Tak Terganggu, Tetapi Semakin Jauh dari Semangat Peristiwa Damai 3 Januari 2023
IMNEWS.ID – MOMENTUM kesempatan “ngalab berkah” yang semakin terbuka oleh suasana secara umum di internal kraton dan saluran ke pintu masuk yang semakin tertata melalui organisasi Pakasa maupun berbagai elemen lain di bawah Lembaga Dewan Adat (LDA), memang bisa menjadi jaminan untuk mengawal perjalanan Kraton Mataram Surakarta menembus masa depan yang lebih panjang.
Pisowanan upacara adat peringatan berdirinya “nagari” Mataram Surakarta pada tanggal 17 Sura tahun Je 1958 yang jatuh pada 23 Juli lalu, melukiskan suasana yang jauh lebih longgar secara psikologi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tetapi, ada tanda-tanda yang kurang menggembirakan karena semangat proses perdamaian yang terjadi 3 Januari 2023 terasa semakin berat.
Peristiwa ritual “Jenang Suran” untuk memperingati 279 tahun (Masehi) berdirinya Kraton Mataram Surakarta, Selasa (23/7) itu, bisa berlangsung dengan lancar dan lebih 800 warga masyarakat adat yang “sowan” penuh suka-cita. Terlebih, malam itu juga digelar upacara wisuda abdi-dalem di Bangsal Smarakata dan sentana-dalem di Bangsal Kusuma Wandawa (iMNews.id, 26/7).
Tanda-tanda terarah dan menguatnya daya dukung legitimatif semakin menemukan cara atau jalannya. Ini adalah satu sisi positif yang menggembirakan. Karena dari situ ada jaminan potensi SDM pekerja dan pelestari adat di internal kraton, potensi pelestari Budaya Jawa maupun masyarakat yang sekadar ingin “ngalab berkah” tuah berbagai upacara adat yang digelar di kraton.
Namun di sisi lain seiring itu semua, muncul pula tanda-tanda yang bisa membuat kendor semangat semua potensi yang sedang menggelora. Yaitu munculnya sebuah tantangan berat bagi proses “perdamaian” atau “rekonsiliasi” yang terjadi 3 Januari 2023, karena tiga wajah tokoh yang sebelumnya menjadi “satu barisan” dan sering muncul, sudah beberapa waktu “menghilang”.
“Tiga wajah tokoh” dari kalangan wayah-dalem itu, semula bergabung dalam satu barisan dengan jajaran “Bebadan Kabinet 2004”, dan keberadaan serta posisinya semula terkesan diandalkan Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA. Dengan posisi yang sudah dipercayakan kepada mereka sudah jelas, pelan-pelan diharapkan akan menjadi pengganti sebagai pemimpin di masa depan.
Tetapi entah mengapa, proses “pengkaderan” atau regenerasi melalui cara-cara yang harus banyak berinisiatif itu tak bisa berjalan seperti yang diharapkan?. Yang terjadi, tiba-tiba tiga wajah tokoh ini menghilang begitu saja dari berbagai kegiatan adat terutama yang digelar di dalam kraton. Padahal, sudah saatnya dan sudah seharusnya ketiganya belajar menggantikan.
Peristiwa di balik layar seperti ini memang tidak banyak pihak yang bisa tahu dan memahami, apalagi jika melihat peristiwa itu dari luar kraton. Terlebih, intensitas kehadirannya yang “sering bolong” dari berbagai kegiatan adat di dalam dan di luar kraton yang dipimpin Gusti Moeng, tidak disadari semakin menjauhkan diri dari memori publik terutama masyarakat adatnya.
“Saya setuju dengan pendapat orang lain yang mengatakan, ketika seorang tokoh sering menghilang dari muka publik apalagi yang mendukung dan melegitimasinya, pelan-pelan citranya akan hilang dari ingatan publik. Mereka akan semakin tidak dikenal atau asing bagi publik. Di sisi lain, kesempatan untuk belajar menguasai segala pengetahuan manajemen di kraton, juga hilang”.
Pernyataan Dr Purwadi di atas diberikan saat bersama-sama iMNews.id mengikuti jamasan makam Sinuhun Amangkurat Agung di Astana Tegalarum, Kabupaten Tegal/Slawi, belum lama ini (iMNews.id, 1/8). Motivasi dan alasan mereka “menghilang” menjadi tidak penting, karena proses “perdamaian” yang diharapkan bisa terjadi menyeluruh dan tuntas lebih penting, walau mustahil. (Won Poerwono-habis/i1)