi, jauh sebelum 1745.
Dengan fakta-fakta dan bukti-bukti nyata itu, apa ya masih mau dikesampingkan atau diingkari? Kalau Alun-alun Kidul banyak digunakan warga untuk berbagai kegiatan, olah raga dan berjualan seperti sekarang ini, apa keraton masih dianggap tidak ada manfaatnya? Kalau Alun-alun Lor selama beberapa tahun terakhir menjadi tempat relokasi pedagang Pasar Klewer, kurang manfaat apa keraton? Masih ada Masjid Agung bernilai sejarah tinggi dan terbuka untuk umum, apakah ini tidak ada nilai manfaatnya? Itu baru sebagian kecil dari manfaat bekas Ibu Kota negara Mataram.
” Kalau kita mau jujur, masih banyak lagi bagian dari kebesaran Ibu Kota yang sampai sekarang bermanfaat bagi publik secara luas. Saya memang belum mengenal semua kebesaran ‘nagari” Mataram. Karena, saya masih ingin terus belajar mencari. Tetapi dari sedikit yang saya tahu ini saja, sudah membuat saya dan keluarga merasa beruntung menjadi warga Solo”.
”Beruntung lahir dan hidup di Surakarta yang pernah jadi Ibu Kota negara selama 200 tahun. Beruntung bisa tinggal di Surakarta. Katanya, dulu pernah jadi Ibu Kota (Provinsi) Daerah Istimewa Surakarta. Kenapa tidak diteruskan? Sayang ‘kan? Semua yang diperlukan untuk itu sudah ada kok, mau apa lgi?,” ketus KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, seorang pemerhati budaya Jawa dan keraton dari sisi spiritual dalam kalimat bertanya, saat dimintai pandangannya oleh iMNews.id, kemarin. (Won Poerwono-bersambung)