Penyaji Terbaik “Festival Greget Dalang” Tahun 1995 Itu Meninggal di Usia 59 Tahun

  • Post author:
  • Post published:December 12, 2024
  • Post category:Regional
  • Reading time:11 mins read
You are currently viewing Penyaji Terbaik “Festival Greget Dalang” Tahun 1995 Itu Meninggal di Usia 59 Tahun
MENERIMA GELAR : Ki Warseno Slenk saat mendapat "kekancingan" berisi gelar kekerabatan yang langsung diserahkan Sinuhun PB XII di "gedhong" Sasana Handrawina Kraton Mataram Surakarta, beberapa waktu sebelum tahun 2004. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Melahirkan Pemeo, “Bila belum bisa nanggap Ki Anom Suroto, dapat Ki Warseno Slenk-pun boleh”

SURAKARTA, iMNews.id – Seniman dalang profesional Ki Warseno “SlenK” menghembuskan nafas terakhir Kamis (12/12) pagi tadi setelah dirawat selama tiga hari di RS PKU Muhammadiyah Surakarta. Jenazah dalang terkenal bergelar S3, S2 dan S1 insinyur pertanian itu, akan dimakamkan di tempat asalnya Desa Bagor, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten, siang ini.

Dari “lelayu” yang beredar luas dan beberapa sumber menyebutkan, dalang senior yang memiliki keluarga besar dan keturunan dalang profesional lebih tiga generasi itu, diduga mengidap sakit jantung yang menyebabkan sampai dirawat di rumah sakit. Tetapi setelah tiga hari dirawat, almarhum adik kandung Ki Anom Suroto itu meninggal pukul 04.15 tagi pagi.

Dari “lelayu” dan para warga dalang yang berduka juga diperoleh kabar, Kamis (12/12) siang pukul 13.00 WIB keluarga melepas jenazah almarhum Ki Dr Ir Warseno “Slenk” dari rumah duka di Kampung Kranggan RT 02/18, Kelurahan Makamhaji, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, langsung menuju makam keluarga besar di Dusun Depokan, Desa Bagor, Juwiring.

Ki Warseno yang mendapat tambahan nama “Slenk” di saat grup band “Slank” naik daun sekitar tahun 2000-an, tetapi disebut karena kebiasaannya ceplas-ceplos bercanda atau “slengekan” di sela-sela pentas wayang kulit purwa yang dilakukan. Seterusnya, satu di antara tiga dalang keturunan Ki Hardjodarsono “Diun” itu lebih dikenal dengan nama dalang “Slenk”.

Adik kandung dalang senior yang lebih dulu terkenal, yaitu Ki Anom Suroto (75) itu, meninggalkan seorang istri bernama Asih Purwaningtyas yang juga asli sekitar Desa Bulurejo, Kecamatan Juwiring. Ada dua anak yang ditinggal masing-masing Briyan Pandhit yang sudah beristri dengan satu anak, kemudian Amar Pradapa, bungsu yang kini meneruskan profesi dalang.

Ki Warseno “Slenk” yang masih punya adik bernama Ki Bagong Darmono yang juga dalang profesional, saat memulai profesinya sebagai dalang di tahun 1980-an banyak berkiblat pada kesuksesan sang kakak, Ki Anom Suroto. Yaitu mengekslorasi kemampuan vokalnya yang “kung” serta mengikuti narasi bertutur dalam pentas pakeliran yang sukses dilakukan sang kakak.

OPERATOR RADIO : Ki Warseno Slenk pada kesempatan pagi ketika tidak ada acara pentas pakeliran, berada di belakang meja mixer sebagai operator Radio Swara Slenk miliknya yang berada di dekat rumahnya Kampung Windan, Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Oleh sebab itu, di tahun 1990-an Ki Warseno Slenk sudah kelihatan mendapatkan jalan sukses, karena publik pecinta wayang kulit yang didukung penuh organisasi dalang (Pepadi) dan pemerintah (Menteri Penerangan), waktu itu, menyebut dirinya adalah “foto kopi” Ki Anom Suroto. Oleh sebab itu ada pemeo, bila tidak sempat nanggap Ki Anom, Ki Warseno-pun cukup.  

Di tengah “membanjirnya” generasi dalang muda seusia Ki Waresno Slenk karena didukung penuh oleh banyak elemen, yaitu masyarakat pecinta, organisasi dan pemerintah, nama besar almarhum semakin berkibar “membuntuti” sukses sang kakak. Dakang senior waktu itu yang sudah lebih dulu berkibar tinggi, adalah Ki Anom Suroto dan Ki Manteb Soedarsono (alm).

Ki Warseno Slenk memang bukan dalang produk lembaga akademis jurusan pedalangan macam Ki Purbo Asmoro, yang termasuk dalang seusianya dan berkibar pula di bawah Ki Anom Suroto dan Ki Manteb Soedarsono. Tetapi, almarhum menjadi penyaji terbaik dan dalang favorit dalam “Festival Greget dalang” yang digelar di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, tahun 1995.

Meninggalnya Ki Warseno Slenk, membuat keluarga besar seniman pedalangan berduka. Mengingat, Surakarta adalah pusatnya dan kiblat seni pakeliran gaya (klasik konvensional) Surakarta. Selain ada Kraton Mataram Surakarta sebagai sumber seni pedalangan induknya, Budaya Jawa, Surakarta juga punya ISI dan SMKN 8 (SMKI-Red) lembaga pendidikan seni Budaya Jawa.

Salah satu dalang profesional generasi di bawah alrmahum, Ki KRT Gatot Purno Adicarito yang dihubungi iMNews.id menyatakan ikut sedih karena merasa kehilangan sahabat dan salah seorang dalang seniornya. Ki Gatot adalah salah seorang dalang yang merasa bangga, karena ada di antara warga dalang profesional yang bisa mencapai gelar doktor.

“Alamhrum adalah satu-satunya dalang profesional yang bisa mencapai gelar doktor. Itu membanggakan sekali bagi keluarga besar dalang khususnya di Surakarta. Apalagi saya, bangga sekali. Beliau adalah salah seorang pelopor yang membuat wayang digemari masyarakat (waktu itu). Apalagi, beliau adalah dalang favorit ‘Festival Greget Dalang’ tahun 1995”.

KETOPRAK WAYANG : Bersama para seniman dalang anggota paguyuban, seperti Ki Manteb Soedarsono, almarhum KI Warseno Slenk juga aktif bermain ketoprak yang mengangkat lakon dari cerita seni pakeliran, di gedung WO Sriwesari, awal tahun 2000-an. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Festival Greget Dalang itu, digelar untuk peringatan 50 tahun RI. Maka, pentas wayang disuguhkan selama 50 hari oleh 50 tokoh dalang, termasuk almarhum mas Slenk. Saya ingat waktu itu, mas Slenk menyajikan lakon Semar Boyong. Pentas pertama dibuka Ki Anom Suroto dan ditutup Ki Manteb Soedarsono,” ujar dalang abdi-dalem di Kantor Mandra Budaya kraton itu.

Ungkapan berduka juga datang dari GKR Wandansari Koes Moertiyah mewakili jajaran Bebadan Kabinet 2004 Kraton Mataram Surakarta, baik disampaikan langsung ke rumah duka maupun kepada iMNews.id. Dukacita juga diungkapkan peneliti sejarah dari Lokantara, Dr Purwadi (Ketua Pusat di Jogja), yang menuturkan sangat sering berkunjung ke kediaman almarhum.

Namun, ucapan dukacita yang disampaikan Dr Purwadi melalui iMNews.id, siang tadi, yaitu berujud tembang Macapat berjudul “Dalang Ki Dr Ir H Warseno Slenk MSi”. Dari ungkapan dalam 11 tembang Macapat itu, diawali dengan tembang “Megatruh” yang isinya :”manah suntrut mendhung sinaput ing pedhut, Kadang seni tawang-tangis, Ki Warseno sampun kondur……”.

Berikut lanjutannya :”….Tepet suci swarga jati, Sumedhot sakjroning raos”. Disusul tembang kedua, “Mijil”, isinya :”Dhalang wasis luru ngelmu titis, limantar peguron, Tunas Pembangunan UGM UNS, Olah seni adi luhung edi peni, Kondhang dalang sanggit, Penonton kayungyun”. Ekspresi dukacita itu diteruskan dalam tembang “Durma” dan ditutup “Maskumambang”.

Dalam 11 tembang Macapat itu antara lain dilukiskan Dr Purwadi, bahwa almarhum adalah dalang yang pandai di bidang seni yang digeluti secara profesional, tetapi juga mampu mengejar ilmu di jenjang pendidikan yang tinggi sampai meraih gelar doktor. Almarhum banyak berkegiatan di luar profesinya, karena mengelola radio siarah swasta dan angggota BPIP.

Sepeninggal Ki Ir Warseno Slenk, keluarga besar dalang dari kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten itu masih punya sang kakak Ki Anom Suroto dan sang adik Ki Bagong Darmono yang sama-sama profesi dalang dan sangat dikenal luas. Tetapi, hanya Ki Anom Suroto dan Ki Warseno Slenk yang sempat mendapat gelar kekerabatan dari Kraton Mataram Surakarta.

SAYANG ANAK : Di sela-sela kesibukannya sebagai dalang wayang kulit dan mengelola Radio Swara Slenk, saat longgar di rumah almarhum Ki Warseno Slenk selalu memperlihatkan sifatnya yang sayang anak. Misalnya yang tampak saat si bungsu Amar Pradopo masih berusia sekitar setahun. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Walau Ki Warseno Slenk termasuk sebagai salah satu dalang yang sukses di bidang seni pedalangan, dan sukses di jenjang pendidikan yang diraih, serta sukses secara ekonomi karena mampu melakukan diversifikasi usaha. Tetapi, dia juga menjadi bagian dari produk seni tradisional yang menjadi korban perubahan geo sosial-politik dan industri kesenian.

Krisis sosial, ekonomi dan politk yang melanda Tanah Air pada tahun 1998, ternyata ikut menggulung kesuksesan dan kenimatan yang didapat para seniman tradisi, termasuk seni pedalangan yang di dalamnya ada almarhum. Angin kebebasan setelah rezim Orde Baru, memberi pengaruh positif dan negatif terhadap profesi seni pedalangan setelah arus modernisasi.

Seni pedalangan yang sudah rusak masuknya modernisasi dan teknologogi, menjadi semakin parah ketika anasir-anasir negatif bebas masuk di era reformasi. Seni pedalangan seakan dipaksa harus mengikuti persyaratan industri seni budaya, dan selera masyarakat yang berkembang bebas, tetapi semakin dibatasi oleh anasir-anasir yang menganggapnya syirik. (won-i1)