Pakasa Cabang Kudus Punya Tanggung-jawab Merawat Pelestarian Budaya dan Peradaban Mataram
IMNEWS.ID – MENGEKSPLORASI jejak peran penting Sunan Kudus melalui keturunannya, Bupati Kudus Adipati Tirtakusuma dan putrinya Kanjeng Ratu Kentjana yang diperistri (prameswari-Red) Sinuhun Amangkurat Jawi, masih ada kajian sejarah yang dituangkan dalam tiga judul karya Macapat. Dr Purwadi juga melukiskan kekayaan alam yang dikelola “negara”, waktu itu.
Tiga penyusunan narasi sejarah melalui tembang Macapat itu, berjudul “Tuk Lenga Mentawis”, “Pancuran Minyak Bumi” dan “Minyak Bumi Kraton Mataram”. Tembang “Asmarandana” yang mengawali judul “Tuk Lenga Mentawis”, melukiskan tambang minyak melimpah di antara sepanjang Gunung Kendheng dan Gunung Renteng, mulai dari Padangan Ngepeh hingga Randublatung.
Tambang minyak yang dikelola dalam sebuah “perusahaan tradisional” waktu itu, dikelola dengan baik Bupati Kudus Adipati Tirtakusuma. Kegiatan usaha pertambangan minyak bumi ini, menjadi salah satu kekuatan ekonomi Adipati Tirtakusuma, yang kelak dimanfaatkan Kanjeng Ratu Kentjana untuk memodali Sinuhun PB II mempersiapkan Ibu Kota baru Mataram di Surakarta.
Lirik tembang Asmarandana itu berbunyi :”Tuking lenga trus mili, Mrembes ing perenging arga, Gunung Kendheng kulon-wetan, Sumber suku Gunung Renteng, Padhangan Ngepeh Temayang, Montong Jenu Bancar Widang, Jepon Bradag Randublatung, Winengku Tirtakusuma”. Ada beberapa nama desa yang kini masih eksis, di antaranya Padhangan, Ngepeh hingga Jepon, Randublatung.
Kajian sejarah yang dilakukan Dr Purwadi di antaranya dari “Serat Cebolek” (Pujangga Kyai Jasadipoera/Yosodipuro-Red) tahun 1748, didapat data bahwa bisnis minyak bumi yang dikelola keluarga Adipati Tirtakusuma sampai ke Temasek, Singapura sebagai pusat dagang di selat Malaka. Dia mewarisi akses dagang yang dibuka Pangeran Hadlirin (suami Ratu Kalinyamat).
Dr Purwadi melukiskan kegiatan dagang sampai ke selat Malaka ini dalam tembang “Mijil” :”Ratu Kentjana Kudus dumugi, Sungapura kantor, Punjer dagang Malaka Temasek, Sade lenga ing manca nagari, Wanci nemu bathi, dhuwit tumpa-tumpuk”. Tak hanya sang ayah, Kanjeng Ratu Kentjana-pun diketahui juga mengurus bisnis ini sampai berkantor di Temasek, Singapura.
Dalam berbagai tembang dari 11 jenis Macapat yang disajikan, melukiskan banyak hal yang berkait dengan potensi kekayaan alam yang dikelola Adipati Tirtakusuma dan putrinya yaitu Kanjeng Ratu Kentjana, untuk membiayai kebutuhan putranya, yaitu Sinuhun PB II memimpin “nagari Mataram” saat di Ibu Kota Kartasura (1729-1745) maupun di Ibu Kota baru Surakarta.
Perusahaan bisnis dagang minyak di kantor Temasek, Singapura yang ditangani Kanjeng Ratu Kentjana terus mendukung Sinuhun PB II saat pindah di Mataram Islam Surakarta(1745-1749), untuk merampungkan semua bangunan infrastruktur Ibu Kota negara Mataram Surakarta. Sampai tahta berganti ke Sinuhun PB III (1749-1788) itu, dukungan dana dari bisnis masih berlanjut.
Selain sumber kekayaan alam berupa tambang minyak dan pengelolaannya, dalam sajian tembang Macapat itu juga dilukiskan kekayaan alam lain yang khas pegunungan Kendheng dan Gunung Renteng yang menonjol yaitu burung perkutut dan kayu jati. Tak hanya kearifan mengelola ekologi alam, pengetahuan dan teknologi juga dikembangkan untuk mendukung bisnis dagang itu.
Pengetahun ekonomi bisnis dan perdagangan saat itu, sudah berkait dengan lahirnya lembaga perbankan yang disebut “Bandha Lumaksa”. Karena, sejak zaman Mataram, bahkan sejak Sinuhun Prabu Hanyakrawati, Raja ke-2 Kraton Mataram (1601-1613), sudah butuh semacam lembaga pencetak mata uang, sekaligus untuk menyimpan uang hasil sewa bangunan gedung di Batavia.
Dalam kajian Dr Purwadi, bangunan gedung di Batavia (DKI-Red) di bawah otoritas Sinuhun Prabu Hanyakrawati, disewakan untuk mendukung kegiatan dagang para saudagar dari Eropa dan Asia. Ketika dianalisis, walau ada rentang waktu jauh, tetapi sangat rasional ketika pada zaman Sinuhun Amangkurat Jawi apalagi Sinuhun PB II mewujudkan lembaga perbankan.
Lembaga perbankan semakin menjadi keniscayaan pada zaman Sinuhun PB II masih jumeneng nata di “nagari” Mataram Islam Kartasura, selain untuk mendukung kegiatan ekonomi bisnis dan perdagangan di atas, juga mengakomodasi kebutuhan bisnis pengelolaan pelabuhan dan tambang emas yang sudah dirintis pada zaman Sinuhun Amangkurat Agung (1645-1677) di Banyumas.
Dalam lalu-lintas kegiatan ekonomi bisnis yang sudah banyak, beragam, meningkat intensitasnya dan mulai mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi modern saat itu, Kanjeng Ratu Kentjana bisa mengakomodasi dan mengurus dengan baik sampai tiga generasi. Yaitu mulai dari sang suami (Sinuhun Amangkurat Jawi), putranya (Sinuhun PB II) dan cucunya (Sinuhun PB III).
Di antara bisnis yang diurus dan diakomodasi sebuah perusahaan keluarga besar di bawah kendali Kanjeng Ratu Kentjana itu, adalah kegiatan ekonomi industri yang sudah berkembang pesat di kota Kudus sendiri. Kegiatan perekonomian yang lebih dominan ditopang kegiatan industri maju pesat di Kudus, melebihi daerah-darah lain, sehingga butuh perhatian khusus.
Industri cor logam, ukir kayu, dagang kayu, tekstil, minyak, emas dan beberapa lainnya pernah jaya di Kudus bahkan hingga sekarang tetap berjaya walau dalam wujud komoditas lain, di antaranya industri tembakau. Potensi industri ini menjadi keunggulan lain Kabupaten Kudus sejak menjadi bagian dari NKRI, tetapi kalah pamor dan publikasi dari potensi religi.
Kini, dengan tampilnya Pakasa Cabang Kudus yang dipimpin KRA Panembahan Didik Gilingwesi yang semakin eksis dalam sekitar 3 tahun ini, akan menambah keragaman Kabupaten Kudus yang belakangan ini lebih dikenal dan menonjol sebagai Kota Santri. Organisasi Pakasa cabang ini akan menjadi motor penggerak untuk ikut mewarnai agar bisa memunculkan potensi lain Kudus.
Selain potensi ekonomi indsutri dan perdagangan yang membuat Kudus dikenal punya orang terkaya di Tanah Air dan industri tembakau (pabrik rokok) paling banyak, Kudus harus menampilkan potensi budaya warisan leluhur Sunan Kudus dan Dinasti Mataram. Karena senyatanya, keduanya punya ikatan bersaudara sejak Kanjeng Ratu Kentjana dan nama besar Kyai Glongsor.
Pakasa Cabang Kudus yang lahir dari Pakasa Punjer beberapa tahun lalu, merupakan tangan panjang Kraton Mataram Surakarta, yang bertugas menjadi agen pelestarian Budaya Jawa dan peradaban yang lahir dari spiritual religi Sunan Kudus dan spiritual Jawa. KRA Panembahan Didik Gilingwesi Hadinagoro, diharapkan menjadi pelopor pengenalan kembali peradaban Jawa.
Menyikapi esensi keberadaan Pakasa Cabang Kudus dan tugas pelestarian Budaya Jawa itu, KRA Panembahan Didik Gilingwesi sudah sejak awal menyatakan tekadnya untuk mengemban tugas yang diberikan Kraton Mataram Surakarta, secara langsung atau melalui pengurus Pakasa Punjer. Tugas-tugas itu sudah terpetakan dan akan dijalankan dengan sekuat tenaga.
“Kami sudah bertekad, melalui Pakasa cabang akan menjalankan tugas yang diharapkan Kraton Mataram Surakarta dan Pakasa Punjer, sesuai gawa-gawe yang sudah dan akan diamanatkan. Kami yakin, Kudus pernah besar karena bersinergi dengan Budaya Jawa. Para leluhur kami, selain dari Sunan Kudus, ternyata juga dari Mataram,” ujar KRA Panembahan Didik Gilingwesi.
Referensi sejarah yang diberikan Dr Purwadi melalui tembang-tembang Macapat, sangat diapresiasi. KRA Panembahan Didik sedang mendalami eksistensi tokoh Kyai Glongsor, sebagai salah seorang leluhur dari Sunan Kudus, yang memiliki warisan simbolik mengesankan. Selain terompet, ada bebera pusaka warisannya yang kini sedang dilacak untuk kegiatan Pakasa. (Won Poerwono-habis/i1)