Judul “Hartaka Picis Kudus” dan “Bale Bank Mataram”, Cermin Majunya Ekonomi Industri Kudus
IMNEWS.ID – SECARA khusus, Dr Purwadi masih memiliki hasil kajian sejarah tentang kebesaran (Kabupaten) Kudus yang antara lain ditelusuri melalui “Serat Cebolek” (1748). Hasil kajian yang dituangkan dalam tembang Macapat berjudul “Hartaka Picis Kudus” dan “Bale Bank Mataram” itu, mengungkap peran Kudus yang lebih dulu mengenal era ekonomi modern.
“Jadi, (Kabupaten) Kudus sudah dikenal sebagai kota industri sejak zaman Sinuhun Amangkurat Jawi. Bahkan, sejak zaman Sinuhun Amangkurat Agung menangani tambang emas di Pancurendang, tambang minyak di Bojonegoro dan sepanjang pegunungan renteng dan pegunungan Kendeng. Ahli manajemen yang menangani itu semua ternyata dari Kudus. Ini ada buku tentang itu”.
“Buku biografi RMAA Tjandranagara V (Perjalanan Arya Purwalelana-George Quinn), adalah kumpulan laporan pembukuan kegiatan manajemen para Bupati trah keturunan Sunan Kudus di beberapa lokasi industri. Mereka itu keturunan Bupati Kudus Adipati Tirtakusuma. Jadi, (Kabupaten) Kudus sudah mengenal manajemen industri modern di abad 18,” ujar Dr Purwadi.
Dari beberapa data dan fakta yang ditemukan dan dikaji, menunjukkan bahwa masyarakat (Kabupaten) Kudus punya potensi sisi kebesaran lain, selain yang dikenal publik sebagai pusatnya santri pelestari ajaran Sunan Kudus. Maka ke depan, Kudus harus dilihat secara menyeluruh, utuh dan berimbang, agar generasi penerus memiliki kebanggaan yang lengkap.
Fakta dan data ini menjadi jawaban yang rasional terhadap keberhasilan Sinuhun Amangkurat Jawi mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan ketika putranya, Sinuhun PB II menyusun perencanaan dan membangun Ibu Kota baru Mataram Islam di Surakarta Hadiningrat, berikut menyusun dan membiayai proses perindahan dari Ibu Kota lama Kartasura ke Surakarta.
“Jadi, di satu sisi bentuk-bentuk kegiatan usaha di bidang ekonomi itu adalah sisi lain jawaban atas bagaimana Sinuhun PB II membiayai perpindahan dan membangun Ibu Kota baru Mataram Islam di Surakarta. Di sisi lain, merupakan jawaban rasional atas peringgahan Sinuhun PB II menyusun perencanaan dan strategi sampai 7 tahun di Ponorogo (1738-1745)”.
“Tetapi, fakta-fakta dan data seperti ini tidak disukai pihak-pihak tertentu. Tujuannya, jangan sampai bangsa kita tahu banyak tentang kebesaran Mataram. Padahal, Mataram menjadi pelopor pembangunan di segala bidang secara fisik dan pengetahuan keilmuan. Sedangkan Majapahit dan lainnya hanya untuk membangun angan-angan tentang kepahlawanan,” ujarnya.
Dr Purwadi bahkan menunjukkan, para administrator keturunan Sunan Kudus yang berpengalaman sebagai Bupati dan manajerial di berbagai potensi industri, telah mengantarkan tokoh-tokohnya menjadi tenaga ahli di lembaga Kantor Kepatihan. Selain trah Patih Sindurejo sampai Sosrodiningrat, trah RMAA Tjandranagara juga banyak membantu di kantor Kepatihan.
“Jadi, selain kebutuhan biaya pemindahan Ibu Kota yang bisa diatasi permaisuri Kanjeng Ratu Kentjana (Kudus) dari hasil pengelolaan industri yang dilakukan Adipati Tirtakusuma, untuk menata ruang ‘negara’ di berbagai bidang, perlu dukungan biaya, pengetahuan dan teknologi. Ketiganya diperlukan untuk membagi tata ruang dan bangunan sarana infrastrukturnya”.
“Ketika Sinuhun PB II mengadakan studi banding ke negara-negara Eropa dan Timur-Tengah, Kanjeng Ratu Kentjana juga ikut. Maka, dia juga banyak memberi sumbang saran sesuai pengetahuan dan keilmuan yang didapat dari studi banding itu. Melalui Ratu Kentjana Kudus, trah keturunan Sunan Kudus berkontribusi banyak di luar urusan spiritual religi,” sebut Dr Purwadi.
Sampai di sini, banyak sekali fakta dan data yang sesuai dengan informasi yang didapat KRA Panembahan Didik Gilingwesi (Ketua Pakasa Kudus). Baik dari dokumen sejarah yang didapat di Kudus, maupun penuturan turun-temurun dari eyang-eyangnya trah Sunan Kudus melalui dua istri, khususnya dari Panembahan Makhaos, misalnya mengenai potensi ekonomi Kudus.
“Dari cerita eyang-eyang saya, di Kudus banyak sekali perusahaan dan berbagai industri sehingga banyak sekali orang kaya. Tetapi soal latar-belakang sejarah peran Bupati Tirtakusuma dan Kanjeng Ratu Kentjana terhadap Mataram Kartasura, kami dan masyarakat Kudus banyak yang belum paham. Mengenai tembang Macapat dan tradisi lain, kami masih mengenal”.
“Tetapim mungkin hanya dalam keluarga saya yang masih mengenal. Karena, sejak kecil saya diajari tembang Macapat dan melagukannya. Di antaranya Pucung, Dhandhanggula dan Durma. Tradisi lain seperti Gula-Klapa sebagai simbol Merah-Putih, eyang-eyang saya juga selalu menunjukkan fungsi dan manfaatnya, walau tidak dijelaskan maknanya,” ujar KRA Panembahan.
Ketua Pakasa Cabang Kudus yang bernama lengkap KRA Panembahan Didik “Alap-alap Gilingwesi” Hadinagoro itu berterima kasih diberi referensi soal kebesaran Kudus dari berbagai sisi di luar spiritual religi, yang disajikan dalam tembang Macapat. Karena, dirinya berjanji akan kembali mengenalkan Budaya Jawa dan sejarah kepada warga Kudus melalui Pakasa.
KRA Panembahan Didik tidak hanya ingin menambah jumlah anggota Pakasa dan memperluas jumlah Anak Cabang di tiap kecamatan, tetapi berjanji ingin mengedukasi warganya agar kembali mengenal Budaya Jawa, memahami dan mencintai sebagai pelestari. Edukasi tentang sejarah hubungan darah antara Mataram Kartasura-Surakarta dengan Kudus juga sangat penting.
Dalam tembang Macapat yang ditulis Dr Purwadi berjudul “Hartaka Picis Kudus” dan dimulai dari tembang “Maskumambang”, syairnya berbunyi :”Trus lumaris sasana hartaka picis, Saking Kudus Kartasura, Ratu Kencana murwani, Kaloka Bandha Lumaksa. Syair tembang ini menunjukkan, bahwa lembaga perbankan “Bandha Lumaksa”, sudah dikenal sejak Kraton Kartasura.
Lembaga pengelola keuangan modern yang disebut perbankan, sudah dikenal sejak zaman Sinuhun Amangkurat Jawi yang melibatkan Kanjeng Ratu Kentjana sebagai salah satu pengelolanya. Lembaga itu berfungsi penuh dikenal di zaman Sinuhun PB X, tetapi sudah tidak berfungsi di era Sinuhun PB XII, walau bangunannya masih kokoh di utara pagar tembok Baluwarti.
Di syair tembang “Kinanthi” disebut :”Bandha lumaksa binangun, Sunan Amangkurat Jawi, Piranti wadhah hartaka, Raja brana emas picis, Gagasan Ratu Kentjana, Wulangan gemi setiti”. Dari dua tembang tersebut didapat kata kunci “bandha lumaksa” yang artinya harta (uang) berjalan yang menghasilkan bunga bank, kemudian “picis” yang artinya sebuan satuan uang.
Sementara dari tembang Macapat berjudul “Bale Bank Mataram”, di bait kedua tembang “Gambuh” disebut :”Bank Mataram binangun, Kebak purun narendra Sinuhun, Kanjeng Sunan Paku Buwana kaping Dwi, Pitulas papat nem tahun, Hadeging hartaka gedhong. Bait tembang itu jelas menyebut, tahun 1746 Sinuhun PB II mendirikan kantor bank di Ibu Kota baru Surakarta.
karya penyusunan narasi sejarah dalam format tembang Macapat ini, merupakan salah satu bentuk dan cara meluruskan sejarah dan membuka misteri kebesaran Mataram khususnya sejak Sinuhun Amangkurat Jawi dan putra mahkota penerusnya, Sinuhun PB II. Karena, selama 79 tahun Indonesia merdeka, masyarakat bangsa ini dibutakan dari peran dan jasa Mataram.
Terlebih bagi Kabupaten Kudus dan masyarakatnya, selama ini hanya mengenal satu sisi kebesaran Kudus dari keteladanan Sunan Kudus saja. Negara tidak pernah menunjukkan sisi-sisi kebesaran lain di luar spiritual religi. Padahal, Kudus punya hubungan dengan Mataram Kartasura, yang melahirkan berbagai sisi kebesaran lain, termasuk peradaban setelahnya. (Won Poerwono – bersambung/i1)