Mbah Ning Berharap Ada Generasi Penerus Sungging Wayang Beber
iMNews.id – MENYADARI dirinya tidak punya keturunan dari hasil perkawinan dengan sang suami tercinta, Soetrisna atau mbah Tris (83) yang sudah berjalan 40-an tahun hingga kini, mbah Ning hanya bisa berharap mudah-mudahan ada generasi muda seniman lukis atau sungging yang bisa meneruskan profesinya. Mudah-mudahan ada generasi muda yang tertarik mempelajari, agar karya seni wayang beber baik untuk pertunjukan maupun dekorasi/hiasan tetap lestari.
Harapan itu selalu diucapkan mbah Ning dalam setiap kesempatan ngobrol dengan penulis, yang sedikitnya sebulan sekali berkunjung di kediaman bersama mbah Tris, yang juga dijadikan Sanggar Lukis Wayang Beber ”Arini”, di Kampung Wonosaren, Kelurahan Jagalan, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta. Ungkapan itu selalu muncul, karena selama 30-an tahun menggeluti seni kriya sungging wayang beber, tak ada satupun yang berguru dan belajar kepadanya mau tampil sebagai seniman penerusnya.
Sebagai seorang seniman kriya sungging wayang beber yang berkelas maestro, Mbah Ning sudah sangat dikenal di lingkungan ISI Solo jurusan seni kriya tradisi, juga FSR UNS jurusan lukis, atau ISI Jogja, UNY, ITB dan kalangan kampus di Tanah Air yang punya jurusan seni rupa lukis. Bahkan, kalangan pelukis profesional khususnya yang menekuni sungging wayang beberpun, juga menganggap mbah Ning sebagai seorang guru atau maestro yang tiada duanya karena wanita.
Di kancah seni rupa khususnya karya seni lukis internasional, baik secara ilmu pengetahuan maupun para praktisi (pedagang) pasar seni internasional, juga sudah tidak ragu lagi bila menyebut nama Hermin Istiaringsih, atau mbah Ning atau Sanggar ”Arini”. Teknologi informasi internet dengan berbagai platform medsosnya, makin luas menyebarkan informasi tentang kebesaran sang maestro di bidang karya sungging wayang beber dengan cirikhas gayanya yang disebut gaya ”Wonosaren”.
Nama Mbah Ning di Mana-mana
Sebab itu, tidak aneh apabila seorang guru besar Seni Rupa di ITB (Prof Dimyati-alm), sempat menjadi kurator pada talk-show acara Kick Andy di Metro TV, tatkala mbah Ning jadi bintang tamu sebagai wanita pelukis wayang beber pada tahun 2015. Begitu juga sebuah majalah terkenal di Prancis, sempat menulisnya sebagai perupa tradisi yang spesifik dan unik pada sekitar tahun 2005.
Termasuk juga, seorang warga Jerman bernama Lydia Kieven, yang pernah beberapa kali datang kepada mbah Ning, sebelum dan sesudah menulis buku berjudul ” Menelusuri Panji di Candi-Candi” terbitan 2017, sebagai hasil penelitiannya di sejumlah candi di Jawa dalam beberapa tahun sejak awal 2000-an. Apa yang pernah di teliti sesuai isi buku berbahasa Indonesia dan Inggris itu, menyebar di seluruh dunia yang sangat memungkinkan terkoneksi dengan nama mbah Ning.
Relasi antara hasil penelitian yang dibukukan Lidya Kieven dengan mbah Ning, tentu sangat masuk akal, karena apa tema-tema lukisan mbah Ning yang bersumber dari kisah Keraton Kediri atau Jenggala abad 12 itu, tokoh-tokoh yang dijadikan objek punya ciri-ciri fisik dengan lukisan relief yang ada pada sejumlah candi, baik di Borobudur (Magelang) maupun sejumlah candi di Gunung Penanggungan, Kediri (Jatim), misalnya Candi Jago, Candi Miri, Candi Surowono, Candi Kendalisodo dan sebagainya.
Bahannya Kanvas atau Daluwang
Dalam kerangka pelestarian seni sungging wayang beber, baik sebagai karya dekorasi/hiasan maupun alat pertunjukan seni, nilai-nilai dan materi untuk keperluan edukasi terbuka sangat luas. Artinya, untuk bisa melukis wayang beber, bisa dicapai melalui pendidikan formal sampai di jurusan kriya sungging di ISI Solo atau pergutuan tinggi lain cukup banyak.
Untuk mendapatkan referensi pengetahuan keilmuannya, banyak literatur-literatur yang sudah diluncurkan, juga studi pustaka, meski banyak yang tidak secara langsung dan spesifik menunjuk tentang proses edukasi seni kriya sungging wayang beber. Karya dan sumber-sumber pemikiran bidang keilmuan dan data-data kesejarahan tentang wayang beber, juga sudah bisa didapat dari internat atau studi pustaka.
Tetapi, belajar kriya sungging wayang beber, mungkin hampir sama dengan pengetahuan tentang kriya sungging wayang kulit. Bedanya pasti ada, karena kriya sungging wayang beber menggunakan media utama kanvas, kain atau kertas atau ”daluwang”, sedang (tatah) sunging wayang kulit bahan utamanya kulit (kerbau, sapi. kambing dsb).
Jelas Tidak Ada Panakawan
”Persoalan utama proses regenerasi pelukis wayang beber adalah pemahaman soal wayang beber itu sendiri. La pripun, cah sekolah wiwit SD nganti mahasiswa, rata-rata mboten mudheng wayang beber. Nyebut wayang beber mawon salah lo. Sing empun tua-tua mawon mboten mudheng kok. Mosok wayang beber kok nggoleki (tokoh Panakawan) Semar, Gareng, Petruk, Bagong…. Ya ora bakal eneng. Enenge ya Sabda Palon, Naya Genggong, niku men jane empun beda zaman. Wayang beber niku crita Keraton Kediri/Jenggala kok,” jelas mbah Ning.
Sedikit yang dilukiskan mbah Ning itu, adalah sangat mewakili ketidaktahuan publik secara luas tentang apa sebenarnya yang diangkat dalam lukisan wayang beber?. Terlebih, jurusan pedalangan di lembaga pendidikan di semua tingkatan, mungkin sudah tidak mengajarkan pengetahuan dan ketrampilan detail tentang pertunjukan seni pedalangan wayang beber, karena kekurangan sumber bahan ajar dan SDMnya.
Seperti pengakuan mbah Ning itu, sejak sebelum tahun 2000-an, banyak siswa dan mahasiswa (program S1-S3) berguru dan melakukan penelitian tentang seni sungging wayang beber untuk program belajarnya. Bahkan, banyak yang belajar cara memperoleh campuran warna yang sangat natural, yang cocok dan khas lukisan wayang beber, tetapi tak ada satupun di antara ”para cantrik” itu yang kemudian tampil sebagai pelukis profesional khusus wayang beber.
Hampir Kehilangan Lacak
Meski seni pedalangan wayang kulit (purwa) sedang terpuruk karena berbagai sebab terutama pageblug Corona, reputasinya masih bagus dibanding wayang beber sebagai seni pertunjukan pedalangan. Keterkenalan dan popularitasnya, masih jauh lebih baik wayang kulit, karena bahan-bahan edukasi dalam rangka pelestarian dan proses regenerasi pelakunya masih sangat banyak.
Sedangkan wayang beber sebagai seni pertunjukan, menurut pengakuan Ki MNg Edy Sulistiyo SSn sudah hampir kehilangan lacak. Saat berbicara pada sarasehan tentang Sarasehan Wayang Beber Lintas Generasi di TBS tahun 2017, dosen jurusan pedalangan Asga sekaligus pengajar Sanggar Pedalangan Pura Mangkunegaran itu mengakui berbagai adanya berbagai penyebab sulitnya melestarikan seni pedalangan wayang beber.
Sementara, sebagai ketrampilan seni kriya sungging/lukis, masih bisa diharapkan, baik dari kalangan mahasiswa ISI Solo dan jurusan seni rupa perguruan tinggi lain, maupun dari kalangan praktisi profesional. Seperti pelukis Dani Iswardana Wibowo misalnya, masih yakin sebagai ketrampilan seni rupa wayang beber masih bisa dilestarikan, karena ada inovasi yang bisa dimasukkan.
Wayang Beber Perkotaan
”Sebagai ketrampilan, karya seni rupa wayang beber sebenarnya menarik. Dan bisa dijadikan industri. Tapi, karena pengetahuan ketrampilannya sulit didapat, juga sumber referensi kisah yang melatarbelakangi sangat langka didapat, yang bagaimana akan lahir karya? Bagaimana akan lahir para penikmatnya? Bagaimana akan melahirkan para pecintanya? Bagaimana bisa datang para pembelinya?,” ujar Dani yang ditemui iMNews.Id di kediamannya kawasan Laweyan, Solo, di waktu terpisah.
Menurutnya, dengan sentuhan inovasi, seni kriya sungging wayang beber bisa mendatangkan peminat, baik yang mempelajari, mencoba menjadi pelukisnya maupun menjadi pembeli atau penikmatnya. Yaitu, mengenalkan seni kriya wayang beber dengan konten objek yang mengambil konsep modernisasi atau kekinian.
Dengan sentuhan inovasi konten kekinian, generasi muda milenial lebih gampang menerima sebagai bahan edukasi yang dimulai dari caranya melukis wayang tokoh-tokoh dari lingkungan sekitarnya, misalnya kesibukan lalu-lintas di sebuah perempatan kota metropolitan, super market/mall, pusat kuliner modern, objek wisata flying fox dan sebagainya.
”Itu akan menjadi jembatan, untuk mengenal asal-usul para tokoh wayang bebernya mbah Ning. Kalau kemudian yang populer wayang beber sebagai karya lukisan dan laris disukai publik secara luas, enggak apa-apa. Itu adalah risiko perubahan zaman,” ujar jebolan Jurusan Seni Kriya ISI Solo, yang mengaku beberapa kali diundang workhshop wayang beber di luar negeri itu. (Won Poerwono-habis)