Penulisan “Ketib Anom Kudus” dan “Ratu Kentjana Kudus”, Bisa Memberi Arah Warga Menemukan Jatidiri
IMNEWS.ID – PENGGALIAN data dan fakta sejarah perjalanan Kraton Mataram Islam saat berIbu Kota di Kartasura, terutama pada zaman Sinuhun Amangkurat Jawi (1719-1727) dan penerusnya, Sinuhun PB II (1727-1749), banyak terungkap informasi kekayaan seperti karya seni, budaya, keilmuan, spiritual religi, sosial-politik dan teknologi dalam “Serat Cebolek”.
Peneliti sejarah dari Lokantara, Dr Purwadi (Ketua Pusat), banyak menemukan peran dan sumbangan Sunan Kudus melalui keturunannya, Bupati Kudus Adipati Tirtakusuma. Puteri Bupati, Kanjeng Ratu Kentjana dan sang suami, Sinuhun Amangkurat IV atau Jawi juga penerusnya, Sinuhun PB II itu, telah memposisikan Kudus sebagai penuntun arah kehidupan spiritual.
“Sebenarnya, konflik antar aliran itu masalah internasional. Tetapi mengganggu jalannya pemerintahan Sinuhun Amangkurat IV. Karena terjadi di pesisir utara dan memuncak pada zaman Sinuhun PB II menggantikannya. Maka, Ketib Anom Adipati Ngurawan dari Kudus ditugaskan untuk mengatasi, agar konfilk itu tidak menggangu stabilitas keamanan negaranya”.
Selain “Pakasa Pang Kudus”, “Terompet Pusaka Kyai Glongsor” dan “Daya Pusaka Kyai Glongsor”, Dr Purwadi juga masih punya dua karya penyusunan narasi sejarah berlatarbelakang Mataram Kartasura. Yang berjudul “Ketib Anom Kudus” dalam syair tembang Macapat diawali tembang Sinom, satunya lagi narasi silsilah berjudul “Ratu Kencono (Kentjana) Kudus”.
Karena isi “Serat Cebolek” yang ditulis Pujangga Kyai Jasadipoera (Yasadipura) tahun 1748 banyak mengisahkan persiapan dan masa transisi pindahnya Ibu Kota Kraton Mataram Islam dari Kartasura ke Surakarta dimulai sejak zaman Sinuhun Amangkurat IV (ayah Sinuhun PB II), maka isinya penting sekali untuk peradaban luas masa kini terutama warga Kudus.
Dokumen sejarah manuskrip yang termasuk tua itu, mulai memunculkan sebuah sistem pemerintahan baru hasil studi banding Sinuhun Amangkurat Jawi dan Sinuhun PB II ke beberapa negara di Eropa dan Timur-Tengah. Juga tentang berbagai bidang teknologi, misalnya untuk infrastruktur Ibu Kota negara, bendungan/waduk, irigasi, pembagian wilayah administratif.
Juga pengetahuan untuk menentukan batas-batas wilayah administratif untuk keperluan pengairan dan pertanian. Yang juga menonjol dari “Serat Cebolek” adalah pengetahuan tentang hukum, seperti dicontohkan ketika Sinuhun PB II saat jumeneng di Kraton Mataram Kartasura (1727-1745) menugaskan Ketib Anom Adipati Ngurawan untuk mengadili konflik antar aliran.
Karena posisi “Hakim Agung” atau Ketib Anom dipercayakan kepada Adipati Ngurawan yang masih trah Sunan Kudus, maka sifat peradilan yang digunakan adalah peradilan yang humanis. Penganut spiritual religi pimpinan Syeh Mutamakin sebagai penganut aliran Syeh Siti Jenar, tidak dihukum mati oleh Adipati Ngurawan sebagai pemimpin Golongan Anshor (Glongsor).
“Aliran Syeh Mutamakin yang didemo aliran pesaingnya di Batang dan Kaliwungu (Kendal), bisa diselesaikan seadil-adilnya oleh Ketib Anom dari Kudus yang punya kediaman di Gemolong (Sragen) itu. Tetapi, keberhasilan penyelesaian secara hukum itu, bukan berarti sudah tidak ada konflik atau selesai. Sampai sekarang, masih ada di mana-mana,” ujar Dr Purwadi.
Dalam karya berjudul “Ketib Anom Kudus”, dalang wayang kulit klasik konvensioal yang mengambil kisah Kraton Kartasura zaman Sinuhun Amangkurat Jawi yang diangkat ke pakelirannya itu, melukiskan kisah Adipati Ngurawan dalam tembang “Sinom”. Bait ke-1 kurang lebih demikian syairnya :”Ketib Anom Kudus nabda, Adhedhasar bener adil, …..(bersambung)”.
Berikut sambungannya :”…. Pengadilan Kartasura, Ngurawan hakim pinilih, Wajib pujangga nagri, Lelandhesan wulang hukum, Brayat bisa tumata, Tebih saking pilih-kasih, Padha bangsa mardi manunggaling karsa. Bait kedua : “Pitungkas para taruna, Dimen yuwana basuki, Becik rumeksa pusaka, Trompet Kyai Glongsor yekti, Warisan pra-winasis, bersambung….”.
Berikut sambungannya :”… Leluhur wilayah Kudus, Karaton Kartasura, Gya ngembani Prameswari, Ratu Kencana putri Tirtakusuma. Dalam dua bait tambang “Mijil”, dikisahkan soal Kyai Mutamakin (Pati) yang melakukan syi’ar agama meneladani ajaran gurunya, Syeh Siti Jenar tentang “makrifat sejati” atau aliran “Wahdatul wujud”.
Sampai di sini, hasil eksplorasi Dr Purwadi terhadap dokumen sejarah masa lalu yang melukiskan adanya hubungan para leluhur masyarakat Kudus dengan para leluhur Dinasti Mataram, khususnya sejak Kraton Mataram Kartasura, akan menjadi cahaya pencerahan yang baik. Khususnya bagi masyarakat Kudus yang disebut nyaris kehilangan sebagian jatidirinya.
Data dan fakta sejarah yang dimulai dengan hubungan perkawinan antara Sinuhun Amangkurat Jawi dengan Kanjeng Ratu Kentjana (putri Bupati Kudus), jelas menegaskan adanya hubungan darah antara kedua lembaga masyarakat adat itu. Meskipun pada zaman sebelumnya, hubungan sosial dalam kelembagaan negara/kerajaan sudah dilakukan leluhur mereka masing-masing.
Karena ada data yang juga menunjukkan, bahwa jabatan Ketib Anom yang kali pertama diberikan Sunan Kudus oleh Kraton Demak (abad 15). Peta hubungan sosial agak berubah di zaman Kraton Pajang (abad 16) hingga Dinasti Mataram berdiri oleh Raja Kraton Mataram pertama Sinuhun Panembahan Senapati dan Sinuhun Prabu Hanyakrawati, tetapi kemudian berlanjut lagi.
Sejak zaman Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, hubungan sosial, budaya, politik, spiritual religi dan sebagainya antara Kraton Mataram Islam dengan keturunan ajaran Islam moderat yang humanis yang diteruskan para trah-keturunan Sunan Kudus bahkan meningkat intensitas derajatnya. Karena Islam yang dikembangkan adalah yang “Rahmatan ‘Lil alamin”.
Seiring dengan perubahan geo-sosial, politik, budaya dan ekonomi yang masuk ke tanah Jawa dan wilayah Nusantara pada umumnya, patut dianalisis menjadi periode puncak persaingan antar aliran agama dan meluas sebagai masalah internasional. Karena konflik antara aliran itu menajam hebat pada zaman antara Sinuhun Amangkurat Jawi dan Sinuhun PB II.
Secara khusus, Dr Purwadi belum menyajikan hasil kajian tentang latar belakang ekonomi yang menghidupi masyarakat sejak Sunan Kudus dan perjalanan zaman ratusan tahun sesudahnya. Tetapi disebutkan dalam kajian-kajian bertema lain sebelumnya, bahwa daerah Kudus tumbuh besar menjadi daerah dan masyarakat industri sejak Sunan Kudus masih eksis.
“Sudah sejak zaman Sunan Kudus itu, daerah dan masyarakat setempat tumbuh besar menjadi pusat industri paling maju di kawasan Gunung Muria, bahkan lebih luas lagi. Maka, tidak aneh kalau sampai sekarang, Kabupaten Kudus punya banyak perusahaan yang mengendalikan berbagai beberapa bidang industri, dari rokok hingga produk elektronik”.
“Orang terkaya di Indonesia, berasal dari Kudus yang menguasai pabrik rokoh terbesar dan bank. Lalu-lintas perdagangan hasil hutan, kerajinan ukir kayu dan sebagainya dari Kudus, dulu melalui jalur pelabuhan Lasem, Rembang. Maka betul, warga Kudus kebanyakan, sibuk menguasai manajemen perusahaan dan industri dalam berbagai tingkatan,” ujar Dr Puwadi.
Secara terpisah, KRA Panembahan Didik Gilingwesi selaku Ketua Pakasa Cabang Kudus mengakui realitas itu di zaman sekarang ini. Beberapa hal yang menyangkut latar belakang adanya hubungan kekeluargaan antara Kudus dan Kraton Mataram, juga semakin diyakininya bisa memberi arah dan mengedukasi warga Kudus menemukan “sesuatu yang pernah hilang”. (Won Poerwono – bersambung/i1)